Lydia Anggraeni Kidarsa, Menyuntikkan Daya Anak Berkebutuhan Khusus
›
Lydia Anggraeni Kidarsa,...
Iklan
Lydia Anggraeni Kidarsa, Menyuntikkan Daya Anak Berkebutuhan Khusus
Dari kecil ia percaya diri. Cara berpikirnya itu dimulai dari keluarga.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·6 menit baca
Jalur Boulevard Institut Teknologi Bandung menjadi saksi sosok Lydia Anggraeni Kidarsa yang kerap mondar-mandir di kampus. Wajahnya yang baby-face cepat tersenyum walau langkahnya selalu lambat karena mengalami spinal muscular atrophy (SMA) sejak kecil. SMA adalah kelainan saraf otot yang secara umum membuat otot melemah dan menyusut secara progresif.
Dengan keterbatasan fisik, apalagi tiap hari menghadapi anak-anak tangga Gedung Kuliah Umum ITB yang tidak punya lift, nilai-nilai Lydia melebihi sebagian besar teman-temannya. Itu pun masih ditambah segudang aktivitas. Pernah di satu semester, ia aktif di 11 tempat dengan puluhan kegiatan, seperti latihan nyanyi di Paduan Suara Mahasiswa ITB, jadi panitia ini dan itu di Himpunan Mahasiswa Fisika Teknik dan Keluarga Donor Darah, mengajar bimbel di Gereja Mahasiswa, kor di gereja, serta menjenguk orang-orang sakit. “Di semester itu IP gue nol koma,” kata Lydia.
Gue belajar dari anak itu. Dia bisa karena dia tidak pernah berhenti.
Ayahnya tidak marah. Ia hanya berkata, tiap orang pasti pernah gagal karena setiap orang ada batasnya. ”Gue udah cukup terhukum, tanpa dimarahin,” kata Lydia yang kemudian lulus Teknik Fisika ITB dengan IP 3,08 pada April 1998.
Ayah dan ibu Lydia membentuk perempuan yang lahir 4 Desember 1974 menjadi seseorang yang percaya diri. Sejak kecil, ia ingin jadi insinyur. Dengan gergaji tripleks pertamanya pada usia delapan tahun, Lydia langsung membuat kursi goyang untuk bonekanya. Baju-baju Barbie, ia jahit sendiri, belajar dari ibunya yang suka menjahit.
Pada usia dua tahun, ia tidak lari ke sana kemari seperti anak-anak lain. Dokter lalu mendiagnosis Lydia yang berusia empat tahun SMA. Ada gen tertentu yang hilang sehingga berefek pada lemahnya otot. Pada Lydia, otot pahanya lemah sehingga ia tidak mudah berjalan, bahkan untuk naik tangga harus sambil ditopang.
Namun, dari kecil ia percaya diri. Cara berpikirnya itu dimulai dari keluarga. Dunia kecil keluarga tidak memperlakukannya istimewa. Walau ia berkebutuhan khusus, jiwanya tidak berbeda dengan anak-anak lain. Ketika dewasa, Lydia membentuk dunianya sendiri dengan penuh percaya diri. Teman-teman banyak yang memberi semangat sehingga semakin banyak aktivitas, semakin banyak teman, semakin tinggi energi Lydia. Baginya, SMA tidak membatasi aktivitas, hanya membuatnya lebih lama tiba di suatu tempat. “Kayaknya gue terlalu sibuk untuk minder,” katanya terbahak.
Menjadi seseorang yang memiliki kebutuhan khusus justru membuatnya punya tujuan hidup. Sejak kecil, ia bercita-cita bisa membuat anak-anak berkebutuhan khusus bisa beraktivitas seperti biasa. ”Nanti kalau Lydia sudah gede, Lydia bikinin kursi roda yang bagus, bisa naik tangga, ya,” kata Lydia yang saat itu duduk di bangku SMP pada dokter sarafnya. Puluhan tahun kemudian, dokter saaraf ini menjadi konsumen pertama Lydia yang menjadi pengusaha dan desainer bioteknik. Ia merancang alat-alat bantu, bahkan juga bagian dari penampilan anak-anak berkebutuhan khusus.
Saat kuliah di Jurusan Teknik Fisika ITB, Lydia telah membuat printer braille yang ikut serta dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas). Untuk tugas akhir atau skripsi, ia membuat ”Analisis Gerakan Berjalan dan Perancangan Prototipe Kaki Prostesis”, yaitu kaki palsu diberikan motor penggerak. ”Saat itu saya sudah tahu bahwa suatu saat nanti ingin hidup dari solving problem secara teknologi untuk anak-anak berkebutuhan khusus,” kata Lydia.
Lulus tahun 1998, ia lanjut kuliah University of Surrey, Inggris, mengambil bidang Biomedical Engineering. Ia lalu kerja di bidang teknologi informasi di Jakarta dan Singapura selama setahun. Sempat ia membuat kursi roda, tapi karena terlihat jelek, ditolak oleh anak-anak. Lydia sadar, ia harus bisa menggabungkan seni dan teknologi agar bisa membuat alat bantu yang diterima anak-anak.
Anak sulung dari tiga bersaudara ini lalu menambah bekal pengetahuan tahun 2000, dengan mengambil join course tentang Industrial Design Engineering di Imperial College (IC) London dan Royal College of Art (RCA) dengan beasiswa. Kuliah yang harusnya dua tahun karena capek secara mental baru bisa ia selesaikan tiga tahun. Lydia yang ingin punya pengalaman kerja sempat menjadi insinyur membuat mesin-mesin farmasi di PT Kreasi Sanadi Multi hingga 2006.
Lydia mendirikan Bioteknik Design yang sejak tahun 2006 hingga 2023 telah membuat sekitar 100 alat bantu untuk orang-orang berkebutuhan khusus. Ia merancang kursi roda yang khusus untuk setiap pasien, yaitu menjawab problem secara teknis sebagaimana resep dari dokter rehabilitasi, tetapi juga berbasis pada pengalaman pengguna. Karyawannya sekarang ada tiga orang dan sebulan ia menangani 4-8 pasien dari seluruh Indonesia, seperti juga Makassar dan Kupang. Harga per kursi roda rata-rata Rp 12,7 juta.
Menghindari trauma
Dalam setiap perancangan, ia harus mewawancara dulu misalnya untuk mengetahui kebiasaan atau kekhasan seorang anak. Lydia tidak ingin alat yang ia buat menjadi alat penyiksaan. Pasalnya, walaupun maksudnya baik untuk koreksi postur jangka panjang, anak jadi tersiksa secara fisik dan mental. Ini membuat anak trauma. Oleh karena itu, selalu ada penyesuaian.
Punya pasien anak-anak itu lebih gampang. Kalau mereka senang, matanya membesar.
Waktu perancangan hingga penggunaan oleh pasien bisa tiga minggu sampai tiga bulan. Ada beberapa kasus yang harus sangat spesifik seperti ketika ia membuat alat bantu untuk kembar siam anak perempuan yang dempet dari pinggang ke bawah. Awalnya mereka hanya berbaring di ranjang. Rupanya, keduanya senang menggambar, sehingga lalu dibuat alat bantu seperti meja berhadapan. Keduanya jadi bisa sekolah.
Alat itu kemudian diberi roda, yang meningkatkan mobilitas dan mereka kini bisa ke mana-mana. Pasien anak-anak akan terus berkembang kebutuhannya hingga dewasa. Ini membuat model bisnis Bioteknik Desain berkelanjutan. Anak-anak juga lebih mudah beradaptasi dengan produk yang baru. “Punya pasien anak-anak itu lebih gampang. Kalau mereka senang, matanya membesar,” kata Lydia.
Lydia mengatakan, selama membantu anak-anak berkebutuhan khusus, ia justru kasihan pada anak orang kaya yang sibuk. Biasanya, oleh pengasuh, anak itu tidak didampingi sepenuh hati. Yang biasanya berhasil, justru anak-anak yang datang dari keluarga biasa saja tapi keluarga dukung tidak hanya uang, tapi terutama mental.
Energi utama Lydia adalah ia senang membuat sesuatu. Salah satu cita-citanya adalah membuat eksoskeleton yang sekarang banyak diriset di militer-militer luar Indonesia. Ia bercerita juga pernah gagal, misalnya pasien yang marah-marah karena kursi roda rusak. Ini biasanya ada ketidaksesuaian penggunaan dan perancangan.
Ada juga bisu dan punya kendala motorik. Lydia lalu membuat alat berbasis laptop yang membuat gambar-gambar untuk berkomunikasi. Sayang ketika dihubungi kembali, alat itu tidak dipakai lagi. Pasalnya, kakaknya mau kuliah sehingga laptopnya dibawa. “Padahal, laptop, kan, tidak seberapa harganya dibanding teknologi dan usaha yang kita keluarkan,” kata Lydia.
Percakapan ditutup dengan binar matanya, bercerita tentang Wulan, seorang perempuan berusia 29 tahun dengan cerebral palsy yang gigih ingin menjadi penari. Wulan mendapat bantuan kursi roda buatan Lydia dari alumnus angkatan 1993 ITB. ”Gue belajar dari anak itu. Dia bisa, karena dia tidak pernah berhenti,” kata Lydia dengan mata yang berbinar.
Lydia Anggraeni Kidarsa
Lahir: Bandung, 4 Desember 1974
Ayah: Fritz Kartiwa Kidarsa
Ibu: Christine Yoshawirja
Pendidikan:
SMA Aloysius, Bandung
S-1 Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung
S-2 Biomedical Engineering, Surrey University, Inggris
S-2 Industrial Design Engineering di Imperial College (IC) London dan Royal College of Art (RCA), Inggris