IMF: Jangan Mengekor The Fed, Bank Sentral Sebaiknya Fokus Inflasi Domestik
Jika terlalu ketat mengikuti The Fed, bank-bank sentral di Asia dapat merusak stabilitas harga di negara masing-masing.
JAKARTA, KOMPAS — Dana Moneter Internasional mendorong bank-bank sentral di Asia untuk fokus pada inflasi domestik dan menghindari mengaitkan terlalu dekat keputusan kebijakan mereka dengan langkah yang akan diambil bank sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve.
Sinyal The Fed yang akan memperpanjang tingkat bunga tingginya saat ini memperkuat nilai tukar dollar AS terhadap mata uang banyak negara di Asia, di antaranya adalah yen Jepang, won Korea Selatan, dan rupiah.
Ekspektasi mengenai pelonggaran kebijakan The Fed berfluktuasi dalam beberapa bulan terakhir, didorong oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kebutuhan stabilitas harga di Asia.
Mengutip Reuters, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF, Krishna Srinivasan, Kamis (18/4/2024) atau Jumat (19/4/2024) waktu Indonesia, menyatakan, suku bunga AS mempunyai dampak kuat dan cepat terhadap kondisi keuangan dan nilai tukar mata uang negara-negara Asia.
”Ekspektasi mengenai pelonggaran kebijakan The Fed berfluktuasi dalam beberapa bulan terakhir, didorong oleh faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kebutuhan stabilitas harga di Asia,” katanya dalam penjelasan mengenai prospek ekonomi kawasan.
Jika terlalu ketat mengikuti The Fed, Krishna melanjutkan, bank-bank sentral di Asia dapat merusak stabilitas harga di negara masing-masing. Hal ini ditekankan saat beberapa bank sentral Asia menghadapi dilema. Perubahan pasar mata uang yang dipicu oleh perubahan ekspektasi The Fed baru-baru ini mempersulit jalur kebijakan mereka.
”Kami merekomendasikan bank-bank sentral Asia untuk fokus pada inflasi domestik dan menghindari pengambilan keputusan kebijakan yang terlalu bergantung pada antisipasi pergerakan Federal Reserve,” katanya.
Jika terlalu ketat mengikuti The Fed, bank-bank sentral di Asia dapat merusak stabilitas harga di negara masing-masing.
Gubernur Bank Korea Selatan Rhee Chang-yong, pada seminar di Pertemuan IMF-Bank Dunia di Washington, Rabu (17/4/2024), mengatakan, memudarnya peluang penurunan suku bunga The Fed telah menyebabkan hambatan bagi won dan mempersulit keputusan banknya mengenai kapan harus mulai memotong biaya pinjaman.
Dalam World Economic Outlook-nya, IMF memperkirakan perekonomian Asia akan tumbuh 4,5 persen tahun ini, turun dari 5 persen pada 2023. Pada 2025, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Asia melambat menjadi 4,3 persen.
Sementara itu, sinyal The Fed memperpanjang tingkat bunga tinggi dan ketegangan di Timur Tengah menyusul dugaan serangan balasan dari Israel kembali mendepresiasi rupiah dan meningkatkan harga minyak mentah dunia.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada Jumat (19/4/2024) pagi sempat terdepresiasi. Sepanjang hari, rupiah bergerak pada rentang Rp 16.255-Rp 16.288 per dollar AS dengan pola trimming loss menuju penutupan hari.
Pelemahan rupiah lebih lanjut ini terjadi setelah beberapa pejabat The Fed kembali mempertegas bahwa mereka akan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi untuk waktu lebih lama.
Baca juga: Israel Diduga Balas Iran, IHSG Hampir Sentuh 7.000
Rupiah juga melemah menyusul meningkatnya kembali tensi geopolitik di Timur Tengah pada Jumat dini hari akibat dugaan serangan balasan dari Israel ke Iran. Pelemahan rupiah itu terjadi beriringan dengan depresiasi hampir seluruh mata uang negara-negara akibat sentimen risk-off yang menguat di pasar dan permintaan akan aset safe haven seperti dollar AS yang semakin meningkat.
Perkembangan konflik di Timur Tengah pascadugaan serangan Israel ke Iran itu juga sempat menaikkan harga minyak mentah Brent ke level 90,14 dollar AS per barel pada Jumat pagi dan harga minyak West Texas Intermediate (WTI) ke level 85,80 dollar AS per barel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, kondisi perekonomian Indonesia masih terkendali. Pemerintah belum akan mengeluarkan kebijakan skenario terburuk karena masih berharap konflik masih bisa terdeeskalasi.
”Kita tidak perlu reaktif karena dari segi Iran sendiri menampik, menteri luar negerinya mengatakan (serangan) itu bukan dari Israel. Jadi, kita monitor saja dan kita tidak perlu reaktif," kata Airlangga di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat.
Kita amankan skenario terburuknya, tetapi untuk saat ini kita tidak bermain dulu sampai ke situ.
Ia membenarkan bahwa akibat memanasnya tensi geopolitik pada Jumat dini hari, terjadi gejolak di pasar keuangan. Namun, kondisi perekonomian Indonesia masih terkendali karena gejolak tersebut hanya merupakan reaksi pasar terhadap ketegangan konflik di Timur Tengah, bukan karena masalah ekonomi yang terjadi di dalam negeri.
”Dampak (konflik) itu, kan, bukan sehari. Kita lihat, walaupun market bereaksi negatif dan di banyak negara memang (mata uang turun), bukan hanya di Indonesia. Jadi, kita tetap monitor saja,” katanya.
Airlangga sempat berdialog dengan mantan Perdana Menteri Inggris periode 1997-2007, Tony Blair, Jumat siang, untuk meminta masukan terkait kondisi ekonomi global dan geopolitik saat ini. Dari hasil pertemuan itu, Airlangga mengatakan semua pihak saat ini tidak perlu reaktif karena dorongan untuk deeskalasi konflik sudah mengemuka di berbagai forum.
”Kondisinya saat ini kalau dalam politik adalah tit for tat. Sebatas saling menyelamatkan muka. Artinya, memang ada balas-membalas, tetapi skalanya kecil dan diharapkan tidak menimbulkan efek lanjutan bagi kondisi perekonomian dunia. Kita sudah cukup punya persoalan akibat perang di Ukraina yang belum selesai,” ujarnya seusai pertemuan dengan Blair.
Baca juga: Pasar Khawatirkan Pasokan Terganggu, Harga Minyak Kembali Naik
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi menambahkan, saat ini tidak ada negara yang ingin konflik bereskalasi. ”Ada istilah yang namanya brinkmanship (mencegah konflik menuju jurang kehancuran). Itu yang saat ini sedang diupayakan di berbagai forum,” kata Edi.
Oleh karena itu, ia melanjutkan, kebijakan ekonomi Indonesia dalam menyikapi dampak rambatan konflik Timur Tengah pun akan tetap terukur demi menjaga kepercayaan pasar dan publik. Meskipun sudah menghitung skenario terburuk, pemerintah masih memilih untuk memantau situasi.
”Kita amankan skenario terburuknya, tetapi untuk saat ini kita tidak bermain dulu sampai ke situ,” katanya.
Skenario terburuk yang dimaksud salah satunya adalah rencana pemerintah untuk mengalibrasi ulang kebijakan anggaran subsidi energi jika harga minyak mentah dunia melonjak akibat eskalasi konflik Timur Tengah.
Awal pekan ini, pemerintah sempat mengumumkan rencana untuk mengevaluasi ulang kebijakan subsidi energi, tetapi masih menunggu perkembangan situasi di Timur Tengah.
Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, skenario terburuk itu bisa terjadi jika konflik Timur Tengah mendorong kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) sampai menyentuh 100-110 dollar AS per barel atau jauh di atas asumsi APBN 2024 sebesar 82 dollar AS per barel.
Jika ini terjadi, subsidi energi akan membengkak menjadi Rp 356,14 triliun-Rp 404,21 triliun dari anggaran subsidi energi saat ini senilai Rp 244,18 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, ketidakpastian ekonomi global akibat konflik di Timur Tengah masih akan berlanjut sampai pekan depan akibat reaksi ketidakpastian di pasar keuangan dan komoditas. Ia memperkirakan, pekan depan rupiah masih berpotensi bergerak di kisaran Rp 16.100-Rp 16.350 per dollar AS.
Pelemahan rupiah yang terus berlanjut dan harga minyak dunia yang masih bergejolak itu bisa berdampak pada negara pengimpor minyak seperti Indonesia. Kondisi fiskal bisa tertekan mengingat APBN bertindak sebagai peredam guncangan di dalam negeri melalui subsidi dan kompensasi energi.
Namun, Josua juga menilai, fundamental ekonomi Indonesia saat ini masih cenderung stabil meskipun terjadi gejolak sesaat di pasar keuangan.
”Mengingat yang terjadi saat ini adalah gejolak eksternal dan mempertimbangkan fundamental ekonomi Indonesia cenderung solid, pemerintah memang tidak perlu reaktif merespons meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” kata Josua.