Teknologi finansial berkembang cepat di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Layanan ini menyentuh berbagai aspek di perekonomian, termasuk penyediaan pembiayaan.
Platform digital diterapkan dalam layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi atau kerap disebut peer to peer lending. Pemilik dana menyediakan dananya untuk dipinjam pelaku usaha. Hubungan mereka dijembatani penyedia layanan pinjam-meminjam berplatform digital.
Praktis? Tentu saja. Sisi kepraktisan yang berujung pada kemudahan dan kecepatan inilah yang diusung penyedia layanan. Keunggulan ini membuat pelaku usaha memiliki alternatif saat mencari sumber pendanaan.
Sesuai namanya, pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi, maka ada pemilik dana dan peminjam dana. Si A yang memiliki dana bisa meminjamkan dananya kepada si B, pelaku usaha yang memerlukan dana.
Bisnis, tentu saja memberikan manfaat atau imbal hasil. Bagi pemilik dana, imbal hasilnya jauh lebih tinggi daripada suku bunga simpanan di bank. Adapun bagi peminjam, memang suku bunga yang harus dibayarkan cukup tinggi. Akan tetapi, peminjam merasa itu harga yang sebanding dengan kecepatan pengucuran dana.
Akan tetapi, bisnis tetaplah bisnis. Selalu ada risiko dalam dunia bisnis. Risiko itu mesti dihadapi, bahkan jauh-jauh hari mesti diantisipasi.
Di dunia teknologi finansial (tekfin), khususnya pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi, risiko pinjaman yang macet juga ada. Risiko ini mestinya sudah diantisipasi jauh-jauh hari dengan cara memastikan si peminjam adalah pihak yang layak menerima pinjaman. Namun, faktor lain mesti dipertimbangkan, antara lain bisnis yang berjalan tidak sesuai harapan.
Jika itu yang terjadi, maka pinjaman bisa macet. Peminjam akan susah mengembalikan dana pinjamannya. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, per akhir Mei 2018 ada 64 perusahaan tekfin yang bergerak di layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi.
Per akhir Mei 2018, pinjaman yang disalurkan melalui layanan pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi sebesar Rp 6,16 triliun. Adapun rasio pinjaman macet atau NPL sebesar 0,64 persen. Dengan demikian, dari total pinjaman disalurkan itu, sebesar Rp 39,424 miliar merupakan pinjaman yang macet.
NPL tekfin pinjam-meminjam ini sempat menyentuh 0,99 persen pada Desember 2017, bahkan 1,28 persen pada Januari 2018.
Bagi sebagian penyedia platform layanan pinjam-meminjam ini, kemungkinan pinjaman yang macet itu sudah diantisipasi melalui pemberian imbal hasil yang tinggi bagi pemilik dana. Namun, ada juga penyedia platform yang memilih bekerja sama dengan perusahaan penjaminan kredit.
Bagi perusahaan penjaminan kredit, kerja sama ini membuka ceruk bisnis baru. Sebab, ada sumber premi penjaminan yang bisa dikembangkan. Perusahaan penjaminan ini juga menyadari sepenuhnya bahwa tren pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis teknologi sedang naik. Dengan menjadi penjamin, maka perusahaan penjaminan ini seperti memperkenalkan diri kepada pelaku usaha tekfin yang sebagian besar digawangi anak-anak muda.
Bagi penyedia platform pinjam-meminjam, kerja sama ini meningkatkan citra usahanya. Selain itu, mengurangi risiko yang harus ditanggung. Jika citra usaha meningkat, maka semakin banyak pemilik dana yang akan menempatkan dananya di penyedia platform ini. Pemilik dana juga akan semakin percaya diri menempatkan dana mereka di usaha penyedia platform. Sebab, risiko macet seperti diambil alih oleh perusahaan penjamin.
Lagi-lagi, dalam dunia bisnis, kepercayaan harus dijaga. Kepercayaan antara peminjam dan pemberi pinjaman –yang dihubungkan oleh penyedia platform digital- tetap harus dibangun. Macet merupakan risiko bisnis yang mesti disadari kedua belah pihak. Lalu, kedua belah juga mesti berupaya meminimalisasi risiko itu.