Perempuan Miskin Terasingkan dari Program Perlindungan Sosial
Kemiskinan menjadi salah satu persoalan kaum perempuan. Intervensi program pemerintah semakin urgen.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Kemiskinan perempuan menjadi salah satu agenda penting yang diangkat pada puncak acara Musyawarah Nasional Perempuan untuk Perencanaan Pembangunan atau Munas Perempuan ke-2 tahun 2024 di Kabupaten Badung, Bali, 19-20 April 2024. Peserta munas menilai, hingga kini masih banyak perempuan miskin di Tanah Air yang terlewat dari program perlindungan sosial.
Setidaknya ada tiga permasalahan utama terkait persoalan perempuan dengan program perlindungan sosial (perlinsos). Pertama, masih ada data penerima manfaat program perlinsos yang belum dimutakhirkan, bersifat sektoral, dan tidak terintegrasi. Kedua, jangkauan program perlinsos yang belum komprehensif, dan ketiga, anggaran terhadap program perlinsos belum sepenuhnya berpihak pada kelompok rentan.
Hal ini disampaikan Vidia dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (PR Yakkum) dan Lastiar Padang dari organisasi terkait risiko bencana dari Gunungsitoli pada sesi pemaparan sembilan isu utama perempuan, kelompok disabilitas, dan kelompok marjinal, Sabtu (20/4/2024) lalu.
Situasi ini terlihat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Di dalamnya tercatat daftar pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) yang menyangkut 26 kriteria penerima manfaat, juga data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Data tersebut masih kurang detail dan belum terintegrasi sehingga sering terjadi kesalahan data. Contohnya, ada aparatur sipil negara (ASN) yang tercatat sebagai penerima manfaat DTKS. Program perlinsos juga belum terfokus pada ragam perempuan dengan situasi kerentanan berlapis.
Selain persoalan data, hingga kini warga disabilitas belum sepenuhnya bisa mengakses pelindungan sosial, seperti akses alat bantu bagi disabilitas. ”Anak-anak disabilitas yang sepanjang hidupnya membutuhkan terapi itu masih belum bisa mengakses pelindungan sosial sepenuhnya,” papar Vidia.
Tak hanya itu, perempuan pekerja migran yang mengalami disabilitas karena kecelakaan kerja serta korban perdagangan juga tidak mendapatkan program perlindungan sosial untuk rehabilitasi dan pemulihan.
Lastiar mengungkapkan, perlinsos bagi perempuan terdampak bencana terbatas pada santunan dan bantuan tanggap darurat. Sementara itu, bantuan sosial yang bersifat pemulihan dan pemberdayaan untuk kesejahteraan perempuan masih terbatas.
Karena itulah, terkait isu kemiskinan perempuan, Munas Perempuan merekomendasikan adanya rencana aksi yang meningkatkan jangkauan perlinsos bagi perempuan dengan keragaman identitas dan kerentanan. Hal lain yang perlu diupayakan adalah perbaikan kebijakan, salah satunya keberpihakan anggaran yang disediakan untuk perlindungan sosial serta penjangkauan administrasi kependudukan yang efektif.
Selain itu, meningkatnya kualitas tata kelola dan integrasi data perlinsos dengan data pilah serta analisis kondisi kerentanan perempuan serta tersedianya kanal-kanal pengaduan yang aman bagi perempuan untuk pengawasan dan kontrol implementasi perlinsos.
Tidak dirancang khusus
Menanggapi persoalan kemiskinan perempuan terkait akses pada program perlinsos, Salahudin Yahya, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, menyatakan, Kemensos memberikan perhatian atas isu yang disampaikan pada Munas Perempuan tersebut.
Terkait pendataan yang menjadi persoalan, dia memberikan klarifikasi bahwa Pusdatin Kemensos memang tidak merancang sistem pendataan yang secara khusus mengidentifikasi perempuan dan situasi-situasinya, salah satunya perempuan penyandang disabilitas. Namun, data dapat dipilah dengan penyaringan variabel antara variabel jenis kelamin dan jenis PPKS-nya.
Begitu juga soal pemutakhiran data, menurut Yahya, data bukannya tidak dimutakhirkan. Saat ini, pemutakhiran data dilakukan setiap bulan. Persoalannya, operator di tiap daerah tidak melakukan pendataan khusus soal penyandang disabilitas.
Akibatnya, meskipun seseorang masuk DTKS, mereka tidak dapat teridentifikasi sebagai penyandang disabilitas. Selain itu, pemahaman di tingkat desa atau kelurahan mengenai eligibitas DTKS masih kurang.
Bahkan, di lapangan masih banyak yang mengira bahwa DTKS itu terbatas kuota sehingga sebagian masyarakat merasa takut mengusulkan data baru. Mereka khawatir data baru tersebut itu akan menggeser penerima bantuan saat ini (existing).
”Padahal ini mesti kita pahami bersama yang memiliki kuota itu bukan DTKS, tetapi programnya. Artinya, penerima manfaat existing itu tidak perlu takut digeser oleh penyandang disabilitas, karena jenis program dan kriteria penerimanya memang berbeda. Masing-masing ada kuotanya,” ujar Yahya.
Soal alat bantu, saat ini ada tujuh alat bantu kesehatan yang ditanggung BPJS berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023, yaitu kacamata, alat bantu dengar, protesa alat gerak, protesa gigi, korset tulang belakang, collar neck, dan kruk. Selain itu, Kemensos juga memberikan alat bantu kepada penyandang disabilitas.
”Apa yang kami lakukan, terutama untuk melakukan gerakan secara masif, afirmasi terhadap komunitas atau kelompok perempuan, tidak hanya melalui pendekatan struktural, tapi juga pendekatan kultural. Kami punya lebih dari 40.000 pendamping di seluruh Indonesia yang terus melakukan pendampingan terhadap perempuan,” papar Yahya.
Sembilan isu
Isu kemiskinan perempuan terkait perlinsos adalah salah satu dari sembilan isu utama atau isu krusial utama perempuan, kelompok disabilitas, dan kelompok marjinal yang dipresentasikan perwakilan Mitra Inklusi di forum munas sekaligus merupakan rekomendasi kepada pemerintah.
Adapun sembilan isu utama itu adalah kemiskinan perempuan (perlindungan sosial), perempuan pekerja, penghapusan perkawinan anak, kkonomi perempuan, kepemimpinan perempuan, kesehatan perempuan, perempuan dan lingkungan hidup, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perempuan dan anak berhadapan dengan hukum.
Kesembilan isu tersebut sudah melalui penjaringan aspirasi, perumusan, dan analisis dalam musyawarah atau rembuk hingga tingkat nasional yang digelar secara daring pada 26-27 Maret 2024 lalu.
Satu per satu dari sembilan isu tersebut disampaikan di tengah forum munas. Munas Perempuan ini diselenggarakan atas kolaborasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Perwakilan dari sejumlah kementerian/lembaga juga hadir pada puncak acara munas tersebut.
Adapun organisasi mitra Inklusi, antara lain, terdiri dari Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), Migrant Care, Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) Perempuan, Aisyiyah, Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti), dan Perempuan Kepala Keluarga Indonesia (PKBI).
Selain itu, ada juga Kemitraan (Partnership), Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (PR Yakkum), dan Perempuan Sumatera Mampu (Permampu).