Menanti Megamendung Cerah Kembali
Sejarah terus berulang. Masa-masa indah batik motif megamendung bisa diulang.
Megamendung, ikon batik khas Cirebon, Jawa Barat, melenggang dari masa ke masa hingga berhasil merengkuh pengakuan dunia. Meski digempur pandemi, megamendung terus bertahan agar pamornya sebagai ikon Cirebon tak redup
Sentra batik di Desa Panembahan, Kecamatan Plered, Cirebon, Sabtu (30/3/2024) siang, terlihat lengang. Hanya ada beberapa sepeda motor, angkot, dan becak yang melintas. Tempat parkir sejumlah toko batik pun tampak kosong. Padahal, hari itu adalah libur panjang akhir pekan.
Di toko EB Batik Traditional Cirebon, hanya ada dua pengunjung yang datang dalam kurun waktu satu jam. Para karyawan terlihat hanya sibuk melipat kain. ”Memang sekarang enggak seramai seperti sebelum pandemi,” ucap Nurniati, supervisor produksi EB Batik.
Baca juga: Titip Rindu untuk Anabul Tersayang
Pandemi Covid-19 memukul usaha batik di wilayah itu. Nia, sapaan akrab Nurniati, tak menyebut penurunan jumlah pengunjung atau angka penjualan, tetapi kelompok wisatawan yang pelesiran ke Cirebon, bertandang ke gerai batik, sudah tak sesering dulu. Termasuk menjelang Idul Fitri, saat orang belanja baju lebaran. ”Kalau Lebaran itu ramainya H plus karena orang cari (kain batik) buat oleh-oleh,” ungkapnya.
Bagi Nia, situasi itu menyedihkan karena upaya mereka menarik perhatian konsumen rasanya sudah maksimal. Tak cuma menyediakan kain batik tulis dan cap aneka motif, EB Batik juga memajang gamis, blus, hingga luaran batik model terkini untuk Lebaran.
Inovasi menggabungkan megamendung yang ikonik dengan motif lain pun dilakukan. ”Minat pada megamendung sudah turun. Kata pembeli, (motifnya) udah pasaran, udah banyak yang punya. Makanya, kami coba kombinasi dengan motif lain,” ungkap Nia.
Ia memperlihatkan contoh batik motif megamendung yang dipadu motif parang liris, motif keraton seperti kereta paksi naga liman, serta motif khas Tionghoa berlatar merah berupa angkin. Bentuknya menyerupai anak kunci. Warna batiknya pun tak melulu cerah. ”Cirebon memang terkenal dengan warna cerah, tapi ada juga yang sogan (cokelat dan lainnya). Ada pengaruh keraton dan China,” ucap Nia.
Baca juga : Lebaran, Cuan Mengalir Deras ke Kantong ”Rangers”
Mereka serius menerapkan pengendalian kualitas. Sebelum membuat kain batik, para perajin wajib memperhatikan desain yang dicetak dari komputer. Mereka memiliki laporan berisi kode, waktu, dan target produksi, dilengkapi tanda tangan supervisor. Setiap bulan, perajin bisa menghasilkan sedikitnya dua batik tulis.
Adaptasi juga terlihat dari pilihan material kain. Perajin pun membuat kain yang sudah berpola sehingga para pelanggan lebih mudah menjahitnya menjadi kemeja. Mulai tahun ini, setiap kain yang dijual di EB Batik pun memiliki kode batang (barcode). Dengan memindai kode itu, pengunjung langsung terhubung dengan akun Instagram yang menampilkan aneka produk jadi dari kain batik itu, mulai dari kemeja, kaus, hingga jaket.
”Ini karena customer selalu bertanya kalau kain ini jadi kemeja, bagaimana? Dengan barcode ini, kami sediakan tampilannya,” ungkap Nia.
Bak cendawan
EB Batik adalah satu dari sekian banyak jenama batik di Cirebon yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan sejak UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia pada 2 Oktober 2009. Batik Cirebon, dengan motif megamendungnya yang ikonik, termasuk di dalamnya.
Sejak pengakuan UNESCO, sentra batik di pelosok Desa Trusmi itu pun kebanjiran pesanan, menjelajah panggung fashion show dan pameran bergengsi. Tahun 2012, megamendung tampil di halaman depan buku Batik Design karya Pepin van Roojen (Belanda). Motif ini juga digunakan oleh desainer Inggris, Julien Macdonald, untuk busana rancangan koleksi musim seminya.
Pengakuan pada batik Cirebon pun terus meningkat. Jejak popularitas EB Batik juga tampak dari aneka foto kunjungan anggota DPR, menteri, hingga para presiden yang terpajang di dinding EB Batik. Ada foto Presiden Kedua RI Soeharto, Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, serta Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. ”Pak SBY itu hampir tiga atau empat kali ke sini. Zaman Pak SBY, batik ramai banget. Sekarang, enggak terlalu,” ungkap Nia.
Megawati Soekarnoputri bahkan menyisipkan pesan yang terpampang dalam pigura di dinding EB Batik. ”Tidak ada negara lain yang bisa menyamai seni batik ini. Oleh sebab itu, lestarikan budaya ‘batik’ ini,” tulis Megawati pada 20 Februari 2013 silam.
Di Trusmi, sebagian pemilik toko batik umumnya masih memiliki hubungan keluarga. EB Batik, misalnya, masih memiliki hubungan kerabat dengan Batik Asofa. Sementara Batik Asofa masih bersaudara dengan pendiri BT Batik Trusmi dan Batik Salma.
Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. BT Batik Trusmi mengusung konsep one stop shopping. Pengunjung tak hanya bisa belanja batik, tapi juga membeli oleh-oleh hingga menyantap empal gentong. Begitu juga Batik Salma yang menyediakan oleh-oleh aneka kerupuk, empal gentong, hingga pakaian khas film Barbie yang tak ada hubungannya dengan batik. Jika ingin membeli batik, pengunjung bisa naik ekskalator ke lantai dua.
Pada tahun 2015, Pemkab Cirebon membangun Pasar Batik Trusmi yang terintegrasi dengan tempat makan empal gentong. Meski tak seramai toko batik seperti BT, kawasan ini bisa jadi pilihan. Pada saat yang sama bermunculan usaha batik lainnya.
Kehadiran infrastruktur, seperti Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali), pertengahan 2015 turut memicu perubahan. Tol ini memotong jarak hingga 40 km dari Jakarta ke Cirebon jika melalui pantura. Jalan ini melipat waktu dari sebelumnya lima jam menjadi hanya tiga jam.
Baca juga: Usai ”War” Takjil, Terbit Perburuan Hamper
Dukungan infrastruktur turut membuat usaha batik menjamur. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon mencatat, usaha batik pada 2015 sebanyak 565 unit. Setahun berikutnya, jumlahnya melonjak menjadi 593 unit. Beberapa toko batik juga memperluas tempatnya.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Cirebon Anton Pitono mengatakan, letak Cirebon strategis karena berada di antara Jabar dan Jateng. Rel ganda kereta api, jalan tol, jalan arteri juga melalui daerah ini. Setidaknya ada lima pintu tol menuju Cirebon.
Dengan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, waktu tempuh dari Bandung ke Cirebon kini hanya 2,5 jam. Waktu tempuh via kereta dari Jakarta ke Cirebon cukup 3 jam. Ada pula Bandara Internasional Jabar Kertajati di Kabupaten Majalengka, sekitar 45 menit dari Cirebon.
”Cirebon ini kalau dilihat lengkap. Namanya 'Kota Wali', ada wisata religi. Ada juga wisata kuliner, fashion (batik), dan outdoor. Akses ke Cirebon pun banyak,” ujar Anton.
Meredup
Sayangnya, popularitas batik Cirebon harus redup akibat pukulan pandemi.Ketua Umum Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya, Selasa (23/4/2024), mengungkapkan, saat ini pemasaran batik makin sepi. Tak hanya di Cirebon, sentra batik lain, seperti Pekalongan, pun mengalami hal serupa.
”Pascapandemi, hampir 10-20 showroom tutup. Perajin batik turun 50 persen dari kisaran 131.568 perajin. Kini, kalaupun sudah naik lagi, masih di bawah 75 persen dari kondisi awal,” ungkapnya.
Ananti Sofa (50), pemilik Batik Asofa, menduga, ada kejenuhan terhadap batik. Terlebih ketika motif megamendung meledak di masa SBY. ”Jadi, batik itu sudah biasa,” ucap Sofa, yang berdagang batik sejak 20 tahun lalu.
Seperti halnya EB Batik, Batik Asofa pun terus berupaya mencari terobosan. Salah satunya, mengambil batik dari Pekalongan. Saat ini, Sofa hanya menjual sekitar 100 lembar kain batik di akhir pekan. Sebelum pandemi ia bisa menjajakan hingga 300 lembar kain batik. Saking ramainya, pakaian di tokonya sampai urak-urakan (berantakan) karena dibongkar pembeli.
”Dulu, kalau ada artis yang pakai (batik), pasti ramai. Begitu juga kalau pejabat yang pakai (batik) banyak. Sekarang, kan, enggak,” ucapnya.
Agar tetap bertahan, Sofa memilih banting stir, fokus pada pasar lokal dengan harga kain mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Produk paling dicari adalah seragam untuk anak sekolah, guru, pegawai kantoran, atau ”pasukan” hajatan.
Kalau Indramayu, (motif khasnya) mangga. Kalau Cirebon, ada Megamendung, kan, sudah nasional.
Ulfa Masduki (50), warga Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu, misalnya, rela mengendarai sepeda motor sekitar 40 kilometer bersama anaknya untuk mencari bahan seragam di Batik Asofa. Ia membeli 21 kain batik untuk seragam anaknya yang akan menikah Juni mendatang.
Indramayu, ujar Ulfa, memang punya sentra batik di wilayah Paoman. Namun, ia lebih memilih ke Trusmi karena pilihannya beragam. ”Kalau Indramayu, (motif khasnya) mangga. Kalau Cirebon, ada Megamendung, kan, sudah nasional,” ungkapnya.
Kontras dengan situasi batik yang redup, ekonomi Cirebon pascapandemi kembali menggeliat. Restoran, hotel, hingga mal juga tumbuh subur, khususnya di Kota Cirebon.
Tumbuhnya ekonomi daerah menarik minat perusahaan multinasional di bidang fashion. Jenama Hennes and Mauritz (H&M) asal Swedia dan Uniqlo dari Jepang, misalnya, bisa ditemukan di Cirebon Super Blok (CSB) Mall Cirebon.
Uniqlo baru beroperasi akhir Maret. Ketika pembukaannya pada Jumat (29/3/2024) yang bertepatan dengan libur panjang, pengunjung memadati mal. Sejumlah tempat makan pun ikut ramai. Jalanan macet.
Pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan itu adalah fondasi bagi batik motif megamendung untuk bisa berjaya kembali. Setidaknya Uniqlo bisa menjadi bukti awal bahwa hasrat belanja masyarakat tidak sepenuhnya mati. Barang kali persoalan mendasar yang perlu ditelisik adalah tentang strategi pemasaran, terutama cara memanggil kembali pelanggan untuk berbondong-bondong memborong batik motif megamendung.
Sejarah terus berulang. Masa-masa indah batik motif megamendung bisa diulang.