Benarkah Era Pertalite Perlahan Berakhir?
Di beberapa SPBU di Jakarta, Pertalite digantikan Green 95. Namun, Pertamina tetap memastikan penyaluran Pertalite aman.
Bahan bakar minyak atau BBM jenis Pertalite beberapa hari terakhir ramai diperbincangkan di media sosial lantaran disebut akan dihapus. Kabar itu lantas memunculkan secuil kekhawatiran sebagian warga meskipun kenyataannya BBM jenis gasolin termurah serta terbanyak dikonsumsi masyarakat tersebut masih banyak dijumpai di berbagai stasiun pengisian bahan bakar untuk umum atau SPBU.
Berdasarkan pantauan di sejumlah SPBU di Jakarta dan sekitarnya, Senin (6/5/2024), sebagian besar SPBU masih menjual Pertalite. Namun, ada beberapa SPBU yang mulai meniadakan BBM dengan nilai oktan (RON) 90 tersebut dan menggantinya dengan produk Pertamax Green 95, produk terbaru Pertamina yang diluncurkan pada 2023 dengan pemasaran terbatas.
Pergantian misalnya terjadi di SPBU Pertamina 34.116.08 di Pos Pengumben, Jakarta Barat. Tidak ada lagi dispenser yang melayani pembelian Pertalite. Pada akses masuk dan keluar SPBU juga terpampang banner bertuliskan ”Telah Tersedia BBM Pertamax Green”.
”Sudah sejak 4 April (2024) enggak jual Pertalite, diganti Pertamax Green 95,” ujar salah satu petugas/operator SPBU.
Hal serupa juga ada SPBU COCO Pertamina 31.114.01 di Jalan S Parman, Jakarta Barat, yang tak lagi menjual Pertalite dan telah digantikan Pertamax Green 95 sejak Februari 2024. Petugas pun mengarahkan ke SPBU lain jika ada pelanggan yang bertanya dan hanya mau mengisi Pertalite. SPBU terdekat yang masih menjual Pertalite salah satunya ada di Jalan KS Tubun atau berjarak sekitar 1,2 kilometer (km) dari SPBU Coco itu.
Saat ini tersebar 63 outlet Pertamax Green di Jabodetabek dan Jawa Timur.
Saat dikonfirmasi mengenai digantinya Pertalite dengan Pertamax Green 95 di beberapa SPBU di Jakarta, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menekankan, pihaknya masih tetap menyalurkan Pertalite sesuai penugasan yang diberikan pemerintah. Namun, pihaknya menyatakan memang ada pengembangan outlet Pertamax Green 95 sebagai langkah Pertamina untuk mendukung dekarbonisasi Indonesia.
”Sejak dipasarkan, peningkatan permintaan Pertamax Green di konsumen terus tumbuh meski belum besar. Hal ini mendorong Pertamina menambah penyediaan outlet tersebut. Saat ini tersebar 63 outlet Pertamax Green di Jabodetabek dan Jawa Timur,” ujarnya.
Kendati tetap menyalurkan Pertalite, selama ini memang tidak semua SPBU melayani BBM bersubsidi/kompensasi, termasuk Pertalite yang merupakan jenis BBM penugasan khusus (JBKP). ”Memang ada beberapa SPBU yang hanya menjual BBM nonsubsidi,” kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso.
Pertamax Green 95, yang merupakan campuran gasolin dengan etanol 5 persen/E5 (bioetanol dengan bahan baku tetes tebu), diluncurkan Pertamina pada Juli 2023. Awalnya, produk itu hanya dipasarkan terbatas di 17 SPBU di Jakarta dan Surabaya. Setelah itu pemasarannya berkembang. Saat ini, produk itu telah tersedia di 63 outlet Pertamina.
Sebelumnya, pada Agustus 2023, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya berencana mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 atau pencampuran gasolin RON 90 dengan etanol 7 persen (E7) pada 2024. Kemudian disebutkan bahwa hal itu masih dalam tahap kajian internal Pertamina.
Baca juga: Babak Lain Wacana Pembatasan Pertalite
Dalam rapat tersebut, Nicke juga menyebut untuk memenuhi kebutuhan pasokan, pengadaan etanol dapat dilakukan dengan impor lebih dulu sampai investasi bioetanol dalam negeri, yang juga program pemerintah, terlaksana. Menurut dia, hal itu tak masalah karena sama dengan mengganti impor gasolin (bensin) dengan etanol, tetapi secara emisi akan lebih baik.
Pemerintah juga menyebut kajian terkait Pertamax Green 92 masih di tahap internal Pertamina. ”Kajian RON 90 + etanol menjadi RON 92 pernah dilakukan oleh ITB (Institut Teknologi Bandung) dan Pertamina. (Itu) untuk mendapatkan data teknis,” ujar Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo.
Pembebasan cukai
Pengembangan bahan bakar nabati (BBN) bioetanol merupakan bagian dari program dekarbonisasi menuju emisi nol bersih (NZE) 2060 yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya juga terbit Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai BBN (Biofuel).
Salah satu poin dalam perpres itu adalah peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu, paling sedikit sebesar 1,2 juta kiloliter (KL). Selain itu, pemerintah menugasi PT Perkebunan Nusantara III (Persero) antara lain untuk melakukan rencana investasi, paling sedikit berupa revitalisasi pabrik, pembangunan pabrik gula baru, dan pembangunan pabrik bioetanol.
Terbaru, pemerintah juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Pembentukan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 19 April 2024.
Salah satu kendala pengembangan bioetanol ialah pengenaan cukai atau pungutan negara pada etanol. Saat ini, tengah diupayakan adanya pembebasan cukai etanol yang digunakan untuk bahan bakar, bukan makanan/minuman atau bahan baku obat. Apabila pembebasan cukai dilakukan, diharapkan permintaan bioetanol bakal meningkat
Edi Wibowo menuturkan, pembebasan cukai etanol untuk bahan bakar tersebut masih dalam proses. ”Pertamina masih menunggu izin usaha industri dari Kementerian Perindustrian sebagai syarat bebas cukainya,” ujarnya.
Upaya transisi
Peneliti Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, memandang, perluasan produk BBN menjadi bagian dalam proses transisi penggantian Pertalite, meskipun penyaluran BBM kompensasi itu masih dilakukan Pertamina. Penggeseran Pertalite menjadi Pertamax Green 95 di beberapa SPBU mirip ketika peralihan Premium ke Pertalite yang dilakukan perlahan.
Tak dimungkiri, peningkatan itu juga demi tujuan keberlanjutan lingkungan. ”Namun, negara juga harus memastikan ketersediaan energi (termasuk BBM) yang terjangkau bagi masyarakat sehingga jika hendak ada transisi harus diperhitungkan dan dikaji matang seperti apa ke depan. Tak kalah penting adalah bagaimana agar tersosialisasikan baik kepada masyarakat. Semua harus berjalan mulus,” katanya.
Baca juga: Penghapusan Premium dan Pertalite Perlu Pertimbangkan Kondisi Ekonomi Masyarakat
Ia juga menyoroti kemungkinan pemenuhan etanol dengan cara impor sambil menunggu berkembangnya industri bioetanol di dalam negeri yang perlu disikapi hati-hati. Apalagi, program swasembada gula dan bioetanol pemerintah, secara jangka panjang, sebenarnya bertujuan kemandirian di sektor komoditas gula serta bioetanol.
”Jangan sampai impor etanol justru menunjukkan ketidaksinambungan dalam berbagai program di sektor energi. Juga mesti dilihat, akan seperti apa dampak terhadap keuangan negara. Bagaimanapun, kebijakan harus sinkron satu sama lain,” tuturnya.
Bagaimanapun, dengan harga Rp 10.000 per liter, Pertalite masih menjadi BBM andalan masyarakat. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menetapkan kuota Pertalite pada 2024 sebesar 31,7 juta kiloliter atau lebih rendah dari 2023 yang mencapai 32,5 juta kiloliter. Adapun harga Pertamax Green 95 saat ini dipatok Rp 13.900 di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Langkah mengganti Pertalite dengan BBM yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan perlu dilakukan dengan hati-hati serta tersosialisasikan kepada masyarakat. Di samping itu, pekerjaan rumah pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk menjadikan BBM subsidi tepat sasaran jangan sampai dikesampingkan.