Di Tengah Perang Gaza, Senator AS Ancam Mahkamah Kriminal Internasional
Perilaku para senator ini disebut bagai premanisme karena mencampuri aksi yudisial.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
Perang Gaza terus memicu perdebatan di Amerika Serikat. Perdebatan terbaru dipicu surat ancaman 12 senator dari Partai Republik kepada jaksa penuntut Mahkamah Kriminal Internasional. Bukan kali ini saja ada ancaman dari Washington ke Mahkamah Kriminal Internasional.
Surat mereka bertanggal 24 April 2024 dan ditujukan kepada Karim Khan, jaksa penuntut Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Surat tersebut bocor kepada media Zeteo yang secara eksklusif menerbitkannya pada edisi Senin (6/5/2024) waktu setempat atau Selasa (7/5/2024) waktu Indonesia.
Senator Tom Cotton menjadi pemimpin kelompok itu. Beberapa senator Partai Republik yang turun meneken surat itu adalah Mitch McConnell, Marco Rubio, dan Ted Cruz.
Cotton belakangan ini terkenal sebagai senator yang tidak bisa membedakan antara Singapura dan China dalam sidang dengar pendapat dengan Direktur Tiktok Shou Zi Chew. Ia juga digadang-gadang sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Donald Trump untuk pemilihan umum presiden AS pada November 2024.
”Gugatan terhadap Pemerintah Israel sama dengan mengancam kedaulatan AS. Apabila ini diteruskan, kami akan menghentikan segala dukungan AS terhadap ICC, menjatuhkan sanksi kepada semua staf ICC dan pihak-pihak yang terlibat, serta melarang Anda dan keluarga Anda memasuki wilayah AS. Anda sudah diperingatkan,” demikian kutipan surat tersebut.
Lewat surat itu, para senator menuding ICC mendukung terorisme. Sebab, menurut mereka, ICC tidak memerintahkan penangkapan petinggi Hamas. Padahal, setelah serangan Badai Aqsa, 7 Oktober 2023, ICC mengecam tindakan Hamas yang melanggar kemanusiaan.
Para senator memprotes ICC tidak pula mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Khomeini, Presiden Suriah Bashar Assad, dan Presiden China Xi Jinping. Menurut para senator itu, Xi juga pelaku genosida.
Menteri Luar Negeri Israel Israel Katz, menolak keputusan ICC. Ia mengatakan bahwa Israel tidak akan tunduk dan akan terus berjuang, dalam artian menggempur Gaza guna memerangi Hamas. Padahal, Pemerintah Israel, berdasarkan liputan surat kabar The New York Times edisi 28 April 2024 meyakini bahwa ICC tengah menyiapkan penyelidikan dan kemungkinan pula surat penangkapan untuk sejumlah petinggi Hamas.
ICC melalui media sosial X mengeluarkan tanggapan resmi soal ancaman itu. ICC menyatakan, segala bentuk ancaman terhadap lembaga, pejabat, dan karyawan mereka melanggar Pasal 70 Statuta Roma sehingga harus dihentikan segera.
Perjanjian ini ditandatangani oleh 124 negara. AS dan Israel tidak termasuk negara yang menandatanganinya sehingga bukan anggota ICC.
Juru Bicara Gedung Putih Karinne Jean-Pierre, Jumat (3/5/2024), menuturkan bahwa Gedung Putih tidak mendukung segala bentuk intimidasi kepada pihak mana pun, termasuk ICC. Meskipun begitu, ia menolak berkomentar mengenai surat dari 12 senator Partai Republik.
UU Invasi Den Haag
Jauh sebelum surat 12 senator itu, ada ancaman lain dari AS ke ICC. Hanya saja, memang baru kali ini, di masa pemerintahan Joe Biden, ada pertentangan Washington dengan ICC.
Padahal, pada Maret 2023, Biden mendukung ICC. Kala itu, ICC mengeluarkan surat penangkapan atas Presiden Rusia Vladimir Putin karena menginvasi Ukraina. Biden pula yang mencabut sanksi Trump atas ICC karena menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer AS di Afghanistan.
Sejatinya, Pemerintah AS memiliki ketakutan terhadap ICC. Pada 2002, Presiden George W Bush menandatangani Undang-Undang (UU) Perlindungan Abdi Negara AS yang juga sering disebut dengan istilah informal UU Invasi Den Haag. Isinya ialah agar Pemerintah AS melakukan segala cara untuk membebaskan anggota militer, pejabat negara, dan pegawai negeri AS yang ditahan, dituduh, maupun diselidiki oleh ICC atas alasan apa pun.
Presiden AS di dalam UU itu memiliki kewenangan penuh mengerahkan kekuatan militer untuk menginvasi Den Haag—ibu kota Belanda yang merupakan kantor ICC—untuk membebaskan orang-orang AS yang ditahan ICC.
”Mengekspresikan pendapat itu kebebasan semua orang, termasuk menentang aksi yudisial. Akan tetapi, ikut campur keputusan yudisial, apalagi mengeluarkan ancaman itu salah besar. Ini perbuatan kelompok mafia, bukan senator,” kata Chris van Hollen, senator dari Partai Demokrat kepada Zeteo.
Wakil Ketua Dewan Hubungan AS-Islam (CAIR) Edward Ahmed Mitchell di dalam pernyataan di laman resmi lembaga itu turut menyuarakan kecaman terhadap surat tersebut. Menurut dia, 12 senator itu jelas melanggar peraturan internasional. Apabila ancaman serupa diutarakan kepada hakim atau jaksa di AS, langsung dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap penegakan hukum. (AFP/Reuters)