Dunia yang diagungkan sebagai pilar kewarasan dan akal sehat itu tak kalah bobrok dari dunia politik dan kepolisian.
Oleh
AHMAD NAJIB BURHANI
·5 menit baca
Dalam webinar ”Integritas Ilmuwan dalam Publikasi Ilmiah di Era 5.0” (29/4/2024), Yanuar Nugroho menyampaikan presentasi menarik tentang ”Academic Dishonesty: The Hidden Costs”. Paparan itu merespons berbagai kasus pelanggaran akademik, terutama publikasi, dengan kasus Kumba Digdowiseiso sebagai puncak gunung es.
Peristiwa Kumba dan sejenisnya telah menyebabkan erosi serius pada kepercayaan publik terhadap masyarakat akademik, lembaga pendidikan, dan institusi riset. Ternyata dunia yang diagung-agungkan sebagai pilar kewarasan dan akal sehat itu tak kalah bobroknya dari dunia politik dan kepolisian. Riset yang katanya bisa menjadi dasar paling baik bagi pembangunan bangsa, landasan paling kokoh bagi kebijakan, dan andalan atau alternatif yang bisa menopang kemajuan bangsa dan menjadi pengganti ketergantungan pada sumberdaya alam, kenyataannya tak seperti yang kita puja-puji selama ini.
Kasus pelanggaran integritas akademik yang cukup banyak itu telah membuat kredibilitas dunia akademik anjlok. Riset, dunia pendidikan, dan komunitas akademik ternyata banyak manipulasi, tipu-tipu, bisa dikarbit, dan berbagai penyimpangan lain. Jika bentuk dan proses kerjanya seperti itu, produknya tentu tak bisa dipakai sebagai dasar kebijakan. Hasil-hasil riset manipulatif seperti itu alih-alih akan membawa bangsa ini pada kemajuan, ia justru bisa membawa bangsa ini ke jurang kehancuran dan petaka. Jika melihat kasus-kasus itu, terlihat bahwa apa yang dilakukan negara dan lembaga akademik yang memberikan insentif besar kepada penulis jurnal internasional ternyata hasilnya bukan saja tak berguna, melainkan juga menyesatkan dan menjerumuskan.
Sedihnya, jumlah karya akademik yang tidak benar itu tak bisa dibilang sedikit. Karena besarnya penyimpangan akademik, pada Januari 2024 ini Peru mengeluarkan warning agar berhati-hati merujuk atau berkolaborasi dengan akademisi Indonesia. Dalam ranking negara pengirim naskah ke jurnal predator, dalam istilah Arief Anshory Yusuf (2024), Indonesia menjadi bagian dari global epicentrum of academic dishonesty. Indonesia menjadi juara dua setelah Kazakhstan dalam publikasi di jurnal predator pada 2015-2017. Berbagai jenis pelanggaran akademik hampir semuanya bisa ditemukan di Indonesia. Mulai dari plagiasi, perjokian pembuatan tesis, obral gelar akademik, bagi-bagi gelar doktor honoris causa (HC) dan profesor, dan seterusnya.
Berbagai faktor sering dikaji sebagai penyebab sengkarut dunia pendidikan, riset, dan publikasi itu. Dari segi kultur, selain mentalitas individu, budaya riset dan publikasi kita memang masih lemah. Banyak yang ingin instant mendapat gelar akademik, melakukan jalan pintas untuk memiliki publikasi dan naik pangkat, melakukan potong kompas terhadap prosedur. Intinya, capaian akademik ingin diraih tanpa melalui proses dan mekanisme yang benar.
Tulisan ini mencoba menggarisbawahi tiga problem serius dalam carut-marut dunia akademik kita, yaitu: pertama, metrik sebagai barometer utama atau terpenting dalam dunia akademik, bukan lagi sebagai perantara. Metrik sebagai tujuan, bukan sebagai mekanisme evaluasi. Kedua, komersialisasi dan industrialisasi pendidikan, riset, dan publikasi. Ketiga, ”efek kobra” kebijakan dan insentif publikasi.
Penilaian dengan menggunakan metrik atau angka-angka itu kini menjadi sesuatu yang umum, bahkan dominan, di masyarakat, termasuk di dunia akademik. ”Data are increasingly used to govern science (data semakin sering digunakan untuk mengatur sains),” tulis The Leiden Manifesto for Research Metrics (2015).
Dalam penentuan ranking universitas, kenaikan, pangkat, dan pemberian penghargaan, misalnya, kita seperti tergila-gila pada metriks buatan Web of Science (WoS) yang diluncurkan Thomson pada 2002, Scopus yang dibuat Elsevier pada 2004, dan Google Scholar yang dimulai pada tahun 2004. Penilaian ini sering mengabaikan aspek kualitatif yang dulu dilakukan oleh rekan akademis yang berasal dari bidang yang sama (peers).
Makanya, Leiden Manifesto meringkaskan 10 prinsip dalam melakukan penilaian akademik dan mengingatkan agar tidak menjadikan metrik sebagai kriteria tunggal. Dan ini sejalan dengan yang disampaikan LT Handoko (2024), Kepala BRIN, ”Untuk saat ini, indikator ini satu-satunya fakta dan data yang mampu memotret aktivitas dan kinerja riset serta periset secara obyektif…. [namun] metrik ini tidak boleh menjadi ’tujuan’, tetapi harus dipakai sebagai instrumen kontrol kualitas bagi periset dan institusi ’secara proporsional’.” Intinya adalah tak menjadikan metrik itu sebagai ”tuhan”, tak memberhalakannya.
Selain metrik, dunia akademik kita juga semakin mengalami industrialisasi atau komodifikasi. Ini yang biasanya disebut sebagai ”McDonalisasi Pendidikan Tinggi” dan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) sebagai ”kapal pukat harimau” (Heru Nugroho 2006).
Pendidikan atau sekolah memang merupakan lahan bisnis. Namun, dengan berubahnya beberapa kampus menjadi PTN BH, proses industrialisasi dan komodifikasi semakin menjadi. Mereka berlomba-lomba membuka kelas untuk fakultas yang laku di pasaran, seperti ekonomi, bisnis, dan kedokteran. Para pengajarnya pun, meminjam istilah Sulistyowati Irianto (2023), menjadi ”buruh dosen”. Jika di masa Orde Baru pendidikan tinggi dan masyarakat akademik ”berada di bawah ketiak negara”, sekarang mereka ”masuk dalam cengkeraman pasar” (Nugroho 2006).
Sebetulnya tak ada masalah dengan komersialisasi dan industrialisasi itu karena kampus memang perlu hidup, membangun dan memelihara gedung, serta membeli peralatan penunjang riset dan pendidikan. Namun, kadang komersialisasi itu berlebihan hingga menjadi lebih utama dari pendidikannya sendiri. Kadangkala malah mengompromikan kualitas pendidikan demi mengejar uang. Ini yang melahirkan apa yang disebut Nugroho ”infertilitas pemikiran-pemikiran besar dan involusi intelektual”.
Tidak hanya pendidikan tinggi, publikasi juga memang merupakan industri. Publikasi global itu dikuasai oleh raksasa industri penerbitan seperti Elsevier, Sage, Taylor & Francis, dan Brill. Merekalah yang menerbitkan buku dan jurnal yang kemudian dibeli dan tersedia di berbagai perpustakaan besar di dunia dan dipakai dalam mata kuliah kampus-kampus besar dunia.
Raksasa industri publikasi ini lantas disaingi oleh penerbit komersial lain yang memanfaatkan konsep open access, seperti MDPI, Frontiers, Hindawi, dan David Publishing. Hal yang membedakan penerbit baru ini dari pemain lama adalah tarifnya yang kadang sangat tinggi atau over-commercialization. Biasanya, industri jurnal konvensional akan memberikan opsi antara closed access dan open access. Jika memilih closed access, tidak perlu membayar satu rupiah pun. Ini tidak berarti artikelnya tidak bisa diakses. Ia tetap bisa diakses melalui kampus, perpustakaan, atau institusi riset yang berlangganan. Umumnya, kampus-kampus yang baik selalu berlangganan dan memberikan akses ke sivitas akademiknya.
Dengan sistem dalam jaringan (online) saat ini, logikanya biaya publikasi akan menjadi semakin murah. Ini karena tak perlu lagi biaya cetak dan distribusi. Kenyataannya justru sebaliknya. Dalam kondisi seperti itu, obsesi para akademisi untuk memiliki publikasi global banyak terperangkap jurnal predator yang memeras dengan meminta biaya article processing charge (APC) hingga 40 juta rupiah. Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang mestinya dilawan para akademisi, tetapi banyak dari mereka justru tak sadar atau terbuai di dalamnya.
Problem ketiga terkait ”efek kobra”, kebijakan publikasi ini sudah banyak diulas, di antaranya oleh Iswandi Syahputra (2024) dan Rizqy Amelia Zein (2018). Intinya, kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk menggenjot publikasi internasional di Indonesia agar tak ketinggalan dari negara lain itu ternyata memiliki efek kobra berupa lahirnya paper mills, peternak-peternak artikel, dan bahkan produsen-produsen jurnal, joki penulisan ilmiah dan publikasi di jurnal, training atau bimbingan berbayar untuk bisa publikasi dalam sehari, dan seterusnya.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)