Generasi Muda Pertanian, Menentang Aral lewat Jalur Digital
Generasi muda pertanian hadir dengan teknologi untuk menawarkan solusi atas masalah yang dihadapi petani. Tak sedikit usaha rintisan yang telah lahir dan menunjukkan bukti. Mereka bisa mengatasi aral lewat jalur digital.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI/M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
Petani dan pasar adalah dua sisi yang masih saja berjauhan. Keduanya dipisahkan tengkulak atau pengijon, pengepul, pedagang besar, dan pengecer dalam rantai yang panjang. Asimetri informasi terjadi sehingga keadaannya kerap tidak seimbang. Namun, anak-anak muda hadir dengan teknologi untuk menawarkan inovasi dan solusi. Mereka mengatasi aral dengan cara digital.
Solusi itu, antara lain, ditawarkan oleh Aruna, perusahaan teknologi yang bergerak di bidang kelautan dan perikanan yang dirintis oleh anak-anak pesisir, yakni Utari Octavianty (27), Indraka Fadhillah (27), dan Farid Naufal Aslam (26), pada tahun 2015.
Ketiganya mengatasi problem pemasaran yang dihadapi nelayan dengan ”jembatan” digital. Lewat Aruna, nelayan bisa menjual tangkapannya ke pembeli di dalam dan luar negeri. Sistem menampilkan informasi harga sehingga nelayan memahami fluktuasi harga dan mendapatkan angka yang lebih adil.
Ketika distribusi terhambat pandemi, Aruna mengubah strategi, yakni dengan menggenjot pasar lokal. Menurut Co-founder dan General Director Aruna Utari Octavianty, konsumsi ikan dalam negeri melonjak di masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Aruna yang semula fokus ke pasar ekspor mulai menggarap pasar lokal.
Sebelumnya, komposisi pasar ekspor 90 persen, sementara pasar dalam negeri 10 persen. Dengan adanya pandemi, komposisinya bergeser, yakni 70 persen ekspor dan 30 persen domestik. Dengan cara itu, pemasaran tetap tumbuh. Nilai transaksi sepanjang tahun 2020 bahkan meningkat 700 persen secara tahunan.
Jumlah nelayan mitra pun bertambah dari 5.300 nelayan pada 2019 menjadi 15.000 tahun 2020. Pada Januari 2021, jumlahnya sebanyak 20.000 nelayan. Aruna bahkan mendapat suntikan modal dari investor asing di masa pandemi, yakni senilai 5 juta dollar AS.
Menurut Utari, kebutuhan konsumsi masyarakat terhadap makanan sehat meningkat, termasuk produk ikan siap masak dan ikan olahan. Di sisi lain, gaya belanja masyarakat berubah, cenderung bergeser ke daring dengan adopsi teknologi digital yang lebih baik.
”Kami garap pasar domestik, bekerja sama dengan e-dagang (marketplace), dan pedagang untuk masuk ke supermarket. Selain itu, kami mendistribusikan ikan langsung ke pasar-pasar tradisional serta bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, dan menengah. Kerja sama membuat semuanya menjadi lebih mudah,” kata Utari.
Menurut Rully Setya Purnama, inisiator Digifish Network, jaringan usaha rintisan kelautan dan perikanan Indonesia, ekosistem inovasi digital sektor kelautan dan perikanan terus berkembang dengan lahirnya usaha-usaha rintisan baru, bahkan di tengah pandemi. Industri perikanan masih memiliki potensi besar dan menarik bagi investor. Sejumlah perusahaan rintisan bahkan mendapat suntikan investasi Rp 200 miliar pada tahun 2020.
Sementara itu, beberapa usaha rintisan juga terus mengembangkan inovasi layanan. Usaha rintisan Jala, misalnya, tahun lalu mengembangkan laboratorium udang di Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai sarana pemeriksaan penyakit. Selain itu, usaha ini mengembangkan platform pengecekan harga udang dan menggarap pemasaran secara daring dengan menjembatani hasil panen petambak udang dengan industri pengolahan.
Pada tahun 2020, jumlah usaha rintisan yang bergabung di Digifish Network sebanyak 32 perusahaan dengan lebih dari 700 pelaku. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebanyak 26 usaha rintisan. ”Platform digitalisasi perikanan, baik yang sudah ada maupun yang bermunculan, tetap prospektif. Industri perikanan pasarnya sangat besar dan berpotensi terus dikembangkan,” kata Rully yang juga CEO Minapoli.
Pola belanja daring yang semakin masif juga membuka peluang bagi usaha rintisan di bidang penyediaan sarana produksi. Minapoli, yang di antaranya memasarkan sarana produksi perikanan, meraup pendapatan 2.000 persen selama tahun 2020. Hal ini, antara lain, dipicu semakin banyaknya pembelian barang secara daring.
Sebagaimana Aruna, TaniHub juga menghubungkan produsen di hulu dengan pasar di hilir. E-dagang pertanian ini mengatasi problem rantai pasokan dan distribusi hasil pertanian dengan teknologi.
Menurut Vice President of Corporate Services TaniHub Group Astri Purnamasari, produksi di sisi petani tetap berjalan selama pandemi, tetapi transportasi dan logistik terganggu. Permintaan tertekan lantaran sebagian hotel, restoran, dan katering mengurangi waktu operasionalnya, bahkan tutup. Namun, hambatan itu justru menjadi peluang bagi usaha rintisan sektor pertanian.
Astri menambahkan, ada sejumlah aspek yang perlu diperkuat melalui kolaborasi pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Aspek itu, di antaranya infrastruktur telekomunikasi, data raksasa bidang pertanian, serta infrastruktur pascapanen dan pengemasan.
Menurut Adrian Hernanto, CEO Kedai Sayur Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang jasa pemenuhan dan pengiriman kebutuhan pangan, komponen rantai pasok pangan harus dijaga agar terus berjalan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah pandemi. ”Kami menghubungkan suplai dari petani dengan permintaan dari pelanggan dengan menjalankan rantai pasok pangan segar yang efisien dan berbasis teknologi digital,” ujarnya.
Peran tersebut memberikan jaminan penyerapan bagi mitra petani dan penyelenggaraan transaksi digital yang transparan.