Selamatkan Rupiah, Eksportir Diminta Lebih Maksimal Simpan Dollar di Dalam Negeri
Dengan potensi eskalasi konflik di Timur Tengah, Indonesia semakin berkepentingan menjaga devisa hasil ekspornya.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memanasnya tensi geopolitik akibat serangan Iran ke Israel membuat kondisi pasar keuangan bergejolak hingga rupiah semakin melemah ke titik terendah dalam empat tahun terakhir. Untuk ”menyelamatkan” rupiah, pemerintah mengimbau eksportir untuk lebih maksimal memarkir devisa hasil ekspornya di dalam negeri.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dengan memperkuat pasokan cadangan devisa (cadev) di dalam negeri, rupiah semestinya bisa lebih kuat menghadapi tekanan pasar keuangan global saat ini. Belakangan ini rupiah terus melemah terhadap dollar AS akibat kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat yang berlanjut lebih lama dari perkiraan dan memanasnya konflik di Timur Tengah.
”Kami mengimbau seluruh devisa hasil ekspor (DHE) kita dari para eksportir agar dibawa pulang ke Indonesia. Ini memang sudah sesuai aturan kalau DHE mesti ditaruh di dalam negeri untuk waktu lebih panjang,” kata Suahasil dalam konferensi pers tentang kondisi perekonomian Indonesia terkini pascaserangan Iran ke Israel, Kamis (18/4/2024).
Pemerintah sebenarnya sudah mewajibkan pelaku ekspor untuk menyimpan devisa hasil ekspor mereka di sistem keuangan dalam negeri sejak 1 Agustus 2023. Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA).
Lewat aturan itu, eksportir SDA seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, wajib menyimpan 30 persen devisanya di sistem keuangan domestik selama minimal tiga bulan. Potensi devisa dari sektor SDA diperkirakan mencapai 203 miliar dollar AS. Dengan kewajiban menyimpan minimal 30 persen devisa di dalam negeri, potensi DHE yang masuk ke sistem keuangan Indonesia semestinya bisa mencapai 60,9 miliar dollar AS.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai penegakan aturan ini belum cukup optimal sehingga pasokan cadev yang berasal dari DHE itu belum cukup kuat untuk menopang nilai tukar rupiah di tengah gejolak pasar keuangan saat ini.
Suahasil berharap, di tengah kondisi saat ini, lebih banyak eksportir yang mau menyimpan hasil devisanya di dalam negeri. Ia mengatakan, eksportir yang menaruh devisa hasil ekspornya lebih lama dalam bentuk deposito di sistem keuangan dalam negeri akan diberikan insentif pajak berupa pembebasan atas bunga depositonya.
Dengan ada potensi eskalasi konflik di Timur Tengah, kita semakin berkepentingan menjaga DHE kita.
”Sesuai aturan, kalau harus ditaruh di dalam negeri, taruh untuk waktu yang lebih panjang. Kalau ditaruh lebih lama, pemerintah akan berikan insentif pajak. Sebab, kita mengekspor, kan, cukup banyak. Kalau devisa hasil ekspor itu pulang, itu akan memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia,” kata Suahasil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, cadangan devisa saat ini masih relatif kuat di posisi 136 miliar dollar AS. Itu diharapkan bisa menjaga rupiah dari melemah lebih dalam. ”Kita perlu meredam kebutuhan kita terhadap dollar. Pemerintah sendiri punya instrumen dalam bentuk DHE yang kita ingin tanamkan di dalam negeri. Jadi, dengan tools yang ada saat ini, sebetulnya masih relatif terkendali,” katanya.
Dalam waktu dekat, pemerintah akan mengundang Bank Indonesia untuk mengevaluasi tingkat kepatuhan eksportir dalam memarkir devisanya di dalam negeri. Menurut rencana, kinerja DHE akan dievaluasi pada awal April 2024 sesuai siklus evaluasi DHE setiap tiga bulan sekali. Namun, karena terbentur libur Lebaran, evaluasi itu tertunda.
”Sekarang ini momentum evaluasinya jadi tepat. Dengan adanya potensi eskalasi konflik di Timur Tengah, kita semakin berkepentingan menjaga DHE kita. Sebenarnya kalau dari sisi compliance sudah 95 persen, tetapi jumlah devisa yang sudah masuk ke rekening khusus dengan jumlah yang diretensi itu sedang kita evaluasi lagi,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwjono Mugiharso.
Sampai saat ini, pemerintah masih berusaha menenangkan pasar dan publik di tengah potensi eskalasi konflik Timur Tengah. Skenario terburuk sudah disiapkan, tetapi pemerintah tidak ingin gegabah dan bereaksi terlalu berlebihan. Sebab, masih ada kemungkinan eskalasi konflik bisa dihindari seiring dengan kesadaran banyak negara untuk menahan diri.
”Para pemimpin dunia statement-nya relatif sama, yaitu mau menghindari eskalasi. Jadi, tentu secara geopolitik relatif saat ini belum ada apa-apa. Kita masih menunggu perkembangan, tetapi kalau belum ada apa-apa, kita juga tenang-tenang saja. Kita tidak perlu merespons hal yang belum terjadi,” kata Airlangga.
Ia kembali menegaskan bahwa dibandingkan negara lain, depresiasi yang dialami rupiah sebenarnya tidak terlalu buruk. Sebab, fundamental ekonomi Indonesia secara keseluruhan masih kuat. Lembaga pemeringkat utang Moody's, pada 16 April 2024, juga mengeluarkan peringkat utang (Sovereign Credit Rating) Indonesia di peringkat stabil Baa2 sebagai negara yang masih layak tujuan investasi.
Moody's menilai ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. Penilaian Moody’s itu sudah mempertimbangkan kondisi geopolitik terkini pascaserangan Iran ke Israel.
”Jadi, kalau kita lihat tekanan global terhadap nilai tukar, Indonesia tidak turun sedalam negara lain. Pasar saham juga masih positif. Memang dollar AS saat ini menguat sendiri karena mereka belum mau menurunkan tingkat suku bunganya. Di sini kita harus jaga kepercayaan investor dalam negeri agar tidak terjadi capital outflow (aliran modal keluar dari Indonesia),” ucapnya.