Melemahnya Junta Myanmar, Momen Pas ASEAN Orkestrasikan Solusi Konflik
Melemahnya kekuatan junta menjadi momen yang pas bagi ASEAN untuk lebih kuat mendorong penyelesaian krisis Myanmar.
Cengkeraman junta militer Myanmar semakin lemah seiring jatuhnya kota-kota penting di wilayah perbatasan ke tangan kelompok-kelompok perlawanan etnis. Perdamaian amat mendesak diwujudkan untuk mencegah lebih banyak warga sipil menjadi korban.
Namun, hal itu tak akan mudah. Banyak kelompok perlawanan angkat senjata di Myanmar. Masing-masing dari mereka punya kepentingan sendiri.
Pada 16 April 2024, junta memindahkan sejumlah tahanan politik dari penjara ke rumah khusus. Tahanan yang dipindahkan di antaranya adalah pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dan mantan Presiden Myanmar U Win Myint. Junta menyebut cuaca panas menjadi sebab pemindahan tahanan itu. Akan tetapi, alasan tersebut diragukan oleh sejumlah kalangan.
Baca juga: Suhu Panas, Junta Pindahkan Suu Kyi Jadi Tahanan Rumah
Kim Aris, putra bungsu Suu Kyi yang tinggal di London, Inggris, mengatakan, langkah junta memindahkan ibunya itu menunjukkan posisi militer Myanmar semakin terdesak. Ia menilai, junta menggunakan Suu Kyi sebagai tameng hidup dan alat untuk tawar-menawar (bargaining chip) jika mereka nanti harus berunding dengan kelompok-kelompok perlawanan.
Empat hari sebelumnya, Myawaddy, kota di wilayah perbatasan dengan Thailand, jatuh ke tangan kelompok perlawanan Persatuan Nasional Karen (KNU). Myawaddy adalah salah satu nadi perdagangan Myanmar. Dalam satu tahun terakhir, nilai komoditas yang melintas di kota itu mencapai 1 miliar dollar AS.
Laporan media, saksi mata, dan Pemerintah Thailand, Sabtu (20/4/2024), mengungkapkan, pertempuran di wilayah itu masih berkecamuk hingga Jumat malam dan Sabtu dini hari. Beberapa media Thailand melaporkan, sekitar 200 orang menyeberang dari Myanmar ke Thailand untuk berlindung dari pertempuran.
Televisi Thailand, NBT, melalui unggahan di media sosial X menyebut, pasukan kelompok perlawanan menggunakan senapan-senapan mesin 40 milimeter dan menjatuhkan 20 bom dari pesawat nirawak, menarget sekitar 200 tentara junta yang kemudian dipaksa mundur.
Melemahnya junta
Krisis Myanmar terjadi setelah junta militer merebut kekuasaan lewat kudeta pada 1 Februari 2021. Sejumlah anggota legislatif yang terpilih dalam Pemilu 2020, termasuk Suu Kyi, dilengserkan dan dijebloskan ke penjara. Para anggota legislatif terpilih itu lalu membentuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) sebagai tandingan.
Baca juga: Tiga Tahun Kudeta Militer di Myanmar, Perlawanan pada Junta Makin Gencar
Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), sayap militer NUG, kemudian membentuk pasukan kelompok perlawanan berbasis etnis, yakni KNU, Front Nasional China (CNF), dan Partai Progresif Nasional Karenni (KNPP).
”Jatuhnya Myawaddy adalah satu contoh kian melemahnya pasukan junta,” kata Juru Bicara NUG Kyaw Zaw, seperti dikutip Financial Times.
Lepasnya kontrol junta terhadap sejumlah wilayah perbatasan membuat negara lain mulai meragukan kemampuan junta mengendalikan situasi di Myanmar. Hal ini terlihat, antara lain, dari komentar Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin.
”Rezim yang sekarang mulai kehilangan kekuatan.... Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjalin komunikasi dan membuat kesepakatan,” ucap Srettha saat diwawancara kantor berita Reuters pada 7 April 2024.
Baca juga: Cengkeraman Junta Myanmar Kian Rapuh di Perbatasan
Melemahnya cengkeraman junta terhadap wilayah perbatasan telah terjadi sejak Oktober 2023 saat Aliansi Tiga Bersaudara melancarkan serangan di perbatasan Myanmar dengan China. Aliansi yang dibentuk Tentara Nasional Demokrasi Myanmar (MNDAA), Tentara Arakan, dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang itu mampu menguasai area yang luas di Negara Bagian Shah, termasuk jalur-jalur strategis perdagangan ke China.
Perang berkepanjangan
Peneliti ASEAN pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN), Khanisa, Sabtu (20/4/2024), mengatakan, kemampuan junta semakin menurun dalam menghadapi perang berkepanjangan yang telah berlangsung tiga tahun. Pada Februari lalu, junta memberlakukan wajib militer untuk mengatasi kekurangan prajurit.
Baca juga: Banyak Prajurit Tewas, Junta Myanmar Rekrut 60.000 Pemuda-Pemudi untuk Wajib Militer
”Wajib militer itu menunjukkan junta mengalami kesulitan. Mereka tidak mampu mengatasi perlawanan dari milisi bersenjata dengan kekuatan yang ada saat ini,” kata Khanisa.
Institut Perdamaian di Washington DC, Amerika Serikat, memperkirakan, junta militer sudah kehilangan 21.000 prajurit karena tewas dalam operasi militer, desersi, atau bergabung dengan kelompok-kelompok perlawanan. Menurut lembaga itu, kekuatan efektif Tatmadaw saat ini hanya 150.000 orang (Kompas, 15/2/2024).
Laporan Human Rights Watch (HRW) pada 9 April 2024 menyebut junta militer melakukan perekrutan secara paksa lebih dari 1.000 orang dari etnis Rohingya di Rakhine. Warga Rohingya dipaksa ikut wajib militer, padahal selama ini mereka ditolak menjadi warga negara lewat Peraturan Kewarganegaraan Myanmar 1982.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Terdesak, Etnis Rohingya Dipaksa Wajib Militer
Junta mengancam akan menyiksa warga Rohingya sampai mati dan menghukum keluarganya bila warga Rohingya menolak wajib militer. Mereka bakal dilatih dengan kejam selama dua minggu, kemudian akan langsung dikirim ke medan perang.
”Amat mengerikan melihat Myanmar, yang telah melakukan kekejaman terhadap etnis Rohingya selama puluhan tahun, tiba-tiba kini meminta warga berperang atas nama mereka,” ujar Shayna Bauchner, peneliti Asia di HRW.
Menurut Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa Volker Turk, perang saudara di Myanmar mengakibatkan 4.603 warga sipil tewas sejak Februari 2021. Sebanyak 659 korban tewas adalah perempuan dan 490 anak-anak.
Junta juga memenjarakan lebih dari 20.000 orang, sebanyak 3.909 orang di antaranya adalah perempuan. Sebanyak 1.658 orang tewas di penjara, termasuk 111 perempuan. Junta juga melakukan penyiksaan secara sistematis terhadap para tahanan politik.
Krisis di Myanmar juga memaksa 150,000 warga mengungsi ke luar negeri. Sebagian di antaranya, etnis Rohingya, melarikan diri sampai ke Aceh. Hingga 10 Desember 2023 ada sekitar 1.600 pengungsi Rohingya di provinsi tersebut.
Menekan junta
Lima poin dalam konsensus ASEAN soal Myanmar tidak berjalan. Konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN dalam pertemuan khusus di Jakarta pada April 2021 itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar secepatnya, dialog para pemangku kepentingan terkait, penunjukan utusan khusus ASEAN untuk penyelesaian krisis Myanmar, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Dalam pernyataan yang dirilis, Kamis (18/4/2024), ASEAN mengatakan sangat khawatir terhadap meningkatnya pertempuran di Myanmar, termasuk di wilayah Myawaddy, akhir-akhir ini. Para menteri luar negeri ASEAN mendesak semua pihak segera menghentikan kekerasan di Myanmar.
Menurut Khanisa, melemahnya kekuatan junta membuka kemungkinan bagi ASEAN bisa lebih kuat mendorong penyelesaian krisis Myanmar. Macetnya lima poin konsensus menunjukkan ASEAN harus bisa memetakan pihak-pihak lain yang bisa diajak bicara untuk menembus kebuntuan itu.
Laporan dari Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019 menunjukkan, dari 60 perusahaan yang terafiliasi dengan militer Myanmar, sekitar separuhnya berasal dari China. Negeri Tirai Bambu juga menjual senjata yang nilainya lebih dari 250 juta dollar AS kepada junta.
Majalah The Economist menyebutkan, ada spekulasi bahwa China tidak lagi memihak junta dalam perang saudara di Myanmar. China tidak memberikan bantuan sedikit pun kepada junta saat Aliansi Tiga Bersaudara melancarkan serangan di perbatasan Myanmar dengan China pada Oktober 2023.
”ASEAN perlu merangkul China untuk ikut mendorong penyelesaian krisis di negara itu. China, sebagai negara yang punya hubungan dekat dengan Myanmar, bisa mendorong junta untuk mau duduk bersama ASEAN mencari jalan keluar krisis,” ujar Khanisa.
Menanti peran troika
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai, kedekatan psikologis Laos dengan Myanmar yang sama-sama negara Indochina bisa dimanfaatkan untuk mendorong penyelesaian krisis. Laos, ketua ASEAN tahun ini, perlu diberi keleluasaan untuk berbicara dengan Myanmar.
”Dalam pembicaraan-pembicaraan ke depan, Laos bisa melibatkan Indonesia sebagai pemimpin ASEAN tahun lalu dan juga Malaysia sebagai pemimpin tahun depan supaya Myanmar mengerti bahwa ini adalah sebuah upaya yang berkelanjutan,” kata Rezasyah.
Upaya penyelesaian dengan mekanisme itu disebut dengan troika. Troika beranggotakan negara pemegang jabatan keketuaan, negara Ketua ASEAN sebelumnya, dan Ketua ASEAN berikutnya. Mekanisme ini disepakati para pemimpin ASEAN dan ditetapkan dalam KTT ASEAN di Jakarta, September 2023.
Baca juga: Troika ASEAN untuk Penyelesaian Isu Myanmar
Khanisa menambahkan, menyelesaikan konflik Myanmar tidak cukup dilakukan ASEAN dengan duduk bersama junta dan pemerintah tandingannya, NUG. Ada banyak kelompok lain di Myanmar yang suaranya juga perlu dipertimbangkan.
”Kalau kemudian junta setuju melakukan pemilu, lalu kelompok prodemokrasi menang, apakah ada jaminan kudeta seperti dulu tidak terulang? Tugas terberat di masa depan adalah menjaga persatuan Myanmar yang rapuh,” ucap Khanisa. (AFP/REUTERS)