Warren Buffett: Penipuan dengan Kecerdasan Buatan Bisa Tumbuh Jadi Industri
Teknologi kecerdasan buatan memiliki kemampuan mereproduksi konten yang menyesatkan.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada pertemuan pemegang saham tahunan Berkshire Hathaway, akhir pekan lalu, di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, Chairman dan CEO Berkshire Hathaway Warren Buffet mengeluarkan peringatan keras tentang potensi bahaya kecerdasan buatan. Penipuan menggunakan teknologi kecerdasan buatan menjadi risiko negatif pada kehadiran teknologi itu dan dikhawatirkan bisa membentuk industri.
”Ketika Anda berpikir tentang potensi penipuan terhadap orang lain, jika saya tertarik untuk berinvestasi dalam penipuan, ini akan menjadi industri yang berkembang sepanjang masa dan dimungkinkan, dengan cara tertentu oleh kecerdasan buatan,” kata Buffett seperti dikutip dari CNBC.
Buffett menunjuk pada kemampuan teknologi kecerdasan buatan untuk mereproduksi konten yang realistis dan menyesatkan sebagai bagian dari upaya mengirimkan uang kepada pelaku kejahatan. Penipu diketahui bisa menggunakan kloning suara memakai teknologi kecerdasan buatan dan teknologi deep-fake untuk memanipulasi video dan gambar yang menyamar sebagai keluarga dan teman seseorang untuk meminta uang atau informasi pribadi.
”Tentu saja, kecerdasan buatan juga mempunyai potensi untuk hal-hal yang baik. Namun, saya pikir, sebagai seseorang yang tidak memahami apa pun mengenai kecerdasan buatan, kecerdasan buatan memiliki potensi yang sangat besar untuk kebaikan dan potensi kerugian yang sangat besar dan saya belum mengadopsi AI,” ucap Buffet yang juga salah satu pendiri Berkshire Hathaway, korporasi multinasional itu.
Kecerdasan buatan telah menjadi perbincangan di Wall Street lebih dari setahun terakhir. Para investor bertaruh pada potensi teknologi ini supaya meraih keuntungan yang lebih tinggi pada masa depan. Saham-saham perusahaan teknologi yang memiliki produk kecerdasan buatan, seperti Nvidia dan Meta, meroket selama ledakan kecerdasan buatan. Masing-masing naik 507 persen dan 275 persen sejak akhir tahun 2022.
Buffet yang dikenal sebagai legenda investasi itu mengakui bahwa dirinya tidak akrab dengan kecerdasan buatan. Kendati demikian, dia khawatir terhadap potensi negatif yang ditimbulkan dari kecerdasan buatan. Ia bahkan menyamakan potensi risikonya dengan bom atom pada abad ke-20.
”Ini seperti membiarkan jin keluar dari botol ketika kami mengembangkan senjata nuklir. Jin itu telah melakukan beberapa hal buruk akhir-akhir ini. Kekuatan jin itulah yang membuat ketakutan. Saya tidak tahu cara mengembalikan jin ke dalam botol, dan kecerdasan buatan agak mirip. Apakah ini akan mengubah masa depan masyarakat, kita akan mengetahuinya nanti,” tambah Buffett.
Mengutip CNN, Greg Abel, calon penerus Buffett yang menjalankan operasi non-asuransi Berkshire, pada hari Sabtu (4/5/2024) mengatakan, Berkshire Hathaway telah mulai menggunakan beberapa bentuk kecerdasan buatan dalam bisnisnya sendiri untuk membuat cara kerja karyawan lebih efisien.
”Terkadang, ini menggantikan tenaga kerja, tapi mudah-mudahan ada peluang lain,” kata Abel yang tidak mengungkapkan banyak detail tentang rencana perusahaan untuk menggunakan kecerdasan buatan.
Buffett bukan satu-satunya tokoh bisnis besar yang mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi penipuan yang ditimbulkan dari teknologi kecerdasan buatan.
Dalam surat kepada pemegang saham bulan lalu, CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon mengatakan, meskipun belum mengetahui dampak penuh kecerdasan buatan terhadap bisnis, perekonomian, atau masyarakat, dirinya tahu bahwa pengaruh teknologi kecerdasan buatan akan besar.
”Kami sepenuhnya yakin bahwa konsekuensinya akan luar biasa dan mungkin sama transformasionalnya dengan beberapa penemuan teknologi besar dalam beberapa ratus tahun terakhir, seperti mesin cetak, mesin uap, listrik, komputasi, dan internet,” katanya dalam surat itu.
Dimon juga menyadari, risiko yang timbul akibat ledakan kecerdasan buatan seperti pelaku kejahatan yang menggunakan teknologi ini untuk mencoba menyusup ke sistem perusahaan. Mereka bisa mencuri uang dan kekayaan intelektual atau sekadar menyebabkan gangguan dan kerusakan.
Pada Januari 2024, JPMorgan Chase menyatakan, pihaknya melihat peningkatan yang cukup besar dalam upaya harian peretas menyusup ke sistemnya selama setahun terakhir. Ungkapan itu disampaikan menyoroti meningkatnya tantangan keamanan siber yang dihadapi bank tersebut dan perusahaan-perusahaan Wall Street lainnya.
JPMorgan Chase, bank terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar itu, juga menjajaki potensi kecerdasan buatan generatif dalam ekosistemnya sendiri.
Sementara itu, 42 persen CEO yang disurvei pada Yale CEO Summit musim panas lalu mengatakan, kecerdasan buatan berpotensi menghancurkan umat manusia dalam lima hingga 10 tahun dari sekarang. Hasil survei ini dibagikan secara eksklusif kepada CNN.
”Ini cukup gelap dan mengkhawatirkan,” kata profesor Yale Jeffrey Sonnenfeld tentang temuan tersebut.
Survei mencakup tanggapan dari 119 CEO dari berbagai sektor bisnis, termasuk CEO Walmart Doug McMillion, CEO Coca-Cola James Quincy, para pemimpin perusahaan teknologi kecerdasan buatan, seperti Xerox dan Zoom, serta CEO dari bidang farmasi, media, dan manufaktur.
Mengatasi masalah penipuan digital dibutuhkan sosialisasi literasi digital secara kontinu. Tidak semua korban penipuan yang memakai teknologi digital adalah orang tua yang dicap kurang melek teknologi digital.
Korban penipuan daring sering kali memiliki pengetahuan latar belakang yang lebih baik daripada rata-rata subyek penipuan.
Hasil survei Google-Qualtrics tentang Online Scams yang dilakukan Desember 2023 di seluruh Asia Pasifik, termasuk 1.247 warganet Indonesia berusia 18 tahun ke atas, menunjukkan, kelompok usia paling rentan adalah usia 25–34 tahun (72 persen) diikuti oleh 18–24 tahun (64 persen), 35–54 tahun (63 persen), dan 55 tahun ke atas (66 persen). Pelaku kejahatan menargetkan demografi yang lebih muda untuk pencurian identitas dan penipuan amal. Mereka menggunakan aplikasi pesan instan dan media sosial untuk menipu korban.
Psikolog klinis yang berbasis di Singapura, Annabel Chou, dalam konferensi pers secara daring bertajuk ”Ask The Expert: Scams” dan ”Bagaimana Google Memerangi Aplikasi Buruk di 2023”, akhir April 2024, mengatakan, studi psikologis menunjukkan bahwa korban penipuan biasanya menginvestasikan lebih banyak upaya kognitif untuk menganalisis konten penipuan daripada nonkorban. Korban penipuan daring sering kali memiliki pengetahuan latar belakang yang lebih baik daripada rata-rata subyek penipuan.
”Ini berarti bahwa orang yang ’berpendidikan’ dan ’rasional’ dengan beberapa pengetahuan tentang sekuritas keuangan lebih mungkin menjadi korban penipuan sekuritas keuangan dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan,” ucapnya.