Pemerintah Segera Rampungkan Aturan Perlindungan Anak oleh Penyelenggara Sistem Elektronik
Pemicu pentingnya tata kelola perlindungan anak ialah maraknya kasus pornografi dan prostitusi pada anak di internet.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah merampungkan penyusunan rancangan peraturan pemerintah atau RPP terkait tata kelola perlindungan anak oleh penyelenggara sistem elektronik. RPP ini merupakan amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mewajibkan penyelenggara sistem elektronik atau PSE memberikan perlindungan bagi anak yang mengakses internet.
”Kita termasuk sedikit negara yang mau mulai menerapkan regulasi tata kelola perlindungan anak oleh PSE. Kami sedang menyusun RPP-nya sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi kepada media, Jumat (19/4/2024), di Jakarta.
Pasal 16A Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No 11/2008 tentang ITE menyebutkan, penyelenggara sistem elektronik wajib memberikan perlindungan bagi anak yang mengakses sistem elektronik. Pasal 16A Ayat (2) menyebutkan, pelindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi pelindungan terhadap hak anak sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan produk, layanan, dan fitur yang dikembangkan dan diselenggarakan oleh PSE.
Kemudian, pada Pasal 16A Ayat (3) UU ITE disebutkan, dalam memberikan produk, layanan, dan fitur bagi anak, PSE wajib menerapkan teknologi dan langkah teknis operasional untuk memberikan pelindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dari tahap pengembangan sampai tahap penyelenggaraan.
Selanjutnya, pada Pasal 16A Ayat (4) UU ITE disebutkan, dalam memberikan pelindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), PSE wajib menyediakan informasi mengenai batasan minimum usia anak, mekanisme verifikasi pengguna anak, dan pelaporan penyalahgunaan produk, layanan, dan fitur yang melanggar atau berpotensi melanggar hak anak.
”Mudah-mudahan, pada Juli 2024 sudah bisa diharmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” kata Budi.
Budi menambahkan, pemicu pentingnya tata kelola perlindungan anak oleh PSE ialah maraknya kasus pornografi dan prostitusi terhadap anak di ruang siber. Anak-anak menjadi korban dari perilaku menyimpang tersebut. Selama ini, klaim Budi, Kemenkominfo selalu berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak untuk memblokir konten-konten pornografi dan prostitusi terhadap anak di internet.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Sabtu (20/4/2024), di Jakarta, berpendapat, salah satu metode untuk memperkuat perlindungan anak dalam pemanfaatan teknologi digital yaitu dengan menggunakan skema age assurance atau jaminan usia, seperti yang dikembangkan Information Commission Office di Inggris. Age assurance mencakup serangkaian teknik untuk memperkirakan atau memverifikasi usia anak-anak dan pengguna, termasuk: deklarasi diri; sistem berbasis kecerdasan buatan dan biometrik; langkah-langkah desain teknis; pemeriksaan usia yang diberi token menggunakan pihak ketiga; serta penggunaan identitas.
Skema itu juga mendorong platform digital untuk mengembangkan standar atau kode perlindungan anak dengan menguraikan ekspektasi terhadap layanan daring yang diakses oleh anak-anak dengan menggunakan age assurance. Hal tersebut, selain mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (UNCRC), juga menekankan pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan upaya memitigasi risiko, terutama berkaitan dengan prinsip non-diskriminasi, menghargai pendapat anak, perlindungan privasi anak, serta perlindungan dari eksploitasi seksual.
”Dalam konteks jaminan usia, tentunya pengaturan di level UU semestinya hanya merumuskan aspek-aspek yang sifatnya umum dan prinsip. Sebab, teknologi untuk memastikan jaminan usia terus mengalami perkembangan,” ucap Wahyudi.
Sebagai bagian dari upaya pertanggungjawaban PSE, imbuhnya, salah satu skema yang mengemuka di masyarakat ialah terkait tanggung jawab mereka untuk memastikan perlindungan terhadap anak, baik dalam konteks privasi maupun juga konten yang diakses anak. Privasi anak sangat berkaitan dengan pemrosesan data anak, sedangkan konten berkaitan dengan risiko yang berbahaya bagi nasib anak.
Sejauh ini, UU ITE belum secara spesifik mengatur perlindungan anak dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi meskipun materinya banyak mengacu pada Budapest Convention on Cybercrime yang secara khusus mengatur larangan penyebaran pornografi anak. Ketentuan tentang perlindungan anak yang ada dalam UU ITE hanya berkaitan dengan pemberatan pidana mengenai larangan penyebaran konten kesusilaan berkaitan dengan anak.
Secara terpisah, Manajer Program ECPAT Indonesia Andy Ardian berpendapat, jika pemerintah bergerak cepat mengeluarkan peraturan pemerintah terkait tata kelola perlindungan anak oleh PSE, hal itu merupakan sikap yang positif. Artinya, pemerintah memiliki kesadaran serius mengatasi isu perlindungan anak di ruang siber.
”Kami pernah mengkritik pemerintah yang pernah lamban merespons konten-konten pornografi anak di internet,” tuturnya.
Andy menyebutkan, pengalaman di Amerika Serikat, PSE diwajibkan untuk melapor ketika terjadi insiden pornografi anak di platform mereka. Ketentuan seperti itu tampaknya belum ada di Indonesia.
Menurut dia, sejak 2019 sudah dibahas rancangan peraturan presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pelindungan Anak Di Ranah Daring. Pada tahun 2023, rancangan perpres itu sebenarnya telah selesai diharmonisasi tingkat kementerian/lembaga, tetapi sampai sekarang belum diketuk (disahkan).
”Kami berharap RPP tentang Tata Kelola Perlindungan Anak oleh PSE dan Rancangan Perpres Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah Daring, jika jadi ditetapkan, bisa mendorong industri teknologi untuk semakin peduli terhadap perlindungan anak,” katanya.