Gerakan Merdeka Belajar diyakini mulai membawa kemajuan dunia pendidikan dan budaya sehingga perlu terus dilanjutkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wajah baru pendidikan dan kebudayaan Indonesia dalam lima tahun terakhir sedang dibangun melalui gerakan Merdeka Belajar yang dinilai sudah berada di jalur yang benar. Namun, keberlanjutan gerakan Merdeka Belajar membutuhkan partisipasi semua elemen pendidikan untuk terus mengawalnya guna membawa Indonesia melompat ke depan.
”Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan tugas memimpin gerakan Merdeka Belajar,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim saat berpidato pada upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024, Kamis (2/5/2024), di Jakarta.
Namun, lanjutnya, lima tahun juga bukan waktu yang lama untuk membuat perubahan menyeluruh. Ia menyatakan, bukan hal yang mudah untuk mentransformasi sebuah sistem yang sangat besar.
Dalam peringatan Hardiknas yang tahun ini bertema ”Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” itu, Nadiem mengakui, bukan pula sebuah tugas yang sederhana untuk mengubah perspektif tentang pembelajaran. Pada awal perjalanan, semua orang menyadari bahwa perubahan membutuhkan perjuangan. Wajar jika ada rasa tidak nyaman menyertai setiap langkah menuju perbaikan dan kemajuan
Hasilnya, lanjut Nadiem, kini anak-anak Indonesia berani bermimpi karena mereka merasa merdeka belajar di kelas. Para guru pun berani mencoba hal-hal baru karena mereka mendapatkan kepercayaan untuk mengenal dan menilai murid-muridnya.
Demikian juga para mahasiswa, mereka siap untuk berkarya dan berkontribusi karena ruang untuk belajar tidak lagi terbatas di dalam kampus. Di sisi kebudayaan, kini semarak karya-karya kreatif seniman dan pelaku budaya yang berkembang karena terus didukung untuk berprestasi.
Nadiem mengajak semua pihak terkait untuk meneruskan gerakan Merdeka Belajar secara berkelanjutan. Sebab, masyarakat mulai merasakan perubahan ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang terjadi berkat gerakan itu.
”Semua yang sudah kita upayakan harus dilanjutkan sebagai perjalanan ke arah perwujudan sekolah yang kita cita-citakan,” kata Nadiem.
Kondisi pendidikan bukan lagi perlu diperbaiki, tapi diakselerasi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pengabdiannya sebagai Mendikbudristek akan segera berakhir. Namun, ini bukan berarti titik terakhir gerakan Merdeka Belajar.
”Dengan penuh ketulusan, saya ucapkan terima kasih banyak atas perjuangan yang Ibu dan Bapak lakukan. Saya titipkan Merdeka Belajar kepada Anda semua, para penggerak perubahan yang tidak mengenal kata menyerah untuk membawa Indonesia melompat ke masa depan,” kata Nadiem.
Belum ideal
Secara terpisah, inisiator jaringan pendidikan Semua Murid Semua Guru (SMSG), Najeela Shihab, dalam acara media gathering bertajuk ”Kerja Barengan Ciptakan Ekosistem Pendidikan yang Berpusat dan Berpihak pada Anak” mengatakan, kondisi ideal pendidikan, terutama di persekolahan, memang belum tercapai. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi atau kerja bareng dari banyak pihak untuk memperbaiki ketertinggalan pendidikan.
”Kita sudah memasuki bonus demografi. Kondisi pendidikan bukan lagi perlu diperbaiki, tapi diakselerasi,” ucapnya.
Ia mengatakan, percepatan perbaikan pendidikan akan dapat dilakukan dan diraih jika banyak pihak mengambil peran dan terlibat. Upaya tersebut, katanya, untuk menjangkau sekitar 80 juta anak Indonesia di dunia pendidikan.
Perkuat kolaborasi
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, sistem pendidikan Indonesia masih banyak menghadapi tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas peserta didik. Para pemangku kebijakan, menurut dia, perlu memperkuat kolaborasi dalam mencari terobosan perbaikan sistem pendidikan nasional.
”Kami menilai saat ini perlu peningkatan kolaborasi antara penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk memastikan kebijakan arah pendidikan kita tidak bersifat top down. Selain itu, kolaborasi ini dibutuhkan untuk menentukan prioritas kebijakan penyelenggara pendidikan agar sesuai dengan masalah yang ada di lapangan,” ujar Huda.
Huda mengatakan, capaian sistem pendidikan Indonesia saat ini masih belum terlalu menggembirakan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikator, seperti rendahnya kemampuan dasar siswa dalam bidang literasi, sains, dan matematika; masih belum tuntasnya persoalan kesejahteraan guru; hingga sempitnya akses pendidikan tinggi di Tanah Air.
”Ironisnya, berbagai tantangan besar tersebut terkesan dihadapi dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat top down dan mempersempit keterlibatan masyarakat sipil di bidang pendidikan,” katanya.
Terkait Merdeka Belajar, ia menuturkan, banyak kalangan menilai kebijakan tersebut belum benar-benar memberikan kemerdekaan bagi penyelenggara pendidikan dalam merumuskan praktik belajar-mengajar terbaik sesuai kebutuhan peserta didik. Dalam praktiknya, kebijakan Merdeka Belajar masih terjebak pada kegiatan teknis administratif yang memberatkan guru dan tenaga kependidikan.
”Penetapan Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran 2024/2025 juga menjadi kendala tersendiri meskipun ada masa penyesuaian hingga dua tahun ke depan,” ujar Huda.
Ia berharap pemerintah memprioritaskan penyelesaian pengangkatan satu juta guru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Langkah ini untuk memastikan solusi kesejahteraan guru yang menjadi masalah akut dari waktu ke waktu.
”Kesejahteraan guru ini menjadi kunci bagi apa pun inovasi dalam peningkatan mutu sistem pendidikan kita. Jika guru sejahtera, apa pun kurikulumnya, apa pun kompetensi peserta didik yang hendak dikembangkan, apa pun metode belajar-mengajar yang dipilih probabilitas keberhasilannya akan lebih tinggi,” kata Huda.