The Fed Pertahankan Suku Bunga, Rupiah Sedikit Menguat
Dengan probabilitas di atas 75 persen, BI perkirakan FFR dipangkas sekali sebesar 25 bps pada Desember 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuannya. Keputusan tersebut membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sedikit menguat. Namun, era suku bunga tinggi ini akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kinerja perbankan.
The Fed melalui Rapat Dewan Kebijakan The Fed (FOMC), Rabu (1/5/2024) waktu setempat, memutuskan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) pada level 5,25-5,5 persen. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan data inflasi Amerika Serikat (AS) yang masih berada di atas ekspektasi sebesar 2 persen.
Ke depan, The Fed kemungkinan besar tidak akan menempuh kebijakan kenaikan FFR untuk meredam laju inflasi tersebut. Dengan demikian, fokus kebijakan The Fed saat ini adalah mempertahankan stance kebijakan ketat.
”Jadi, menurut saya, kecil kemungkinan kebijakan suku bunga berikutnya adalah kenaikan. Saya katakan, itu (kenaikan FFR) kemungkinan besar tidak terjadi,” kata Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell dalam konferensi pers FOMC sebagaimana dilansir dari Reuters.
Ia menambahkan, negara-negara lain dan pasar keuangan tengah beradaptasi dengan baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan divergensi kebijakan moneter dengan AS. Hal ini berjalan tanpa adanya gejolak di pasar negara berkembang yang menandai divergensi tersebut sebagaimana terjadi di masa lalu.
Sebab, kata Powell, sebagian besar negara-negara berkembang telah memiliki kerangka kerja kebijakan moneter yang baik dan lebih kredibel dalam mengendalikan inflasi. ”Untuk negara berkembang, kita belum melihat gejolak seperti yang terjadi pada 20 tahun lalu, 30 tahun lalu,” kata Powell.
Baca juga: Siap-siap Ekonomi Biaya Tinggi pada 2024
Berdasarkan hasil asesmen Bank Indonesia (BI), akan ada tiga skenario dinamika FFR ke depan. Pertama, kemungkinan pemangkasan FFR sebanyak satu kali sebesar 25 basis poin (bps) pada Desember 2024 dengan probabilitas di atas 75 persen.
Perkembangan tersebut menyebabkan banyak mata uang emerging market (negara berkembang) Asia mengalami penguatan, termasuk rupiah.
Kedua, FFR tidak akan turun pada 2024 dan baru akan dipangkas sebesar 50 bps pada triwulan I-2025 dengan probabilitas 50-75 persen. Ketiga, FFR akan tetap tinggi lebih lama dan baru turun 25 bps pada 2025 dengan probabilitas di bawah 50 persen.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susiato, Kamis (2/5/2024), mengatakan, pernyataan terkini dari The Fed dimaknai oleh sebagian pelaku pasar sebagai stance kebijakan yang agak longgar (dovish). Hal ini membuat para pelaku pasar berspekulasi pemangkasan FFR oleh The Fed akan lebih maju, dari sebelumnya pada Oktober/November 2024 menjadi September 2024.
”Perkembangan tersebut menyebabkan banyak mata uang emerging market (negara berkembang) Asia mengalami penguatan, termasuk rupiah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Mengutip data Jakarta Inter Spot Dollar (Jisdor), Kamis (2/5/2024), rupiah ditutup berada pada level Rp 16.202 per dollar AS atau menguat 0,45 persen dibandingkan dengan penutupan pasar sebelumnya. Kendati demikian, rupiah masih berada di atas level Rp 16.000 per dollar AS selama hampir dua pekan berturut-turut sejak pasar spot rupiah kembali dibuka pascalibur Lebaran.
BI memperkirakan, rupiah berangsur-angsur akan menguat hingga akhir 2024. Pada triwulan II-2024, rupiah terhadap dollar AS akan menguat rata-rata ke level Rp 16.200, Rp 16.000 pada triwulan III-2024, dan Rp 15.800 pada triwulan IV-2024.
Baca juga: Respons Kenaikan BI Rate, Stimulus Dibutuhkan
Secara terpisah, ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menambahkan, sejauh ini konsensus pasar tidak melihat The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Pasar hanya berekspektasi terhadap FFR yang akan dipangkas atau dipertahankan.
”Saat ini, tampaknya ekspektasi tidak berubah sehingga tidak ada tekanan tambahan terhadap nilai tukar rupiah ataupun arus modal di sejumlah negara berkembang,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Riefky, keputusan The Fed tidak hanya berpengaruh pada Indonesia, tetapi juga ke seluruh bank sentral di dunia. Keputusan tersebut akan menjadi bahan pertimbangan bank sentral dalam menentukan respons kebijakan moneternya.
Dampak kenaikan BI Rate
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (24/4/2024), memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen. Keputusan tersebut diambil guna memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking agar inflasi tetap dalam sasaran 1,5-3,5 persen pada 2024 dan 2025.
Risiko global yang diantisipasi oleh BI antara lain keluarnya aliran investasi portofolio asing dan depresiasi rupiah seiring sentimen penundaan pemangkasan suku bunga The Fed serta memanasnya konflik di Timur Tengah. Sejak awal tahun hingga 22 April 2024, investasi portofolio asing tercatat jual neto (net outflow) sebesar 1,3 miliar dollar AS. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sejak awal tahun hingga 23 April telah terdepresiasi 5,07 persen.
Senior Faculty LPPI Moch Amin Nurdin menyampaikan, keputusan BI menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen masih relevan untuk memperkuat rupiah dengan memancing masuknya investasi portofolio (capital inflow). Hal ini mengingat ketidakpastian global mengakibatkan dollar AS menguat terhadap mata uang negara lain dan berpengaruh terhadap perekonomian domestik.
Namun, ujar Amin, kenaikan suku bunga acuan tersebut berpotensi mengakibatkan pertumbuhan ekonomi domestik melambat dan daya beli masyarakat tertekan. Kendati demikian, sejumlah pihak masih optimistis jika pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh pada kisaran 4,5-5,5 persen.
”Kalau (suku bunga acuan tinggi) bertahan lama, ekonomi diragukan tumbuh pada kisaran tersebut,” ujarnya saat dihubungi.
Selain itu, kenaikan BI Rate akan berdampak terhadap sektor keuangan domestik, antara lain bagi industri perbankan. Namun, sejauh ini, industri perbankan belum melakukan penyesuaian pada kenaikan suku bunga acuan (wait and see).
Pertengahan tahun nanti bisa terjadi koreksi target, baik untuk pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), agar kinerja perbankan tetap bagus.
Berdasarkan asesmen suku bunga dasar kredit (SBDK), respons SBDK per Februari 2024 terhadap kenaikan BI Rate tercatat stabil atau meningkat terbatas, yakni pada level 8,83 persen. Kenaikan SBDK masih terjadi pada kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Kantor Cabang Bank Asing (KCBA), masing-masing 14 bps dan 8 bps menjadi 9,37 persen dan 6,84 persen.
“Jika kondisi seperti sekarang tidak berubah, bisa jadi akan ada koreksi naik tingkat suku bunga. Bahkan, pertengahan tahun nanti bisa terjadi koreksi target, baik untuk pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), agar kinerja perbankan tetap bagus,” katanya.
Pada triwulan I-2024, kredit perbankan tumbuh 12,40 persen secara tahunan ditopang oleh pertumbuhan kredit pada hampir seluruh sektor ekonomi. Sementara pertumbuhan DPK per Maret 2024 tercatat 7,44 persen secara tahunan.
Baca juga: Suku Bunga BI Naik, Penyaluran Kredit Bank Berisiko Melambat
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Nixon LP Napitupulu, Kamis (25/4/2024), menyatakan, kenaikan BI Rate akan berpotensi mengakibatkan likuiditas pendanaan menjadi lebih mahal. Oleh sebab itu, BTN mengantisipasi dengan menahan laju pertumbuhan kredit menjadi 10-11 persen pada 2024.
”Kalau harga barang baku mahal, jualannya tidak usah terlalu digeber. Memang pertumbuhan kredit sebelumnya bagus dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, faktanya, funding itu sekarang lagi mahal,” katanya dalam konferensi pers paparan kinerja BTN triwulan I-2024 di Jakarta (Kompas.id, 26/4/2024).