Melawan Pembalikan Demokrasi
Untuk menjaga demokrasi butuh kehadiran suara-suara nyaring yang muncul dari kekuatan masyarakat politik dan sipil.
Apa yang berlangsung dalam laga politik seputar Pilpres 2024 bukanlah sekadar pertarungan politik Laswellian (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana) di panggung demokrasi. Namun, pertarungan politik dengan kita akan disuguhi tontonan kepiawaian aktor politik dalam membaca psikologi politik massa dalam memobilisasi konstituen untuk mendapatkan dukungan.
Peristiwa elektoral 2024 merupakan titik klimaks dari inisiatif elite politik dominan yang dilakukan secara sistematis untuk menjaga posisi dalam rotasi kekuasaan, yang membawa kita pada tebing jurang pembalikan arah demokrasi.
Menimbang refleksi mendalam terhadap apa yang telah kita saksikan dalam arena politik demokrasi kali ini, kita tidak dapat membaca proses politik yang telah berlangsung semata-mata sebagai permainan kekuasaan (power game) yang lumrah terjadi di antara kekuatan-kekuatan politik dalam mengejar posisi politik.
Rangkaian peristiwa politik yang memunculkan fenomena kontroversi di Mahkamah Konstitusi (MK), pembentukan politik dinasti dalam momen elektoral, politisasi program bantuan sosial, indikasi keterlibatan aparat negara, hingga retorika ”biarkan rakyat yang menilai” adalah momen penjungkirbalikan demokrasi oleh kekuasaan yang berlangsung di instalasi kelembagaan demokrasi.
Baca juga: Merunut Rekam Jejak Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres
Dalam konteks demikian, opini JB Kleden yang berjudul, ”Kontroversi Presiden” (Kompas, 17/4/2024) sepertinya mengaburkan pemahaman atas realitas politik. Opini tersebut berusaha memosisikan analisis untuk melihat proses politik elektoral 2024 yang berlangsung dari perspektif realisme politik, yakni kemampuan Presiden Jokowi untuk mengayun dan berselancar politik di tengah kemampuan memahami psikopolitik dari rakyat bawah.
Opini tersebut berpotensi menciptakan kabut tebal bagi kita untuk melihat proses pelongsoran demokrasi yang berlangsung dalam pusaran permainan politik antar-elite.
Dalam proses penjungkirbalikan demokrasi sebagai hantu yang mengancam politik demokrasi di Indonesia dan juga terjadi di banyak tempat di dunia, nasib demokrasi sungsang berbalik 180 derajat, bukan karena ancaman-ancaman dari luar dirinya.
Ini dibangun melalui seni kuasa hegemoni yang tepat untuk merayu bahkan mengelabui hati dan pikiran rakyat.
Demokrasi mengalami jungkir balik sedemikian rupa karena dalam proses pelembagaan instalasi demokrasi yang berlangsung, pemimpin eksekutif politik kerap kali menjadi penguasa yang menggenggam konsentrasi kekuasaan di atas supremasi hukum dan konstitusi, serta tak dapat dicegah oleh politik pembagian kekuasaan yang lumrah.
Hal yang membedakan fenomena hadirnya penguasa sentral yang berdiri di atas hukum saat ini dengan masa lalu adalah dalam kehadirannya saat ini mereka tidak hanya mengandalkan semata-mata kekuatan koersif dan penindasan, tetapi upaya untuk merawatnya dilakukan dengan menyandingkan kapasitas koersif dengan ketundukan dan loyalitas dari suara rakyat. Ini dibangun melalui seni kuasa hegemoni yang tepat untuk merayu bahkan mengelabui hati dan pikiran rakyat.
Terkait dengan pembalikan demokrasi seperti itu, Daniel Trisman (2018) menyebut corak kekuasaan seperti ini sebagai new autocracy, sedangkan profesor politik John Keane (2020) menegaskan sebagai new despotism.
Suara rakyat
Antonio Gramsci (1971), intelektual aktivis progresif asal Italia, dalam Catatan-catatan di Penjara (Prison Notebooks) menguraikan bekerjanya kekuasaan anti-demokrasi modern. Dia menggambarkannya dalam metafora makhluk mitologis Yunani, Centaur, yang bersosok setengah manusia dan setengah makhluk buas.
Demikianlah kekuasaan bekerja yang kerap kali berdampingan merawat kepentingannya dengan menyandingkan antara tindakan makhluk buas (aksi koersif) dan tindak persuasi manusia (strategi hegemoni) sehingga publik tidak hanya tunduk, tetapi juga terperdaya dalam labirin budaya kepalsuan untuk mendukung langkah-langkah penguasa meskipun ke depan berisiko menghantam aspirasinya sendiri.
Sementara kita menyaksikan manuver Centaur ala kritik Gramscian ini (dominasi dan hegemoni) bekerja dalam konstelasi politik dalam prosesi di seputar momen elektoral 2024 untuk menghantam demokrasi. Proses-proses persidangan yang berlangsung dalam sidang gugatan di MK memperlihatkan munculnya dugaan kuat intervensi kekuasaan yang mengarah kepada pelanggaran pemilu (Kompas, 27/3/2024).
Praktik pelanggaran dan intervensi tersebut mengarah kepada bentuk aksi koersif kekuasaan. Sementara salah satu bentuk aksi hegemoni yang dilakukan untuk membuat apa yang berlangsung tersebut sejalan dengan prinsip demokrasi muncul dengan viral pernyataan dari Presiden terkait dengan biarkan rakyat yang menilai (Kompas, 12/1/2024).
Baca juga: Pidana Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Sehubungan dengan koneksi antara suara rakyat dan demokrasi, sebuah penelaahan yang jernih perlu kita telusuri dari terang filsafat republikanisme. Sebuah cara pandang yang melihat bahwa agar rakyat dapat bersuara untuk menampilkan kedaulatannya, maka kekuasan haruslah dibatasi untuk mencegah tirani dan hadirnya prakondisi kemerdekaan dari dominasi.
Di sinilah Filsuf Philip Pettit (2012) dalam On the People’s Terms: A Republican Theory and Model of Democracy menegaskan bahwa dalam koridor kerakyatan, suara rakyat sebagai perwujudan demokrasi tidak cukup dengan mengalkulasi secara kuantitatif suara-suara rakyat. Hikmah kebijaksanaan dari rakyat hanya bisa tampil menyinari dunia politik, ketika suara rakyat tidak didikte oleh kuasa dominasi material maupun tekanan dominasi politik.
Di sinilah indikasi politisasi bantuan sosial yang dilakukan bersamaan dengan momen Pilpres 2024 ataupun intervensi aparat negara sampai ketingkat bawah telah berperan dalam penjungkirbalikan alih-alih menegakkan demokrasi.
Suara republikanisme
Seperti suara klasik Jean Jacques Rousseau bahwa jangan sampai terjadi demokrasi dimanfaatkan hanya bagi segelintir mereka yang memiliki kuasa dan kemakmuran, di tengah kemiskinan yang begitu nyata di masyarakat. Agar mereka yang kaya bisa membeli suara rakyat, dan rakyat yang begitu miskin tidak dapat berbuat apa-apa selain menjual suaranya.
Berangkat dari kekhawatiran atas pembalikan demokrasi yang tengah berlangsung, upaya untuk tetap menjaga demokrasi membutuhkan hadirnya suara-suara nyaring yang muncul dari kekuatan masyarakat politik dan masyarakat sipil di Indonesia. Suara yang menegakkan etika republikanisme agar tetap menyuburkan bumi demokrasi Indonesia.
Di sinilah kesaksian tokoh rohaniawan, seperti Romo Franz Magnis-Suseno, di sidang MK tentang pentingnya pemimpin mendahulukan kepentingan publik dan memendam kepentingan privat atau keluarganya. Juga Megawati Soekarnoputri sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) di sidang MK tentang pentingnya pemimpin bersikap qana’ah (cukup dengan apa yang ada) dan tidak melampaui batas. Dengan hal itu, utrenja (fajar) politik Indonesia yang dibimbing integritas kejujuran dan akal sehat dalam suasana politik anti-dominasi menumbuhkembangkan kedaulatan rakyat.
Airlangga Pribadi Kusman, Dosen Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga