Pesona wisata Jepang tiada habis. Pemerintah perlu memikirkan supaya pariwisata tidak merugikan masyarakat lokal.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
Tak habis-habisnya pesona Jepang bagi wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Sejak Maret hingga April 2024 ini, wisatawan masih dibuat terpesona dengan musim sakura mekar di seantero negeri. Lantas mulai akhir April hingga Mei, Jepang merayakan pekan libur nasional yang dikenal sebagai Golden Week.
Sepanjang pekan itulah, Jepang biasanya ”diserbu” wisatawan. Pelancong dari dalam negeri bepergian ke sejumlah kota di Jepang, sementara turis mancanegara pun berdatangan. Di satu sisi, Golden Week tahun ini membawa optimisme pulihnya pariwisata Jepang pascapandemi Covid-19. Di sisi lain, pemerintah juga mewaspadai ledakan turisme (overtourism) yang kerap membawa perselisihan antara warga setempat dan wisatawan.
Golden Week memperingati empat hari libur nasional berurutan. Dimulai dari peringatan hari kelahiran Kaisar Hirohito atau Showa Day pada 29 April, hari perayaan Konstitusi Jepang pada 3 Mei, perayaan menghargai lingkungan alam atau Greenery Day pada 4 Mei, dan perayaan hari anak-anak pada 5 Mei.
Ini menjadi musim liburan tersibuk ketiga setelah libur tahun baru dan pekan Obon pada Agustus. Pekan Obon merupakan libur panjang untuk memperingati leluhur dalam kepercayaan Buddha.
Bagi warga lokal, Golden Week menjadi momen ketika mereka mengunjungi keluarga dan kampung halaman atau bepergian ke luar negeri. Mereka kembali menjalin silaturahmi dengan sesama manusia dan dengan alam.
Di Jepang, sakura berbunga begitu banyak, sungguh menggetarkan hati.
Sementara bagi turis asing, Golden Week menyediakan banyak agenda budaya Jepang yang beragam dan menarik. Sebut saja Festival Tari Geisha Odori di Atami, Festival Musim Semi, Festival Kastil Marugame, dan Festival Hakata Dontaku di Fukuoka. Ada pula festival musik klasik, agenda di kebun binatang, taman rekreasi, dan pusat perbelanjaan.
Golden Week semakin menarik karena turis mancanegara masih berkesempatan menikmati pesona bunga sakura, terutama di wilayah utara Jepang. ”Saya pernah melihat sakura mekar di negara saya, tetapi tidak sebanyak di sini. Di Jepang, sakura berbunga begitu banyak, sungguh menggetarkan hati,” kata Vidyuth Lakshman (36), turis asal Kanada.
Lebih tinggi
Kehadiran turis asing seperti Vidyuth sangat diharapkan. Pandemi Covid-19 pada 2019-2021 membuat sektor pariwisata Jepang tiarap akibat berbagai kebijakan pembatasan pergerakan sosial. Pada Oktober 2022, Jepang mulai melonggarkan perjalanan sehingga industri pariwisata mulai menggeliat.
Laporan Nikkei Asia, 18 April 2024, yang mengutip data Organisasi Pariwisata Nasional Jepang (JNTO) menyebutkan, pada Maret 2024 sebanyak 3,08 juta orang dari sejumlah negara mengunjungi Jepang. Angka itu naik 11,6 persen dibandingkan dengan Maret 2019 atau persis sebelum pandemi Covid-19. Kenaikan jumlah wisatawan juga dipicu libur Paskah dan musim bunga sakura.
Untuk tahun ini, sebagaimana dilaporkan kantor berita Kyodo yang mengutip Badan Pariwisata Jepang (JTB), pada Golden Week tahun ini diperkirakan terdapat 23,32 juta perjalanan yang dilakukan masyarakat Jepang. Angka perkiraan itu didapat dari survei daring pada Maret 2024 melibatkan 2.000 responden yang merencanakan perjalanan pada Golden Week.
Dibandingkan dengan perjalanan pada Golden Week 2023, jumlah itu naik 1,8 persen. Namun, jumlah itu masih sekitar 90 persen dari perjalanan sebelum pandemi Covid-19. Sementara jumlah wisatawan asing yang masuk ke Jepang pada April ini pun dipastikan tinggi.
Tingginya jumlah perjalanan sepanjang Golden Week membuat pengelola hotel menaikkan tarif. Nikkei Asia menyebut, tarif rata-rata hotel tahun ini 5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2023. Pemesanan hotel dari luar negeri dikenai tarif lebih tinggi dibandingkan dengan pemesanan dari dalam negeri.
Bukan hanya hotel, harga makanan pun menjadi lebih mahal pada periode Golden Week. Di media sosial di Jepang bahkan sudah muncul topik hangat tentang semangkok ramen yang dijual seharga 2.000 yen (Rp 210.000) di salah satu destinasi wisata.
Beberapa pengamat berpendapat, dunia usaha membebankan biaya lebih banyak kepada wisatawan asing untuk barang dan jasa. Hideo Kumano, Kepala Pakar Ekonomi Dai-ichi Life, memperkirakan pangsa belanja individu pengunjung asing di restoran dan hiburan akan meningkat dari 7,9 persen pada 2023 menjadi kisaran 16 persen pada 2029. ”Harga diperkirakan menghadapi lebih banyak tekanan ke atas di masa depan,” kata Kumano.
Dua sisi
Meski mendongkrak gairah perekonomian, serupa dengan yang terjadi di berbagai tempat wisata terkenal di dunia, tingginya jumlah pengunjung turut menimbulkan masalah bagi warga lokal. Kepadatan yang berlebihan, tingkah laku pengunjung yang sering di luar batas, atau sumber daya yang terkuras untuk melayani turis memunculkan kesalahpahaman antara wisatawan dan warga setempat.
Belum lama ini, ramai dibicarakan tentang warga di Kepulauan Canary, Spanyol, yang berunjuk rasa menentang pariwisata di tempat itu. Mereka justru merasa dirugikan karena tingginya antusiasme turis yang mengunjungi kepulauan tersebut.
Frustrasi serupa muncul di kota-kota terkenal lain, seperti Amsterdam, Venesia, London, Kyoto, dan Dubrovnik. Lokasi seperti Hawaii dan Yunani, pantai-pantai di Spanyol, taman-taman nasional di Amerika Serikat dan Afrika, juga tempat-tempat yang jarang dieksplorasi sebelumnya pun mengalami ledakan turisme (Kompas.id, 17 April 2024).
CNN merilis laporan pada 2023 yang berisi tempat-tempat tujuan wisata terburuk akibat turisme berlebihan. Di antaranya ada Amsterdam (Belanda), Athena (Yunani), Bali (Indonesia), Barcelona (Spanyol), Miami (AS), Paris (Perancis), dan Phuket (Thailand).
Jepang mengalami hal yang sama. Di Distrik Gion yang terkenal di Kyoto, misalnya, banyak wisatawan berjalan di jalan-jalan yang tidak diperuntukkan untuk umum dan mengambil foto tanpa izin.
Dewan kota setempat bulan depan berencana memasang tanda peringatan dalam bahasa Jepang, Inggris, dan China yang melarang pengunjung masuk ke jalan privat. Pelanggar akan dikenai denda hingga 10.000 yen (Rp 1 juta).
Perdana Menteri Fumio Kishida telah menyinggung persoalan turisme berlebihan ini pada pertemuan dewan menteri yang membahas promosi pariwisata, Rabu (17/4/2024). Jepang, menurut Kishida, perlu memikirkan untuk mengembangkan wisata berkelanjutan supaya memberikan hal positif bagi semua pihak.
”Menyebarkan tempat kunjungan turis asing yang sekarang terkonsentrasi di tiga metropolitan besar, Tokyo, Osaka, dan Nagoya, ke daerah lain dan menciptakan tujuan wisata berkelanjutan sudah mendesak,” kata Kishida. (AP)