Cegah Depresi dan Perundungan, Perlu Kontrak Calon Dokter Spesialis dengan RS Pendidikan
Kontrak antara calon dokter spesialis dan rumah sakit pendidikan akan memperjelas hak dan kewajiban setiap pihak.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Temuan gejala depresi pada sebagian calon dokter spesialis di Indonesia menguatkan kebutuhan akan kontrak antara calon dokter spesialis dan rumah sakit pendidikan. Kontrak ini menjadi landasan hak dan kewajiban calon dokter spesialis selama menjalani pendidikan di rumah sakit pendidikan.
Hal itu diungkapkan Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Laksono Trisnantoro saat dihubungi, Kamis (18/4/2024). ”Selama ini belum ada kontrak antara residen (calon dokter spesialis) secara perorangan dan rumah sakit pendidikan,” ujarnya.
Menurut akademisi yang mendalami kebijakan kesehatan tersebut, kontrak akan mengatur hubungan kerja seperti layaknya perusahaan dengan pekerja. Artinya, hak dan kewajiban setiap peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menjadi jelas. Hal ini termasuk terkait dengan bayaran atau insentif, hak istirahat, dan hak cuti.
Kontrak juga akan melindungi calon dokter spesialis dari kemungkinan adanya praktik perundungan oleh senior.
”Karena para senior itu juga diatur dalam kontraknya dengan rumah sakit untuk menjaga perilaku secara profesional. Kalau melanggar dengan mem-bully, misalnya, bisa kena sanksi, bahkan dikeluarkan jika perlu,” ucap Laksono.
Dia menerangkan, kontrak antara residen dan rumah sakit pendidikan sudah menjadi hal lumrah di negara-negara lain. Pengaturannya pun jelas mulai dari tahun pertama calon dokter spesialis masuk, tahun kedua, dan seterusnya hingga lulus, yang biasanya dalam waktu 4-6 tahun. Halaman kontrak yang memuat hak dan kewajiban itu bisa sepanjang 3-4 halaman.
Laksono menjelaskan, sebenarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sudah mengatur perihal hak dan kewajiban residen di Pasal 31. Namun, regulasi turunannya di level kementerian, dalam hal ini yang membidangi pendidikan, tidak pernah diwujudkan. Undang-Undang Kesehatan yang baru, kata Laksono, akan lebih memperjelas perihal ini.
Asosiasi-asosiasi profesi dokter juga harus memperjuangkan ini.
Menurut dia, perlu dorongan dari Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mewujudkan mekanisme kontrak tersebut. ”Asosiasi-asosiasi profesi dokter juga harus memperjuangkan ini,” katanya.
Dekan FK-KMK UGM Yodi Mahendradhata, dalam siaran persnya pada 17 April 2024, menyatakan, PPDS terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan peserta didik.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengurangi potensi penyimpangan aktivitas dalam mekanisme pendidikan yang berdampak pada kesehatan fisik dan mental mahasiswa. ”Proses skrining atau penapisan kesehatan mental merupakan contoh upaya nyata pengelolaan kesehatan jiwa mahasiswa,” ujarnya.
Yodi mengungkapkan, proses penapisan ataupun skrining kesehatan mental bagi mahasiswa perlu memperhatikan pemilihan instrumen skrining untuk menjamin validitas data, mempertimbangkan aspek etik, serta menjaga kualitas data. Namun, hasil skrining awal bukan sebagai kesimpulan final ataupun perangkat untuk mendiagnosis kondisi kesehatan mahasiswa.
”Hasil skrining semestinya diikuti dengan tahapan pemeriksaan lanjutan, seperti pemeriksaan oleh ahli kesehatan mental,” kata Yodi.
Dengan demikian, hasil kajian awal tidak untuk dipublikasikan karena berpotensi menimbulkan salah interpretasi, pelanggaran etik, maupun stigmatisasi institusi atau kelompok tertentu, seperti mahasiswa calon dokter spesialis.
Lebih lanjut, Yodi menerangkan, FK-KMK UGM dalam menyelenggarakan PPDS telah melakukan pengelolaan kesehatan mental bagi mahasiswa. Pertama, melakukan skrining kesehatan bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis di awal proses pendidikan.
Kedua, melakukan pengaturan jam kerja bagi semua mahasiswa calon dokter spesialis. Ketiga, memberikan edukasi tentang penanggulangan gejala-gejala depresi secara berkesinambungan kepada mahasiswa calon dokter spesialis.
Keempat, menyediakan layanan tim psikolog apabila terdapat indikasi gejala depresi. Layanan psikolog tersebut juga bisa diakses melalui internet secara personal untuk menjamin kerahasiaan proses konseling. Kelima, melakukan monitoring rutin terkait kondisi dan perkembangan pendidikan mahasiswa calon dokter spesialis oleh dosen pembimbing akademik.
Menurut Yodi, pendampingan secara berkelanjutan dalam pendidikan dokter spesialis memegang peran penting untuk mendukung kualitas pembelajaran. Hal itu mengingat tak tertutuo kemungkinan mahasiswa menghadapi berbagai tantangan dalam proses pendidikan.
Tantangan tersebut, di antaranya, ialah tingginya beban kerja pelayanan 24 jam untuk kasus emergensi, pemberian perhatian lebih pada kasus-kasus berat dan komplikasi, serta tuntutan target penyelesaian pendidikan tepat waktu dari institusi atau pemberi penugasan beasiswa pendidikan.