Dunia Usaha dan Manufaktur Masih dalam Mode Ekspansif
Di tengah libur panjang Lebaran dan memanasnya hubungan Israel dengan Iran, industri manufaktur RI tetap ekspansif.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — S&P Global Indonesia dalam risetnya menyatakan, Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada April 2024 tercatat pada level 52,9. Hal ini menunjukkan industri manufaktur Indonesia berada dalam posisi ekspansif yang sudah bertahan sejak 32 bulan berturut-turut. Namun, Indonesia masih dibayang-bayangi oleh penurunan kinerja ekspor manufaktur yang menurun.
Dalam siaran persnya, Kamis (2/5/2024), Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence Paul Smith menjelaskan, secara keseluruhan, April 2024 merupakan bulan positif untuk manufaktur Indonesia. Hal ini ditopang hasil produksi dan permintaan yang naik sejak Maret 2024 pada tingkat baik di tengah laporan kondisi permintaan yang positif. Selain itu, dunia usaha terus mendorong pembelian dan menaikkan stok untuk mengantisipasi pertumbuhan pada bulan-bulan mendatang.
Kendati masih dalam mode ekspansif, PMI Indonesia pada April 2024 menurun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 54,2. Nilai PMI di atas 50 menunjukkan industri dalam posisi ekspansif, sedangkan di bawah 50 menandakan sebaliknya.
”Ada hambatan lain yang menyebabkan nilai PMI menurun. Hal ini dipicu kinerja ekspor manufaktur turun. Tingkat pertumbuhan produksi dan permintaan baru keduanya juga turun. Kondisi ini mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja,” kata Paul.
Kendati PMI Indonesia pada bulan ini menurun, menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, PMI pada April 2024 masih tergolong baik. Apalagi, pada April, di Indonesia ada libur 10 hari pada periode Idul Fitri yang menyebabkan masa kerja di industri manufaktur berkurang dan tidak optimal. Industri manufaktur, secara psikologis, juga terganggu dengan ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
”Ini angka yang sangat sehat dan solid,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam acara Business Matching Industri Kecil Menengah (IKM) Pangan dan Furniture di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis.
Ia menambahkan, posisi ekspansif yang berjalan 32 bulan berturut-turut menunjukkan industri manufaktur punya daya tahan dan tetap bisa melaju di tengah berbagai tantangan. Indonesia adalah salah satu dari dua negara yang mencatatkan PMI ekspansif selama 32 bulan beruntun bersama India. Angka PMI Indonesia pun lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Asia Tenggara yang berada di level 51.
Ekspansi pada industri manufaktur ini sejalan dengan survei Indeks Keyakinan Industri (IKI) April 2024 yang dirilis Kementerian Perindustrian pada Senin (29/4/2024). Nilai IKI pada April 2024 pada posisi 52,3, turun 0,75 poin dibandingkan Maret 2024.
”Meskipun ekspansinya melambat, hal ini merupakan sinyal baik untuk industri di tengah kondisi iklim usaha global saat ini,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif.
Febri menjelaskan, penurunan nilai IKI dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan persediaan produk. Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 2,32 poin menjadi 51,93 dan merupakan yang terendah pada tahun ini. Sementara nilai IKI variabel persediaan produk menurun 1,61 poin menjadi 54,02.
Berbeda dengan kedua variabel lain, nilai IKI variabel produksi meningkat 2,43 poin menjadi 51,76. Hal ini karena persediaan yang telah terserap optimal pada Maret lalu perlahan mulai kembali diproduksi. Namun, peningkatan biaya produksi, seperti biaya bahan baku, energi, dan peningkatan biaya logistik, tentu berpengaruh pada harga jual dan keputusan berproduksi.
IKI adalah indikator kondisi sektor industri pengolahan atau manufaktur yang dirilis setiap akhir bulan oleh Kementerian Perindustrian sejak November 2022. Setiap perusahaan dari berbagai subsektor industri wajib mengirim data kondisi perusahaannya, kemudian diolah menjadi IKI. Adapun variabel indikator yang diukur adalah pesanan baru, produksi, dan persediaan produk.
Sektor ritel
Industri manufaktur yang terus membaik ini diakui Ketua Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah. Menurut dia, sektor ritel saat ini terus membaik pascatekanan pandemi. ”Kondisi ini bahkan bisa dibilang sudah melebih 2019,” ujarnya.
Kondisi ini sejalan dengan data terbaru Indeks Penjualan Riil (IPR). Nilai IPR Februari 2024 berada pada level 214,1 atau tumbuh 6,4 persen secara tahunan. Kinerja penjualan eceran tersebut didorong oleh pertumbuhan kelompok makanan, minuman, dan tembakau; kelompok peralatan informasi dan komunikasi; serta kelompok barang budaya dan rekreasi yang membaik meski masih dalam zona kontraksi.
Secara bulanan, penjualan eceran tumbuh 1,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya, terutama ditopang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau; kelompok peralatan informasi dan komunikasi; serta kelompok barang budaya dan rekreasi sejalan dengan peningkatan kegiatan masyarakat pada periode Imlek, Pemilu 2024, dan persiapan kebutuhan menjelang bulan Ramadhan.