Kejahatan Tak Pernah Sempurna
Akankah hakim MK memutus perkara sesuai panggilan kebenaran atau membiarkan kejahatan demokrasi jadi kejahatan sempurna?
Ungkapan amicus curiae mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam tulisan ”Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” (Kompas, 8/4/2024) dapat dilihat sebagai artikulasi suara rakyat yang menuntut keadilan dalam perkara sengketa Pilpres 2024.
Sidang pemeriksaan sengketa itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah selesai pada 5 April 2024. MK kemudian menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) sebelum membacakan putusannya pada 22 April.
Anak bangsa kini sedang menantikan dengan harap-harap cemas putusan delapan hakim MK yang akan menentukan masa depan negara-bangsa, apakah akan memasuki fajar terang keadaban atau lorong gelap ketakadaban.
Hasil penghitungan suara akhir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)—yang dimenangi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka—tidak diterima kubu pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang menduga terjadi kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2024.
Baca juga: ”Amicus Curiae”, Dipertimbangkan atau Diabaikan MK?
Jaringan kecurangan diduga melibatkan Presiden Joko Widodo, mantan Ketua MK Anwar Usman, KPU, dan aparat negara lain berupa manipulasi aturan hukum untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden, penyalahgunaan bansos oleh presiden, intimidasi aparat kepada calon pemilih, dan penggelembungan suara oleh KPU.
Sementara itu, gelombang demonstrasi dan penolakan atas kecurangan pemilu serta amicus curiae yang dilayangkan oleh berbagai kalangan akademisi dan elemen masyarakat sipil lainnya menegaskan dugaan adanya praktik kejahatan demokrasi dalam Pilpres 2024—the crime against democracy.
Kejahatan sempurna
Kecurangan dalam proses demokrasi adalah kejahatan yang melibatkan cara-cara penipuan (data, surat, suara pemilih), pemalsuan (dokumen, ijazah, hasil rekapitulasi), penggelapan (pemilih, identitas), penyalahgunaan (wewenang, fasilitas), manipulasi (hukum, aturan pemilu), dan penopengan (bantuan sosial).
Kejahatan demokrasi yang melibatkan teknologi—seperti Sirekap—menghasilkan ”hiper-realitas demokrasi”: hasil penghitungan suara pemilih yang ”melampaui” realitas suara itu sendiri. Ada jurang menganga antara ”imaji realitas” (suara) dengan realitas (suara) itu sendiri—hiper-realitas suara (Baudrillard, 1981, 1983).
Ketika kejahatan begitu canggih—yang tak terdeteksi, tak meninggalkan jejak dan alat bukti, tak ada saksi, serta tak dapat dibuktikan dalam pengadilan sehingga pelaku kejahatan dapat bebas berkeliaran—kita menghadapi ”kejahatan sempurna” (perfect crime).
Kejahatan sempurna adalah kejahatan yang ”menggelapkan” dan menyembunyikan diri secara sempurna sehingga tak dapat dideteksi, diketahui, dan dibuktikan. Kejahatan bersembunyi di balik ”citra kebaikan” yang disematkan pada diri sendiri sebagai pengelabuan (Baudrillard, 1995).
Ketika kejahatan melibatkan agen-agen negara, kita berhadapan dengan ”kejahatan negara ” ( state crime).
Prinsip ”tutup mulut”, omerta, adalah cara ampuh kejahatan sempurna, khususnya kejahatan mafia: yang dicurigai buka mulut langsung dibungkam atau dihabisi! Karena itu, kejahatan sempurna hanya efektif apabila dilakukan oleh satu-dua orang, bukan kelompok besar.
Kejahatan sempurna membutuhkan rencana sistematis dan terstruktur, yang diturunkan ke dalam elemen-elemen detail yang harus terkendali, didukung oleh perangkat, teknologi, dan keahlian tingkat tinggi, untuk mengeksekusi kerja kejahatan monumental.
Akan tetapi, selain kecanggihan pelaku, kejahatan sempurna boleh jadi karena ada ”celah yudisial” (judicial loopholes) dalam sistem hukum (Jekel, 1982). Misalnya, Undang-Undang Pemilu tentang TSM, sebagaimana disinggung Muhammad F Akbar, justru membuka ”celah” bagi kecurangan (Kompas, 13/4/2024).
Ketika kejahatan melibatkan agen-agen negara, kita berhadapan dengan ”kejahatan negara” (state crime), yaitu penyimpangan negara terorganisasi yang melibatkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (Green & Ward, 2004). Kejahatan macam ini diduga terjadi dalam Pilpres 2024—state crime against democracy.
Baca juga: Mengungkap Kebenaran di Balik Sengketa Pemilu
Kejahatan negara terhadap demokrasi adalah tindakan terorkestrasi ”orang dalam” pemerintah untuk memanipulasi proses demokrasi dan merongrong kedaulatan rakyat. Inilah kejahatan tingkat tinggi, yang menghancurkan demokrasi itu sendiri, dengan merusak institusi-institusi politik dan pemerintah yang ada (deHaven-Smith, 2010).
Kecurangan pemilu adalah bentuk kejahatan demokrasi, yang melibatkan deviasi pemungutan suara—penyuapan, intimidasi, atau pemalsuan—yang menodai pemilihan demokratis. Ia merusak proses ‘alami pendaftaran pemilih, perolehan dan tabulasi surat suara, verifikasi, dan sertifikasi hasil pemilihan.
Layaknya mafia, teknik “tutup mulut”, omerta, juga dipraktikkan oleh negara untuk membungkam suara-suara kritis dan menutupi aroma kejahatan melalui cara-cara intimidasi, terror, dan kekerasan. Dalam arti inilah Romo Frans Magnis Suseno menyamakan negara dengan kelompok mafia.
Keadilan profetik
Penolakan hasil pilpres karena dugaan kecurangan TSM juga terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019, ditunjukkan melalui pengajuan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke MK. Kedua gugatan tersebut ditolak MK meskipun para penggugat telah membawa banyak saksi dan barang bukti.
Di sini, ada dua kemungkinan. Pertama, kecurangan TSM itu memang tidak ada karena tidak dapat dibuktikan di MK. Kedua, kecurangan itu boleh jadi ”kejahatan sempurna”, di mana kejahatan ada, tetapi tak dapat dibuktikan karena kecanggihan atau ”celah yudisial” yang secara culas dimanfaatkan.
Pola kecurangan yang dituduhkan pada Pilpres 2014, 2019, dan 2024 identik, yaitu penggelembungan suara, pengerahan aparat negara, dan intimidasi terhadap yang memiliki “kebenaran” tentang kecurangan. Hanya saja, pada Pilpres 2024 keterlibatan negara, khususnya presiden, lebih terang-terangan.
Hanya pada Pilpres 2024, suara penolakan dari kalangan akademisi dan elemen-elemen masyarakat sipil terhadap kecurangan—termasuk manipulasi hukum dan politik dinasti—lebih terstruktur dan masif. Mereka juga melayangkan amicus curiae, untuk ”mendampingi” MK mengungkap kebenaran.
Hanya saja, pada Pilpres 2024 keterlibatan negara, khususnya presiden, lebih terang-terangan.
Para akademisi dan kaum intelektual yang ”turun gunung” menunjukkan ”mata akademik” yang bebas dan obyektif melihat kecurangan Pilpres 2024—yang melibatkan presiden dan aparat negara lainnya—sebagai ”fakta” obyektif. Karena itu, mereka melayangkan amicus curiae agar para hakim dapat memutus perkara juga secara obyektif.
Kini, harapan akan ”keadilan sejati” ada di pundak delapan hakim MK sebagai ujian hati nurani, apakah akan memutus perkara sesuai panggilan kebenaran atau membiarkan kejahatan demokrasi menjadi ”kejahatan sempurna”: ada ”fakta” kecurangan TSM, tetapi para hakim tak kuasa mengungkapnya.
Memang, tak ada persepsi atau teori tunggal tentang ”keadilan” (Lebacqz, 1986; MacIntyre, 1996). Di sini, seorang hakim adalah pribadi otonom dan individu bebas dalam memutus perkara. Meskipun demikian, ia ada di dalam institusi hukum sebagai ”alam keduanya”, di mana ”rasionalitas” putusannya diuji berdasarkan ideal-ideal institusinya: kebebasan, imparsialitas, dan independensi (Soeharno, 2009).
Setidak-tidaknya ada tiga alasan mengapa para hakim yang mulia dituntut untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan sejati berdasarkan ideal-ideal MK.
Pertama, inskripsi kutipan ayat Al Quran, Surat An-Nisa ayat 135, yang dituliskan di dinding Gedung MK, sebagai idealisasi makna Mahkamah Konstitusi. Ayat itu mengingatkan kepada para hakim untuk menegakkan keadilan sejati tanpa pandang bulu dan bersaksi dengan sejujurnya.
Kedua, Ketua MK Suhartoyo bersama para hakim lain—dalam acara pengambilan sumpahnya sebagai Ketua MK pada 13 November 2023—telah berikrar melakukan berbagai langkah penting untuk memulihkan dan meningkatkan kepercayaan publik (public trust) terhadap MK.
Ketiga, para hakim telah disumpah atas nama kitab suci sehingga meskipun mereka adalah individu bebas, panggilan suara Tuhan dan jiwa profetik mestinya menuntun mereka dalam memutus perkara sengketa Pilpres 2024.
Baca juga: MK yang Mulai, MK yang Mengakhiri
Ketukan palu hakim MK akan menentukan masa depan demokrasi. Apakah putusannya adalah bahwa telah terjadi manipulasi hukum, malapraktik kekuasaan, intimidasi aparat negara, dan manipulasi suara rakyat dengan segala konsekuensinya pada hasil pemilu.
Atau, putusan hakim menyatakan bahwa tak ada kejahatan demokrasi yang melibatkan negara sehingga memberi jalan bagi ”kejahatan sempurna” di setiap pemilu: kecurangan terstruktur, sistematis dan masif tak tersentuh hukum, di bawah lindungan ”celah yudisial—the perfect crime”.
Tentu, anak bangsa menaruh harapan sangat tinggi pada para hakim MK, untuk menegakkan keadilan sejati, demi kepentingan bangsa lebih besar di masa depan.
Yasraf A Piliang, Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB