Satelit Starlink Elon Musk Telah Lulus Uji Laik Operasi di Indonesia
Keberadaan layanan satelit orbit rendah Starlink dapat dipakai sebagai pelengkap.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika memastikan satelit orbit rendah milik miliarder Elon Musk, Starlink, telah lulus uji laik operasi sehingga bisa segera berjualan ke masyarakat luas. Kementerian tidak akan campur tangan soal perumusan harga, tetapi berusaha menjaga kesetaraan perlakuan di pasar layanan telekomunikasi.
”Satelit Starlink sudah lulus uji laik operasi (ULO) dan mengantongi surat keterangan laik operasi,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, Kamis (2/5/2024), di Jakarta.
Menurut dia, salah satu persyaratan lulus ULO ialah memiliki stasiun bumi. Satelit Starlink sudah memiliki sejumlah stasiun bumi sehingga bisa dinyatakan lulus ULO.
Budi mengatakan, uji coba layanan satelit Starlink dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Mei 2024. Dia tidak menyebutkan detail kapan.
Mengenai harga layanan internet satelit Starlink, dia melanjutkan, Kemenkominfo tidak akan ikut campur. Selama ini Kemenkominfo juga tidak ikut campur dalam penetapan harga layanan baik yang dari operator telekomunikasi seluler maupun penyedia jasa internet.
”Kalau mereka (satelit Starlink) banting harga, nah itu baru kami awasi,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo Wayan Toni Supriyanto mengatakan, layanan satelit Starlink di Indonesia didistribusikan lewat PT Starlink Services Indonesia, badan hukum milik Starlink di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan bisnis layanan telekomunikasi berbasis satelit dari daftar negatif investasi (harian Kompas, 5/4/2024).
Mengutip laman Starlink.com, sejak tahun lalu hingga saat ini ketersediaan layanan telekomunikasi satelit Starlink masih tertulis akan segera hadir di Indonesia pada 2024. Di Asia Pasifik, layanan satelit Starlink sudah tersedia di beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, dan Australia.
Kalau mereka (satelit Starlink) banting harga, nah itu baru kami awasi.
Layanan telekomunikasi satelit Starlink sebelumnya sudah hadir di Indonesia dengan skema bisnis ke bisnis (B2B). Ini dilakukan melalui mekanisme kerja sama dengan Telkomsat, anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Pada 2022 Telkomsat telah menerima hak labuh Starlink dari Kemenkominfo. Dengan demikian, Telkomsat dapat memberikan layanan pada jaringan perantara yang menghubungkan infrastruktur jaringan tulang punggung telekomunikasi dan menara pemancar milik Grup Telkom.
Terkait satelit Starlink yang siap berjualan ritel, sejumlah pelaku industri telekomunikasi dalam negeri juga sudah memberikan tanggapan.
Direktur PT XL Axiata Tbk I Gede Darmayusa mengatakan, pihaknya sejak awal menyambut baik satelit Starlink sebagai teknologi untuk membantu memberikan layanan telekomunikasi ke daerah-daerah yang susah dijangkau, seperti 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar/3T). Pangsa pasar Starlink dia yakini akan berbeda dengan pasar layanan telekomunikasi yang sudah ada.
”Kami menganggap Starlink sebagai komplementer. Kami menganggap pasar mereka berbeda dengan kami. Misalnya, pasar yang secara akses infrastruktur logistik sangat susah dijangkau,” ujarnya.
Gede menambahkan, keberadaan satelit Starlink dapat dipakai oleh operator telekomunikasi seluler untuk menyalakan koneksi ke menara pemancar mereka yang berada di daerah 3T. Bentuk kerja sama seperti ini yang bisa dijajaki oleh operator telekomunikasi seluler.
”Kami berharap pemerintah harus mampu memberikan kesetaraan perlakuan antara kami para operator telekomunikasi seluler dan satelit Starlink,” ujar Gede.
Sementara itu, Direktur dan Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) Muhammad Buldansyah berpendapat, layanan ritel satelit Starlink akan lebih berpotensi bersaing dengan penyedia layanan berbasis internet atau VSAT. Pada jangka panjang, ada kemungkinan layanan yang dimiliki oleh Starlink akan bersaing dengan sesama operator satelit orbit rendah yang mengincar pasar Indonesia, seperti OneWeb.
”Masalah persaingan akan tergantung sejauh mana Pemerintah Indonesia mau memberikan izin produk layanan seperti itu hadir. Nantinya berbagai layanan internet (dari berbagai operator) akan berkompetisi dalam bentuk pelayanan, harga, dan jangkauan. Bagi kami, hal terpenting adalah pemerintah menjaga kesetaraan perlakuan,” katanya.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung, Agung Harsoyo, berpendapat, penyedia jasa internet nasional sudah terbiasa bersaing. Jika layanan yang diberikan antarpenyedia sama, lalu pemerintah menetapkan aturan yang sama dan perlakuan bisnis yang setara, maka iklim industri telekomunikasi akan tetap terjaga dengan baik.