Pertanian Alami Lindungi Ekosistem dan Jaga Keberlanjutan Bumi
Peringatan Hari Bumi menjadi momentum untuk beralih dari pertanian tidak ramah lingkungan ke penerapan yang lebih alami.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hari Bumi yang diperingati setiap 22 April menjadi momentum yang sangat tepat untuk melindungi sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem. Upaya ini salah satunya dapat dilakukan dengan beralih dari kegiatan pertanian yang tidak ramah lingkungan menuju penerapan yang lebih alami.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi Ferry Widodo mengemukakan, peringatan Hari Bumi akan selalu relevan di tengah kondisi lingkungan yang semakin rusak. Namun, efektivitas peringatan Hari Bumi sangat tergantung dari upaya semua pihak memperjuangkan keadilan iklim dan antargenerasi.
”Bagi Walhi, Hari Bumi bukan hanya sebagai momentum, tetapi kita mengingatkan kembali betapa Bumi punya batasan daya tampung. Namun, jangan sampai Hari Bumi hanya menjadi seremonial dan kita harus menunjukkan eksistensi untuk terus memperjuangkan agar Bumi tetap sehat,” ujar Ferry dalam diskusi daring, Senin (22/4/2024).
Maritsa Zuchrufa dari Yayasan Bina Desa mengutarakan, saat ini kondisi Bumi tengah mengalami perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca tidak menentu hingga memicu berbagai bencana ekologis, seperti banjir. Kondisi ini juga berdampak terhadap masyarakat, termasuk petani, dalam memprediksi cuaca untuk masa tanam.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mengakibatkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun. Risiko kerugian tersebut salah satunya berasal dari sektor pertanian dengan nominal Rp 78 triliun.
”Dari sektor pertanian, penggunaan pupuk atau pestisida kimia bisa memberikan dampak besar bagi lingkungan. Penggunaan pupuk kimia menghasilkan emisi yang dapat mengakibatkan perubahan iklim. Jadi, meski aktivitasnya menanam, pertanian juga bisa berdampak terhadap kerusakan lingkungan,” ucapnya.
Banyak hasil riset menunjukkan pupuk kimia bersifat panas sehingga membuat tanah cepat mengeluarkan air. Akibatnya, tanah menjadi keras dan retak-retak. Kemudian, penggunaan pupuk dan pestisida kimia dapat meninggalkan sisa-sisa zat kimia yang nantinya tersimpan dalam bahan pangan sehingga membahayakan jika dikonsumsi.
Jangan sampai Hari Bumi hanya menjadi seremonial dan kita harus menunjukkan eksistensi untuk terus memperjuangkan agar Bumi tetap sehat.
Selain itu, mekanisasi pertanian atau perubahan aktivitas pertanian dengan alat-alat modern berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan, baik air, tanah, maupun udara. Peran manusia untuk mengelola pertanian secara alami semakin tergantikan oleh mesin.
Berkaca dari kondisi tersebut, Maritsa menyebutkan, upaya untuk melindungi ekosistem dan menjaga keberlanjutan Bumi perlu dilakukan dengan beralih menuju pertanian yang lebih alami. Pertanian alami ini berfokus pada penggunaan bahan alami lokal, mengurangi emisi, dan menerapkan bahan-bahan yang bebas dari residu kimia berbahaya.
Pertanian alami juga memanfaatkan ekosistem dan kondisi alam dalam proses pertanian mulai dari pengendalian hama hingga penyubur tanah dan tanaman. Oleh karena itu, petani perlu mengetahui siklus hama dan tanaman sehingga dapat melakukan penanganan dengan tepat tanpa ada intervensi dari bahan-bahan yang merusak lingkungan.
Pengembangan kapasitas
Konsep pertanian yang bisa dikembangkan petani salah satunya adalah agroekologi. Ide utama dari agroekologi ialah merancang ekosistem pertanian. Dampaknya, ketergantungan dari pupuk kimia, pestisida kimia, dan mesin pertanian bisa diminimalkan tanpa harus mengganggu atau mengorbankan produktivitas lahan tersebut.
Selain itu, petani juga perlu meningkatkan kapasitas, dengan memahami berbagai hal terkait iklim beserta cara penanggulangannya. Beberapa di antaranya terkait dengan aspek teknologi usaha tani, pola tanam, jenis komoditas, serangan hama dan penyakit, serta pertumbuhan dan produksi tanaman.
Peningkatan kapasitas petani yang berbasis sains juga penting karena mereka kerap memperoleh pengenalan teknologi dan perangkatnya tanpa mengetahui risiko penggunaannya bagi ekosistem tanaman. Terpenting, petani kurang mendapat kemampuan analisis mengenali dampak iklim pada lahan dan tanaman.
”Petani juga seorang peneliti. Sawah merupakan laboratorium dan mereka mengamati kondisi, kebutuhan, semua yang menyerang tanaman, dan mempelajari bagaimana cara siklus hidup di alam. Dengan demikian, kita bisa bersahabat dengan alam,” tutur Maritsa.