Berenang di Arus Masyarakat
Sebuah kartun bisa mengguncang kekuasaan, juga merobek persatuan. Ketika tekanan politik memanas seperti sekarang ini, para kartunis dalam negeri memilih jalan kemanusiaan: menyebar kedamaian sembari mengingatkan dalam balutan banyolan. Mereka seolah berenang di arus masyarakat yang bergejolak.
Semangat itu terasa sekali dalam Borobudur Cartoonists Forum (BCF) yang berlangsung pada Sabtu-Minggu (22-23/9/2018) di Magelang, Jawa Tengah. Para kartunis di beberapa daerah juga mempunyai semangat yang sama. Mereka tak ingin menjadi bagian dari masalah bangsa. Sebaliknya, mereka menyodorkan berbiji-biji solusi.
Selain seminar dan diskusi, panitia BCF menggelar lomba kartun. Secara umum, para kartunis mengedepankan semangat persatuan. Misalnya, seorang peserta menggambar sosok Jokowi dan Prabowo berada di atas Candi Borobudur sembari membawa gambar hati. Keduanya tersenyum penuh kedamaian.
Peserta lain menggambar Jokowi dan Prabowo duduk di atas sofa di atas salah satu stupa Candi Borobudur. Jokowi mengacungkan jari telunjuk, sementara Prabowo jari telunjuk dan tengah. Meskipun tengah berkampanye, keduanya tampak akur dan saling melempar senyum. Jauh dari kesan permusuhan. Gambar ini seolah memberi pesan bahwa pemilihan presiden adalah pesta demokrasi. Yang namanya pesta, ya seharusnya penuh sukacita, bukan amarah, apalagi menyebar petaka.
Muhammad Misrad, yang lebih akrab dipanggil Mice, mengatakan, politik selalu gaduh. Penguasa berusaha keras untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara oposisi mencoba banyak cara untuk merebut kekuasaan. Begitu terus-menerus. Rakyat bosan dengan kegaduhan. ”Biar tidak ribut, kenapa tidak dibagi-bagi saja. Dibicarakan baik-baik, kan, enak,” kata Mice.
Pola pikir yang kartunik ala Mice itulah yang kemudian melahirkan karya-karya bernada satire tetapi santun. Mice biasanya berangkat dari observasi sebelum mengeksekusi menjadi karya.
Mice berusaha netral dalam membuat karya karena dia sadar betul bahwa penggemarnya ada di kedua kubu. Dia tak ingin menyakiti atau mengecewakan salah satu kubu. Akan tetapi, netralitas Mice bukan berarti sonder kritik. Dia tetap kritis terhadap banyak hal seperti impor beras maupun hal-hal sepele dalam keseharian seperti lembaga survei atau media sosial.
Mice selalu mencoba membingkainya dalam semangat persatuan. ”Intinya ingin ikut menurunkan tensi politik. Kalau yang di atas ribut, yang di bawah tak perlu ikut,” kata kartunis yang baru saja kelar berpameran di Galeri Nasional bertajuk ”Indonesia Tersenyum” ini.
Kartun pemersatu
Bagi kartunis Sukriyadi Sukartoen, kartun atau komik bisa dimanfaatkan sebagai alat pemersatu. Ia prihatin melihat perkembangan akhir-akhir ini, terutama di media sosial, yang menunjukkan gejala perpecahan gara-gara berbeda pilihan politik. Pada bulan Mei lalu ia sempat mengeluarkan hasil coretannya.
Karyanya itu berupa gambar laki-laki berambut panjang yang sedang bergelayut manja di bahu seorang perempuan berkonde, berkebaya, dan berkain. Tulisan di bawahnya ”#2019NGANTRIPESINDEN”. Gambar berwarna hitam putih ini ia unggah di akun Facebook-nya dengan pengantar ”Terserah kalian mau ribut soal apa”. ”Wajah tokoh prianya dibikin mirip saya supaya tidak ada yang marah,” kata Sukriyadi di booth-nya saat acara POPCON Asia 2018, beberapa waktu lalu.
Pernah pula ia membuat gambar, Gatotkaca yang tengah duduk dikelilingi beberapa hewan, seperti ayam, kura-kura, tikus, kambing, dan lainnya. Tulisannya ”Tidak membinatangkan. Meski mereka pantas untuk itu”. Gambar yang juga ia unggah di FB itu ia beri pengantar ”Jaga hati, mulut, dan jarimu”.
”Saya berusaha nyentil, tetapi tidak bikin panas. Sebisa mungkin malah bikin adem lewat guyon-guyon visual,” tambah kartunis asal Semarang ini.
Selain terkadang mengusung isu sosial, Sukriyadi juga membawa misi lain lewat karyanya, yakni mempromosikan budaya Indonesia. Karya Sukriyadi cukup unik di tengah dominasi gambar komik yang berkiblat ke Jepang atau Amerika yang tampak di ajang itu. Ia memilih tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gatotkaca, Rama, dan Sinta. Agar bisa diterima anak muda, temanya dibuat kekinian. Misalnya, Gatotkaca menunggang motor besar atau berkalung kamera.
Gambar-gambar ini ia tuangkan menjadi desain kaus, hiasan dinding, tas, tempat tisu, dan lainnya. Sukriyadi merintis kariernya dengan mengerjakan pesanan ilustrasi di koran Warta Kota. Ia menambahkan nama Sukartoen yang merupakan kependekan ”suka kartoen (kartun)” di belakang namanya agar lebih dikenali.
”Keyakinan saya mengangkat tokoh-tokoh lokal saat saya terpilih sebagai juara pertama lomba desain kaus yang disponsori provider seluler. Untuk mendekatkan gambar itu kepada anak muda, saya ambil aktivitasnya yang sedang kekinian,” ungkap Sukriyadi.
Kartunis lain, Monez, meskipun berekspresi dengan cara yang berbeda, memegang semangat yang sama, kedamaian. Diundang dalam gelaran POPCON Asia 2018 di Indonesia Convention Exhibition, BSD, 22-23 September lalu, Monez memajang beberapa karya ilustrasinya yang kental bernuansa budaya Bali. Alih-alih menghadirkan barong yang biasa dijumpai di Bali, Monez menciptakan barong versinya, pribadi yang berlidah api dan sedang menabuh alat musik drum.
Imajinasi Monez juga kembali ke masa lalu untuk menghadirkan ilustrasi barong kuno. Bentuk barong memang selalu berubah dari masa ke masa. Kali ini, ia menghadirkan barong versi khayalan sebelum ada teknologi foto dan lukisan.
”Saya sengaja enggak masukkan kritik sosial, biar jadi konsumsi yang lain. Saya lebih ke budaya. Anak muda agar tahu lokalitasnya,” tambah Monez.
Budayawan Prie GS mengingatkan, kartunis atau seniman itu guru yang harus berenang di arus masyarakat, jangan di arus pendukung calon presiden. Sebab, kartunis menjadi keliru kalau memihak secara verbal, kasar, insinuatif, agitatif, apalagi provokatif. ”Kalau guru bangsa terprovokasi, saya kira itu keterbelahan,” ujarnya.
Dia menambahkan, tendensi humor itu adalah aspek sindiran dengan frekuensi tertinggi untuk menyadarkan, bukan memarahkan. Dia menyentuh, bukan menusuk.
Seorang kartunis dibilang berhasil jika mampu mengingatkan, tetapi yang diingatkan malah tersenyum senang. Ini butuh kecerdasan visual yang luar biasa. Di tengah masyarakat yang terbelah seperti sekarang ini, kecerdasan tersebut niscaya dibutuhkan agar para kartunis tidak menyebelah ke salah satu kubu. Mereka harus mampu berenang di arus masyarakat.
(Sri Rejeki/Mawar Kusuma W)