Perubahan Iklim Ancam Keselamatan dan Kesehatan Kaum Pekerja
Masalah K3 yang belum jadi budaya akan menambah risiko bagi pekerja di tengah ancaman perubahan iklim.
Minggu (28/4/2024) adalah Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Internasional. Sejumlah pekerjaan rumah klasik masih menghantui para pekerja. Namun, belakangan muncul ancaman lain yang membuat persoalan semakin kompleks: perubahan iklim. Perubahan iklim dan pekerja? Apa hubungannya?
Organisasi Buruh Internasional (ILO), dalam laporan ”Ensuring Safety and Health at Work in A Changing Climate” yang dirilis guna memperingati Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Internasional pada 28 April 2024, memaparkan ancaman perubahan iklim terhadap keselamatan dan kesehatan kaum pekerja.
Suhu rata-rata permukaan bumi pada 2023 mencatatkan rekor terpanas, dan Juli 2023 menjadi bulan terpanas yang pernah terekam. Selama periode 2011-2020, suhu rata-rata permukaan bumi 1,1 derajat celsius lebih hangat dibandingkan dengan suhu rata-rata pada akhir abad ke-19.
Baca juga: Tiga Tahun Terakhir, Tujuh Orang Meninggal Setiap Hari karena Kecelakaan Kerja
Situasi ini menyebabkan perubahan yang luas dan cepat pada atmosfer, daratan, lautan, dan wilayah es. Perubahan iklim telah mengakibatkan cuaca dan iklim ekstrem di semua benua sehingga meningkatkan risiko K3 bagi pekerja.
ILO membagi enam risiko perubahan iklim yang akan berdampak kepada K3 secara global. Keenam risiko yang dimaksud meliputi panas berlebihan, paparan sinar ultraviolet, peristiwa cuaca ekstrem, polusi udara, penyakit yang ditularkan lewat vektor, dan agrokimia.
”Keenam risiko K3 yang ada dalam laporan tersebut sangat dekat dengan kehidupan pekerja. Semuanya bisa mengganggu produktivitas dalam bekerja,” ujar National Program Officer ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Abdul Hakim, Jumat (26/4/2024), di Jakarta.
Dalam laporan yang terbit pada Senin (22/4/2024) itu, ILO memperkirakan lebih dari 2,4 miliar orang kemungkinan besar akan terpapar panas berlebih selama bekerja. Jika dihitung sebagai bagian dari angkatan kerja global, proporsinya telah meningkat dari 65,5 persen menjadi 70,9 persen sejak 2000.
Pada 2020 saja, sekitar 26,2 juta orang di seluruh dunia menderita penyakit ginjal kronis akibat tekanan panas di tempat kerja.
Laporan yang sama juga mencatumkan beberapa data proyeksi lain mengenai dampak perubahan iklim kepada K3 pekerja. Salah satunya, sekitar 1,6 miliar pekerja diperkirakan telah terpapar radiasi ultraviolet, dengan lebih dari 18.960 kematian terkait pekerjaan setiap tahunnya akibat kanker kulit nonmelanoma.
Semua pekerja dari berbagai latar belakang memiliki risiko K3 yang ditimbulkan dari perubahan iklim, mulai dari pekerja perempuan, usia muda, hingga pekerja lanjut usia.
Lewat laporan yang sama, ILO juga mengungkapkan bahwa semua pekerja dari berbagai latar belakang memiliki risiko K3 yang ditimbulkan dari perubahan iklim, mulai dari pekerja perempuan, usia muda, hingga pekerja lanjut usia.
Pekerja usia muda, misalnya, sering kali terpapar panas berlebih. Apalagi, jika mereka bekerja di sektor-sektor seperti pertanian, konstruksi, dan pengelolaan limbah.
Mereka juga cenderung lebih besar kemungkinannya mengalami kecelakaan serius di tempat kerja dibandingkan pekerja yang lebih senior atau tua masa kerjanya. Sebab, pekerja usia muda mungkin kurang matang, tidak memiliki keterampilan, pelatihan, dan pengalaman.
Dalam Laporan ”Working on a Warmer Planet” yang dirilis pada 2019, ILO memproyeksikan bahwa pada 2030, 2,2 persen dari total jam kerja di seluruh dunia akan hilang akibat suhu tinggi. Pekerja di subkawasan di garis lintang tropis dan subtropis mempunyai risiko lebih tinggi terhadap tekanan panas. Ini terjadi karena efek gabungan dari panas ekstrem dan banyaknya pekerja yang bekerja di sektor pertanian.
”Selain penyakit fisik, risiko panas berlebih yang ditimbulkan dari perubahan iklim juga berdampak terhadap mental. Pekerja menjadi lebih rentan stres dan pada akhirnya produktivitasnya menurun,” ucapnya.
Abdul menambahkan, risiko K3 yang ditimbulkan dari perubahan iklim tidak berdiri sendiri. Ada berbagai elemen yang memengaruhi, termasuk perkembangan industri.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Makin Marak dalam Lima Tahun Terakhir
Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Simrin Singh, pada acara peluncuran Program K3 Nasional 2024–2029 secara hibrida, Kamis, mengatakan, hal terpenting untuk mengantisipasi risiko - risiko tersebut adalah kemauan politik dari setiap negara.
Untuk Indonesia, dia menyarankan agar lewat kepemimpinan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pemerintah memprioritaskan dampak perubahan iklim kepada pekerja menjadi isu nasional.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Fredy Sembiring, yang juga hadir pada acara sama, berpendapat, menyikapi risiko - risiko baru K3 yang antara lain ditimbulkan oleh perubahan iklim, Indonesia semestinya melihat ulang substansi regulasi K3 yang sudah ditetapkan.
Tujuannya agar mengecek sejauh mana regulasi yang ada mengakomodasi perubahan. ”Menurut kami, Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang selama ini menjadi payung regulasi K3 perlu dikaji ulang,” ujarnya.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Kembali Terjadi di PT GNI, Kemenaker Perdalam Penyebab Insiden
Selain regulasi, Fredy memandang, K3 di Indonesia belum menjadi budaya yang benar-benar baik di kalangan pekerja dan industri. Masalah ini jika dibiarkan akan semakin menambah tingkat risiko K3 di tengah ancaman perubahan iklim.
”Belum lagi masalah pendataan pekerja yang mengalami risiko K3. Selama ini data pelaporan K3 belum jelas. Akibatnya, memetakan solusi ataupun cara mengantisipasi risiko-risiko baru K3 susah,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui bahwa budaya K3 di Indonesia belum berkembang secara memadai. Angka kecelakaan kerja yang dilihat dari data klaim jaminan sosial kecelakaan kerja (JKK), misalnya, setiap tahun cenderung naik.
Oleh karena itu, Ida menyatakan, perlu ada upaya menyeluruh dari pekerja dan pengusaha supaya budaya K3 benar-benar terlaksana. Kemenaker juga telah meluncurkan Dokumen Program K3 Nasional 2024–2029 yang diharapkan dapat menjadi salah satu acuan arah pembangunan K3 secara nasional agar selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2024–2029.
Angka kecelakaan kerja yang dilihat dari data klaim jaminan sosial kecelakaan kerja (JKK), misalnya, setiap tahun cenderung naik.
Sejauh ini, untuk mengatasi risiko panas berlebih di tempat kerja, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemenaker Yuli Adiratna menyebutkan, sudah terbit Peraturan Menteri Ketenagerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Aturan ini mengajak tempat kerja untuk mengukur dan mengendalikan panas berlebih serta psikologis kerja.
”Dengan maraknya proyek hilirisasi, pengujian panas berlebih harus dilakukan supaya pekerja tetap bisa nyaman dan aman selama bekerja. Kami mengajak pengusaha meningkatkan tanggung jawab K3 di tempat kerja masing-masing,” kata Yuli.
Baca juga: Klaim Penyakit akibat Kerja Masih Rumit
Ketua Komite K3 Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rima Melati mengatakan, untuk mencegah risiko K3 yang lebih luas akibat perubahan iklim, para pelaku industri punya andil besar. Apindo berupaya mendorong para anggotanya supaya dalam menjalankan usaha tidak melulu mengejar untung, tetapi juga memperhatikan aspek sosial.
”Kami percaya jika perubahan iklim tidak cepat diatasi, risiko K3 yang timbul semakin luas, lalu mengganggu bisnis. Fenomena kekeringan di lahan-lahan pertanian mengakibatkan industri tidak berproduksi maksimal. Pemilik industri bisa kolaps dan pekerja mengalami kekurangan penghasilan,” ucapnya.