Gratis dan Digaji, Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit untuk Daerah Tertinggal
Program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit diharapkan dapat mempercepat pemenuhan dan pemerataan dokter.
JAKARTA, KOMPAS — Program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit secara resmi telah diluncurkan. Pada tahap pertama, jumlah peserta yang akan diterima dalam program sebanyak 38 orang. Peserta diprioritaskan dari daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau hospital based diharapkan dapat mempercepat pemenuhan jumlah dokter spesialis di Tanah Air. Upaya ini sekaligus untuk memastikan distribusi dokter spesialis bisa merata di seluruh wilayah Indonesia.
Presiden Joko Widodo menuturkan, urgensi peningkatan jumlah dokter spesialis semakin tinggi dengan rasio dokter spesialis yang masih kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kekurangan jumlah dokter spesialis di Indonesia diperkirakan mencapai 29.000 dokter. Kondisi itu diperburuk dengan distribusi yang tidak merata.
”Rata-rata semua dokter spesialis ada di Jawa dan di kota. (Sebanyak) 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, sekali lagi, harus ada terobosan. Kita harus membuat terobosan,” ujarnya dalam acara peresmian Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Hadir pula dalam acara tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim; serta Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Jangan sampai peralatan yang tadi sudah sampai di kabupaten-kota, sudah sampai di provinsi tidak berguna gara-gara dokter spesialisnya yang tidak ada.
Presiden mengatakan, pengadaan alat kesehatan kini sudah lebih baik di sejumlah fasilitas kesehatan, baik di rumah sakit maupun puskesmas. Namun, di sela-sela kunjungannya ke daerah, alat-alat kesehatan, seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) belum digunakan secara optimal. Ketiadaan dokter spesialis menjadi kendala yang dikeluhkan.
Baca juga: Pendidikan Dokter Spesialis Dikaji Bersama
”Jangan sampai peralatan yang tadi sudah sampai di kabupaten-kota, sudah sampai di provinsi tidak berguna gara-gara dokter spesialisnya yang tidak ada,” kata Jokowi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, jumlah dokter spesialis yang diproduksi di Indonesia per tahun sekitar 2.700 dokter. Kekurangan dokter spesialis saat ini mencapai 29.000 dokter.
Jumlah itu, tutur Budi, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Inggris. Dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta orang, jumlah produksi dokter spesialis per tahunnya mencapai 12.000 dokter atau hampir lima kali lipat dari Indonesia.
”Sesudah kami lihat karena sistemnya berbeda. Itu sebabnya ada kebijakan membuka pendidikan berbasis rumah sakit dan kolegium karena memang itu yang dilakukan standar di seluruh dunia,” katanya.
Dengan diluncurkannya program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit, penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis di Indonesia akan berjalan dengan dua program, yakni pendidikan berbasis rumah sakit dan pendidikan berbasis perguruan tinggi. Sebanyak 420 rumah sakit pendidikan pun akan diperkuat untuk mendampingi 24 fakultas kedokteran yang selama ini sudah menyelenggarakan program pendidikan dokter spesialis berbasis perguruan tinggi.
Baca juga: Atasi Kekurangan Dokter, Pendidikan Kedokteran Berbasis Rumah Sakit Akan Diperkuat
Budi memastikan, peserta program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit tidak akan dipungut biaya pendidikan. Para peserta akan mendapatkan perlindungan kesehatan, perlindungan hukum, jam kerja yang wajar, dan insentif.
Kualitas pendidikan yang diberikan juga akan terjamin sesuai dengan standar internasional. Penyusunan kurikulum akan dilakukan bersama seluruh kolegium kedokteran spesialis dengan pendampingan dari ACGME (Accreditation Council for Graduate Medical Education). ACGME merupakan lembaga akreditasi untuk program pelatihan kedokteran di Amerika Serikat.
Dengan begitu, kualitas program pendidikan berbasis rumah sakit ini dapat dipastikan tetap sama dengan pendidikan berbasis perguruan tinggi yang selama ini sudah berjalan, bahkan sesuai dengan standar internasional.
Distribusi dokter
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menyampaikan, selain mempercepat pemenuhan jumlah dokter spesialis, program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit juga bertujuan untuk memastikan pemerataan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, peserta program pendidikan berbasis rumah sakit ini akan diprioritaskan untuk peserta yang berasal dari daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK).
Mengutip data Kementerian Kesehatan, terdapat 34 persen rumah sakit umum daerah yang belum lengkap memiliki tujuh dokter spesialis. Selain itu, data STR Pendidikan (PPDS) 2020-2024 juga menunjukkan, dari total 15.523 PPDS aktif saat ini sebanyak 67 persen PPDS berasal dari Jawa dan Bali, sedangkan total PPDS di Indonesia bagian timur hanya menyumbang 1 persen dan Kalimantan 2 persen.
Arianti mengatakan, pada tahap pertama, total kuota peserta yang akan diterima dalam program tersebut sebanyak 38 orang. Pelaksanaan pendidikan akan dilakukan di enam rumah sakit milik Kementerian Kesehatan.
Adapun kuota yang dibuka secara rinci sebanyak 6 orang di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita untuk program studi jantung, 6 orang di RS Anak dan Bunda Harapan Kita untuk program studi anak, dan 10 orang di RS Ortopedi Soeharso untuk program studi orthopedi dan traumatologi. Selain itu, kuota juga diberikan untuk 5 orang di RS Mata Cicendo untuk program studi mata, 5 orang di RS Pusat Otak Nasional untuk program studi saraf, dan 6 orang di RS Kanker Dharmais untuk program studi onkologi.
”Pertimbangan kuota di atas berdasarkan rasio dosen karena rumah sakit pendidikan yang mengampu saat ini juga menerima mahasiswa dari university based (basis perguruan tinggi). Namun, sedang diupayakan untuk menambah kuota pada batch (tahap) satu ini. Kalaupun tidak bisa, akan kami tambah di batch dua nanti dengan menambah jejaring (rumah sakit pendidikan) lagi,” tutur Arianti.
Ia menambahkan, matrikulasi juga akan diberikan bagi peserta yang berasal dari DTKS. Hal ini dilakukan untuk memastikan setiap peserta memiliki standar kompetensi dan kualitas yang sama sebelum masuk dalam proses pendidikan. Selain itu, peserta program pendidikan berbasis rumah sakit akan mendapatkan insentif Rp 2 juta-Rp 5 juta tergantung pada level pendidikannya.
Baca juga: Kondisi Darurat dalam Pendidikan Dokter Spesialis
”Dulu itu, kan, mereka (peserta pendidikan dokter spesialis) tidak dapat gaji dan harus bayar (uang pendidikan). Sekarang (pendidikan berbasis rumah sakit) tidak bayar dan mendapatkan (insentif) berkisar Rp 2 juta-Rp 5 juta tergantung di level mana. Mereka juga diupayakan agar bisa langsung direkrut jadi PNS di rumah sakit itu,” kata Arianti.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya menambahkan, para peserta PPDS berbasis rumah sakit yang berasal dari daerah dipastikan untuk bisa kembali ke daerahnya masing-masing setelah lulus dari pendidikan. ”Mereka harus mengabdi di tempat mereka berasal, kalau mereka ingkar kemudian lari maka SIP (surat izin praktik)-nya akan kami kunci sehingga tidak akan bisa praktik di mana-mana,” ucapnya.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menuturkan, tujuan dari penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit harus dikawal dengan baik, terutama untuk memastikan distribusi dokter bisa merata. Pastikan setiap dokter yang lulus bisa memenuhi kebutuhan dokter di daerah.
Selain itu, perbaikan juga perlu dilakukan secara simultan. Perbaikan sistem pendidikan harus dilakukan pada seluruh fakultas kedokteran yang menghasilkan lulusan sarjana kedokteran, terutama fakultas kedokteran di wilayah Indonesia timur. Kesejahteraan dan keamanan dari dokter yang bertugas di wilayah tersebut juga perlu terjamin dengan baik.
”Sekarang ini masih ditemukan masalah dokter yang tidak digaji. Jadi, pemerintah daerah juga harus dijaga untuk memastikan kesejahteraan para dokter. Kalau bagian hilir itu tidak dijaga, mau bagaimanapun sistem pendidikan diubah, masalah distribusi tidak akan teratasi,” tutur Ari.