Percepat Pendataan Pekebun untuk Antisipasi Aturan Antideforestasi Uni Eropa
Satu langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menghadapi EUDR adalah lewat percepatan E-STDB.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri karet menagih janji pemerintah untuk mempercepat proses pendataan pekebun sebagai langkah mengantisipasi regulasi bebas produk deforestasi Uni Eropa yang mulai diterapkan pada Januari 2025. Di tengah waktu yang terbatas, upaya pemerintah mengatasi ancaman ekspor komoditas diharapkan bisa menjadi gerakan nasional.
Undang-Undang Bebas Produk Deforestasi Uni Eropa (EUDR) mewajibkan komoditas yang diekspor ke Uni Eropa bersertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) berbasis geolokasi (titik koordinat atau polygon) berdasarkan citra satelit dan sistem pemosisi global (GPS) dari perkebunan yang disertai dengan penerapan metode ketelusuran.
Secara prinsip, regulasi ini melarang sejumlah komoditas yang berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020 masuk pasar UE. Selain karet, komoditas ini juga berlaku untuk kopi, minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet serta produk-produk turunan atau olahannya, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Jika Indonesia tidak mampu memenuhi ekspor tersebut untuk EUDR, porsi ekspor kemungkinan besar akan dicari alternatif oleh operator/ trader melalui pengalihan porsi ke negara produsen lainnya.
Wakil Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Uhendi Haris menegaskan, salah satu langkah strategis yang saat ini dapat dilakukan untuk menghadapi EUDR adalah lewat realisasi percepatan pendataan pekebun melalui Sistem Terpadu Pendaftaran Usaha Budidaya Elektronik (E-STDB). Percepatan tentu perlu dilakukan juga untuk seluruh pekebun dan petani komoditas lain di luar karet.
”Hingga saat ini baru terdapat 971 E-STDB pekebun karet yang sudah terbit. Khusus sektor karet, dibutuhkan sedikitnya 491.106 E-STDB untuk memenuhi porsi ekspor karet dan produk turunannya ke Eropa,” ujar Uhendi kepada Kompas, Minggu (5/5/2024).
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun Gapkindo, dari total 1,79 juta ton produk karet yang diekspor pada tahun 2023, hanya 11 persen atau 206.203 ton yang diekspor ke Uni Eropa. Namun, persoalannya, negara, seperti Jepang dan Korea, yang mengimpor karet alam dari Indonesia dalam bentuk mentah atau setengah jadi, kemudian diolah untuk diekspor ke Eropa dalam bentuk produk jadi, juga akan menuntut pemenuhan EUDR dari Indonesia.
Kondisi tersebut mengancam volume ekspor produk karet Indonesia yang tiap tahun telah mengalami penurunan. ”Jika Indonesia tidak mampu memenuhi ekspor tersebut untuk EUDR, porsi ekspor kemungkinan besar akan dicari alternatif oleh operator/trader melalui pengalihan porsi ke negara produsen lainnya,” lanjut Uhendi.
Penalti
Direktur Eksekutif Gapkindo Erwin Tunas mengatakan, jika perusahaan importir di Eropa kedapatan melanggar aturan EUDR, perusahaan akan dikenai penalti sebesar 4 persen dari omzet tahunan mereka. Erwin menyebut, perusahaan importir tentu tidak akan tinggal diam dan akan membebankan sebagian, atau bahkan seluruh, penalti kepada eksportir di dalam negeri jika kedapatan melakukan pelanggaran.
Menurut Erwin, sektor karet alam, dari hulu hingga hilir, memiliki tantangan masing-masing untuk memenuhi aturan yang disyaratkan dalam EUDR.
Ia mencontohkan, di sektor hulu, pelaku industri karet menghadapi sejumlah tantangan, yakni pengumpulan informasi dan data kebun, kompleksitas rantai pasok di mana mayoritas pedagang dan perantara yang menghubungkan petani ke pabrik pengolahan tidak terigistrasi, serta minimnya pemenuhan dokumen legalitas oleh petani.
”Sementara di sisi hilir atau pabrik sistem segregrasi untuk memisahkan data sumber bahan baku belum siap, di samping tidak adanya data dan informasi kebun petani asal bahan baku,” ujarnya.
Baca juga: Dag-dig-dug Implementasi Regulasi Antideforestasi
Padahal, untuk mematuhi berbagai persyaratan dalam regulasi EUDR yang berlaku sejak 29 Juni 2023, perusahaan besar punya waktu 18 bulan dan perusahaan kecil 24 bulan. Artinya, secara umum, saat ini pelaku industri karet tinggal memiliki waktu kurang dari 7 bulan untuk memenuhi regulasi ekspor ke Uni Eropa.
Berkaca dari cara dan keberhasilan pemerintah menangani pandemi Covid-19, kami yakin jika ada political willdari pemerintah, komoditas berorientasi ekspor termasuk karet dapat menghadapi tantangan EUDR.
Untuk itu, Gapkindo berharap agar upaya pemerintah dalam menghadapi EUDR, baik melalui percepatan E-STDB maupun cara lainnya seperti percepatan pengumpulan basis data industri perkebunan, bimbingan dan pendampingan petani dan pekebun sesuai standar teknis, serta penyusunan dan penerapan sertifikasi pengembangan komoditas perkebunan secara berkelanjutan, dapat menjadi gerakan nasional.
”Berkaca dari cara dan keberhasilan pemerintah menangani pandemi Covid-19, kami yakin jika ada political will dari pemerintah, komoditas berorientasi ekspor termasuk karet dapat menghadapi tantangan EUDR,” kata Erwin.
Banyak ditentang
Selain Indonesia, juga banyak negara, antara lain Argentina, Brasil, Bolivia, Honduras, Ghana, Pantai Gading, Malaysia, dan Thailand, yang menentang penerapan EUDR. Negara-negara ter tergabung dalam kelompok negara berkembang yang memiliki pemikiran sama (like-minded countries) yang mewakili lebih dari 50 persen populasi dunia.
Kelompok tersebut juga telah dua kali melayangkan surat keberatan atas EUDR. Surat keberatan pertama yang ditandatangani 14 negara dilayangkan pada 27 Juli 2022, sedangkan surat kedua yang dilayangkan pada 7 September 2023 ditandatangani 17 negara.
Baca juga: Komoditas Ekspor RI Hadapi Tantangan Regulasi Produk Bebas Deforestasi UE
Kelompok negara berkembang tersebut berpandangan, upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim atau yang ada dalam kesepakatan multilateral, yaitu prinsip tanggung jawab bersama dengan bobot yang berbeda(principle of common but differentiated responsibilities). Regulasi itu juga merupakan bentuk diskriminasi dan ”hukuman” pada tujuh komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, sebanyak 27 senator Amerika Serikat juga telah bersurat kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif kebijakan EUDR, terutama bagi produsen bubur kertas dan kertas Amerika Serikat. Surat tersebut menyoroti persyaratan EUDR yang ketat, terutama terkait ketertelusuran yang sulit dipenuhi industri tersebut.
Mereka meminta Katherine Tai terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE. Katherine juga diminta mendorong UE mengakui Amerika Serikat yang telah memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat.
”Respons Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif. UE sendiri juga ditentang oleh Copa Cogeca, asosiasi petani UE, yang menyatakan tidak mungkin untuk melaksanakan EUDR pada waktunya,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melalui siaran pers di Jakarta pada 25 April 2025.
Indonesia dan Malaysia juga telah menggelar misi bersama untuk berdialog dengan perwakilan Komisi dan Parlemen UE pada Mei tahun lalu. Hasilnya, UE, Indonesia, dan Malaysia membentuk gugus tugas gabungan.
Pada Februari 2024, gugus tugas gabungan menyepakati membahas lima fokus terkait penerapan EUDR. Hal itu mulai dari melibatkan petani kecil dalam rantai pasok komoditas, serta perbedaan analisis dan standar antara kententuan EUDR dengan standar nasional negara lain, seperti sertifikasi sawit berkelanjutan ISPO dan MSPO.
Gugus tugas tersebut juga akan membahas terkait sistem ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen komoditas, serta bencmarkingEUDR yang sampai saat ini belum tersedia metodologi dan sumber data yang digunakan. Selain itu, perlindungan data pribadi juga akan turut dibahas.