Panji dalam Seni Rupa
Kisah klasik Panji Asmorobangun dan Dewi Sekartaji rasanya belum banyak diangkat sebagai karya seni rupa. Padahal, karya-karya visual kisah yang lebih dikenal dengan cerita Panji ini sudah ada sejak lama. Salah satunya berbentuk relief yang banyak tersebut di dinding candi peninggalan leluhur.
Cerita Panji juga banyak dimunculkan dalam karakter topeng, itu pun menjadi bagian dari seni pertunjukan. Daerah yang memiliki kesenian tradisional topeng juga bisa dihitung dengan jari.
Di daerah lain ada yang mengukir topeng Panji, tetapi hanya sebatas kerajinan tangan yang dijual sebagai cendera mata.
Dalam Pameran Besar Seni Rupa (PBSR) 2018 yang berlangsung di Balai Kota Among Tani, Batu, Jawa Timur, epik Panji dimunculkan. Pameran yang berlangsung 15 September-12 Oktober itu mengetengahkan hasil karya sekitar 101 perupa dari Pulau Jawa dan Madura. Tidak hanya lukisan, peristiwa tahunan kali keenam ini juga menyuguhkan instalasi, patung, dan multimedia.
Seniman yang unjuk karya antara lain M Akbar dari Bandung yang menyuguhkan video art, Theresia Agustina S dari Yogyakarta yang mengetengahkan seni grafis dan instalasi, Farhanaz Rupaidha dari Bekasi dengan karya interaktif art, serta Suvi Wahyudianto dari Bangkalan, Madura.
Berbeda dengan seni pertunjukan yang alur cerita Panjinya sudah terpola—meski ditampilkan dalam varian dan tokoh berbeda—”nyawa” dalam seni rupa ternyata lebih lentur dan tentu saja keluar dari pakem. Semangat Panji pun bisa ditarik ke tema milenial dan kontemporer.
Tema seperti nasionalisme dan kondisi terkini bangsa tidak luput jadi sorotan seniman serta tidak melulu kisah percintaan antara Panji dan Sekartaji semata.
Lebih jauh di balik itu, tentang rasa cinta pada Tanah Air dan kehidupan. Keberagaman dan nasionalisme yang menjadi isu ”seksi” saat ini direpresentasikan oleh beberapa perupa. Sebut saja relief berbahan aluminium dengan judul ”Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji” karya Lini Natalini Widhiasi.
Sang perupa menggambarkan dua sosok wayang berlainan jenis kelamin yang saling berpelukan hingga wajah mereka seolah tampak bertolak belakang.
Ornamen abstrak warna-warni menghiasi kepala mereka. Polesan cat kuning, oranye, coklat, hijau, biru, dan lainnya berpadu menimbulkan kesan apik.
Dengan dimensi sekitar 2 meter x 1,5 meter, perupa asal Surabaya itu tidak hanya ingin menunjukkan dua tokoh sentral, Panji dan Sekartaji, tetapi juga maksud lain berupa perbedaan dan kesatuan.
Ornamen warna-warni menggambarkan perbedaan yang menjadi keniscayaan. Namun, perbedaan itu bisa membuat dua insan bersebadan. Lini ingin menunjukkan bahwa perbedaan adalah membuat sesuatu lebih indah.
Dalam narasi ia menyebutkan, ”Bukan cinta namanya kalau tidak mengenal perbedaan.”
Patung
Perupa lainnya, Ponimin, mengetengahkan karya berupa patung keramik stoneware massal. Lebih dari 20 patung, tiga di antaranya berukuran paling besar, dengan mudah bisa ditebak bahwa mereka adalah Panji, Dewi Sekartaji, dan seorang lainnya yang memiliki perangai kejam sebagai Kelana Sewandono.
Mereka dikelilingi oleh banyak prajurit (bapang) dengan mengendarai sepeda motor.
Perupa asal Batu itu ingin menunjukkan apa yang ia sodorkan bukan semata-mata menceritakan tentang pertepuran antara Panji dan Kelana Sewandono yang berusaha memperebutkan Sekartaji. Namun, Ponimin ingin menunjukkan makna lebih, yakni pertempuran memperebutkan eksistensi kehidupan atau dalam bahasa mudahnya memperebutkan Tanah Air.
Sekartaji menggambarkan sosok wanita, siti, tanah, dan ibu pertiwi. Adapun Panji menggambarkan tentang Wisnu, surya, penerang, penghidup. Semua unsur ini menyatu dan membentuk kehidupan sehingga harus dicintai dan dibela.
Dua karya di atas hanya sebagian dari upaya perupa dalam menarik semangat Panji untuk kepentingan yang lebih luas. Ada beberapa karya lain yang memiliki roh serupa, seperti lukisan ”The Last Mask” karya perupa tuan rumah Abdul Rokhim yang menggambarkan campuran topeng Panji dengan topeng superhero asing dan ”Beragam-ragam Negeri Indah Kita” karya FRVRTHP dari Magelang, Jawa Tengah, yang menggambarkan apa saja fenomena di sekitar kita dalam media sosial.
Kurator pameran Djuli Djatiprambudi menyebut cerita Panji sebagai dasar konsep penciptaan seni rupa kontemporer memiliki tantangan tersendiri. Tantangannya terletak pada perbedaan pemahaman dan tafsir para perupa tentang sejarah cerita Panji itu sendiri.
”Pameran ini memberikan gambaran tentang hibridasi ungkapan estetik antara kelokalan dan kekontemporeran. Hibridasi ini terbentuk melalui hubungan pengetahuan, imajinasi, dan intuisi antara ide dasar yang terkandang dalam cerita Panji dan inspirasi perupa,” ujarnya.
Terlepas dari proses kreatif, Direktur Jenderal Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan mengatakan, tema Panji diambil karena cerita yang menggambarkan percintaan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji itu sudah diakui dunia menjadi memory of the world dari UNESCO pada 2017.
Melalui tema ini, menurut Restu, pihaknya berharap penguatan pendidikan karakter berbasis pada pendidikan lokal bisa terus muncul. ”Posisi Panji penting, orang Jawa Timur harus merasa memiliki Panji. Kita sodorkan kepada anak-anak sekolah, mulai dari Batu,” ujarnya.
”Kita tahu Panji lahir di Jawa Timur, Kediri tepatnya, kemudian besar di Majapahit dan menyebar di seluruh Asia Tenggara dengan berbagai versi.
Dan sekarang sudah diakui dunia. Di dalam cerita, Panji luar biasa nilainya,” ujarnya.
Menurut Restu, jika biasanya seniman pertunjukan telah merespons cerita Panji, sekarang saatnya para perupa meresponsnya dalam wujud seni rupa.