Membaca Tari, Membaca Jawa (dan Indonesia)
Judul Buku: Sal Murgiyanto: Membaca Jawa
Editor : Anastasia Melati dan Michael HB Raditya
Penerbit : ISI Press Surakarta-Komunitas SENREPITA Yogyakarta
Cetakan : I, 2018
Tebal Buku : xxvi + 336 halaman
ISBN : 978-602-5573-04-0
Membicarakan Jawa tidak cukup menunjuk suatu data fisik daerah dan lanskap geografisnya, tetapi juga mencakup suatu entitas sosial budaya, logika komunal, hingga filsafat hidup. Jawa merupakan sebuah jagat kompleks untuk mengidentifikasi identitas, idealitas, dan refleksi atas realitas hidup suatu kelompok manusia.
Pemahaman itu yang coba disampaikan dalam buku Membaca Jawa karya Sal Murgiyanto, seorang tokoh besar dalam dunia seni tari di Indonesia. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta.
Sejak kecil, ia telah menggeluti budaya Jawa dengan belajar menari dan tembang Jawa (macapat). Dengan kemampuannya sebagai penari, pengalaman berkeseniannya mengembara, mulai dari panggung Ramayana Prambanan, India, hingga Eropa. Sebagai seniman, Sal terdidik di ASTI Yogyakarta, melanjutkan kuliah di University of Colorado Amerika Serikat, hingga diundang mengajar di Taiwan.
Sal juga seorang ilmuwan. Buah pemikirannya terangkum dalam buku-buku di antaranya Kritik Tari—Bekal dan Kemampuan Dasar (2002), Jalan Tari Pak Sal (2016), dan buku terkenal Ketika Cahaya Merah Memudar (1992). Semua karyanya membuktikan perhatian dan konsistensi intelektualnya dalam memahami tari. Kesantunannya menuliskan kritik tanpa alpa menyampaikan tawaran solusi menjadikannya tokoh yang disegani para pemikir kebudayaan.
Editor buku Membaca Jawa, Michael Raditya, menegaskan, seluruh sikap itu didasari kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan—termasuk nilai keindahan dan kemampuan berpikir kritis—yang dilandasi penggunaan ”akal sehat” yang tak henti ia perjuangkan.
Buku Membaca Jawa diterbitkan agar pembaca ikut merasakan, menjalani, dan mempertimbangkan kebudayaan Jawa oleh seorang Jawa yang memiliki pengalaman hidup Jawa yang luas. Dan, dalam mengartikulasikan turunan gagasan tersebut, si penulis mengaktualisasi kejawaannya melalui dunianya, seni pertunjukan yakni tari (hal 4).
Membaca tari
Tari memang tidak semata tentang tubuh yang bergerak dalam teknik-teknik tertentu. Tubuh tari adalah alat ekspresi yang mampu merefleksi berbagai persoalan hidup manusia dengan intensitas, kualitas, virtuositas, dan koordinasi gerak yang total. Presentasi tari mengartikan laku tari dan laku tubuh sebagai medan kompleks representasi estetika gerak, elemen-elemen artistik pergelaran, imaji, kreasi, serta simbolisasi nilai dan makna yang berlaku di masyarakat.
Kualitas semacam ini membentuk konsepsi mengenai kebudayaan yang utuh dalam konteks kosmologis, yang akhirnya menjadi sumber reproduksi identitas dan pembayangan atas dunia yang dianggap ideal. Hal ini sudah berlangsung sepanjang sejarah kemanusiaan dalam bentuk tari sebagai ritual, hayatan, serta sebagai hiburan dan presentasi tradisi dan komunalitas. Tari menjadi artefak untuk memahami sejarah dan identitas kita sebagai pribadi dan sebagai sebuah kelompok masyarakat.
Sal melihat Jawa sebagai self-criticism, suatu kemampuan untuk mengenali kelemahan dan keterbatasan diri. Ia terus mengkaji diri sendiri dan mendefinisikan ulang letak dan peran diri dalam latar belakang kebudayaan, terutama wayang.
Sal membangun tradisi mencerap ulang, menafsir ulang ”bentuk” dan ”muatan” warisan-warisan tradisi dengan mendayagunakan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi. Seiring dengan itu adalah keyakinan bahwa warisan-warisan itu layak dan dapat diolah menjadi kontribusi yang unik, tetapi komunikatif, dan bernilai tinggi bagi kehidupan kekinian (hal 268).
Sebagai penari dan penyusun tari, proses kreatif mempertanyakan tradisi demi memahami esensi ini tersajikan dalam karya Wiwoho Girisapto untuk mendiang istri tercinta, Endang Nrangwesti, di mana kematian menjadi tema yang digarap menjadi sebuah sajian estetik yang subtil, kontemplatif, tetapi juga artistik.
Oleh Sal, Jawa diartikan sebagai kehendak untuk memilih, bukan karena melulu dilahirkan sebagai orang Jawa, tetapi sebagai proses yang terus-menerus dilakukan, suatu pergulatan bagaimana untuk menjadi Jawa (hal xxi). Hal itu dilakukannya dalam mencapai kualitas diri sendiri (mulat sariro) dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang medan (empan papan) menjadi upaya konsisten (laku) dan intens (hal 268).
Transfer pengetahuan
Sal melihat tari sebagai sebuah susunan dinamis, prinsip aransemen dan ekspresi tanpa bingkai. Sebuah ”himpunan” yang dibangun elemen-elemen gerak (tubuh, kostum, iringan, panggung) serta elemen-elemen non-tari lain (elemen sosial, psikis, politik, budaya, bahkan spiritualitas) dengan membentangkan cakrawala dan horizon luas yang mengintegrasikan tari dengan makna eksistensi kita.
Terjadi dialog antara tari dan beberapa disiplin lain, semisal sastra, sejarah, dan filologi. Kajiannya menjadi lebih luas, mendalam, dan multiperspektif. Pada saat yang sama, hal ini menjadikan tari sebagai suatu hal yang terbuka, dinamis, dan mampu berdialog aktif dengan ilmu lain.
Sal memiliki perspektif yang bukan hanya Jawa, bukan hanya global, melainkan juga perspektif ”Indonesia” (hal 7). Ia mengaktualisasikan makna seni pertunjukan tari agar sesuai konteks kehidupan masa kini. Membaca buku ini kita jadi akan bisa mengakui eksistensi Sal sebagai salah seorang ”pejalan budaya”.
Dalam konteks yang lebih luas, seturut Stuart Hall (1997), melalui buku ini kita bisa memahami bahwa tradisi pada dasarnya adalah sebuah mental facts yang dalam wujud penciptaannya merupakan aktivitas sistemik yang sejajar dengan kristalisasi, baik dalam bentuk transfer pengetahuan maupun nilai-nilai.
Sebagai sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi, persepsi sosial, dan teori seni budaya sekaligus, tari sebenarnya mampu menjadi media yang relevan mengidentifikasi berbagai problem nasion, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Dengannya, tari semestinya bisa dimaknai sebagai sebuah bagian dari strategi kebudayaan dan memahaminya sebagai medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengokohkan peradaban umat manusia.
Tari bisa menjadi agenda penting sekaligus wahana pembangunan budaya dan pembelajaran nilai positif pembangunan mental manusia Indonesia, sesuatu yang (masih) menjadi masalah akhir-akhir ini.
Purnawan Andra, Alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta, Staf Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemdikbud.