WNI di Kamboja: Tidak Semua dari Kami Pekerja "Judol"
(Tulisan 6 dari 19). Puluhan ribu pekerja Indonesia di Kamboja sering dicurigai sebagai pekerja judi "online". Mereka kerap dipersulit di pintu imigrasi.
SIHANOUKVILLE, KOMPAS — Warga Indonesia yang bekerja atau berusaha di kota Sihanoukville di Kamboja merasa dipersulit petugas imigrasi di bandara. Saat terbang ke Kamboja, mereka selalu dicurigai bekerja di industri judi online alias ”judol” sehingga tidak diizinkan melintas. Padahal, tidak semua WNI di sana bekerja di industri ”judol”.
Sebaliknya, pemerintah menilai Kamboja sebagai salah satu negara yang mendapat perhatian khusus. WNI yang bekerja di perusahaan ”judol” dianggap rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Karena itu, petugas imigrasi akan memeriksa ketat setiap WNI yang ingin ke sana.
Baca Juga: Menyibak Tabir Keindahan Wisata Kamboja
Ketatnya pemindaian terhadap WNI dengan destinasi Kamboja sudah terasa sejak di konter check in maskapai penerbangan. Tim Investigasi Harian Kompas terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, ke Phnom Penh, Kamboja Jumat (1/12/2023) siang. Saat ditanya tujuan ke negara itu, kami menjawab liburan. Petugas pun meminta bukti pemesanan tiket pulang. ”Harus dipesan dulu tiket pulangnya,” ujar petugas itu.
Selesai urusan di meja check in, bukti pemesanan tiket pulang kembali ditanya petugas imigrasi di gerbang pemeriksaan. Namun, pertanyaan ini tidak berlaku kepada semua orang. Dalam kesempatan itu, Kompas mengirim dua jurnalis ke Kamboja. Yang satu riwayat perjalanan luar negeri terakhirnya adalah Amerika Serikat, sementara yang satu lagi tercatat riwayat perjalanan terakhirnya adalah China. Jurnalis dengan perjalanan terakhir ke China-lah yang ditanyai tiket pulang oleh petugas imigrasi.
Cerita di atas ternyata sudah menjadi keluhan komunal para WNI yang ditemui di Sihanoukville pada pekan pertama Desember 2023. Mereka bergerak di berbagai sektor usaha. Ada pemilik rumah makan dan kafe, pengusaha agen perjalanan, dan ada juga distributor sepeda motor Harley-Davidson.
Mereka merasa jadi korban sampingan atas ramainya pemberitaan WNI yang menjadi korban TPPO di Kamboja. Oleh karena kebanyakan korban TPPO Kamboja berstatus karyawan ”judol”, petugas imigrasi Indonesia pun menaruh perhatian khusus terhadap sektor itu. Tetapi ”perhatian khusus” tersebut juga menyasar mereka yang sudah belasan tahun di Kamboja dan berusaha di bidang lain.
”Saya kangen dengan keluarga di Indonesia, tetapi dipersulit ketika mau balik ke Kamboja. Padahal, saya punya usaha resmi di sini. Saya sampai menunjukkan video saya dengan pejabat KBRI, tetapi imigrasi tetap saja bilang, ’jangan-jangan lu kerja judol ya’,” ujar distributor motor gede Harley-Davidson di Sihanoukville, Budi Cahyono.
Jangan-jangan lu kerja judol ya.
Karena rentan dituding sebagai pekerja judol, beberapa dari mereka bersiasat. Masalahnya, pola ini membuat mereka rentan terjebak masalah hukum. Ini karena mereka menyamarkan keberangkatan ke Kamboja lewat dokumen yang tidak sebenarnya dan menjadi kasus saat diketahui penegak hukum.
Kasus ini menimpa salah seorang anggota keluarga KS, pengusaha sebuah rumah makan di Sihanoukville. Salah satu anggota keluarga KS kini sedang diadili di sebuah pengadilan negeri di Jabodetabek. Ia disangka melanggar Pasal 69 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang berbunyi: orang perseorangan dilarang melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia.
Menurut KS, ada risiko tersendiri saat mereka jujur kepada petugas terkait maksud kedatangan ke Kamboja. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka pasti langsung dicurigai bekerja untuk perusahaan judol atau terlibat sindikat perdagangan orang. Padahal, usaha mereka tidak ada hubungannya dengan itu.
”Kalau bilang bekerja di Kamboja pasti langsung ditanya, waduh, kamu kantornya di mana dan segala macam. Dan prosesnya akan menjadi uang semua. Dengar-dengar ada jalur VIP, eksklusif, dan sebagainya, tapi kami enggak mampu bayar biaya per orang seperti itu,” ujar KS.
Melindungi
Dikonfirmasi terkait adanya dugaan jalur VIP di pintu pelintasan, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Silmy Karim mempersilakan untuk melapor jika indikasi itu memang terbukti. ”Jika fakta itu ada, ya, pasti saya akan menindak. Kalau ada indikasi ke sana, silakan melapor. Saya kejar (pelakunya),” katanya.
Jadi yang perlu digarisbawahi adalah melindungi.
Dia melanjutkan, ketatnya pintu imigrasi untuk WNI tujuan Kamboja mesti dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap warga negara. Atensi pemerintah terhadap pekerja yang berangkat ke Kamboja saat ini sangat besar karena kerap berkaitan dengan TPPO. Kebanyakan korban kejahatan ini tadinya bekerja di perusahaan ”judol”.
”Pengetatan itu lebih kepada fakta bahwa TPPO banyak terjadi di negara tertentu dan salah satunya Kamboja. Kejadian ini juga menjadi atensi Presiden. Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah melindungi,” jelasnya.
Baca Juga: Melihat Kamboja dari Dua Mata Uang Berbeda
Silmy menambahkan, petugas imigrasi juga terikat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Aturan ini melarang pemberangkatan pekerja migran Indonesia (PMI) yang tidak memenuhi kelengkapan dokumen. Orang yang melanggar aturan itu bisa dipidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. ”Selama dokumennya lengkap, misalnya izin kerja, visa juga jelas, sebenarnya tidak ada masalah,” tambahnya.
Menurut Duta Besar RI untuk Kamboja Santo Darmosumarto, kesulitan di pintu imigrasi dialami hampir semua WNI di Kamboja. Tidak saja pekerja ”judol”, mereka yang bekerja di luar industri ini juga terdampak. Kebijakan pengetatan tersebut tak lepas dari maraknya kasus TPPO di Kamboja sejak dua tahun terakhir. Pemerintah ingin kejahatan kemanusiaan itu tidak kembali memakan korban.
Kendati demikian, dia melanjutkan, aturan di Kamboja melegalkan judi bagi investor asing, termasuk pekerjanya. WNI yang bekerja di sektor itu—meskipun tidak semua—sudah mempunyai izin kerja dari pemerintah Kamboja. ”Jadi fenomena ini sangat tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Kalau dari sisi keberadaan mereka di sini, ya, legal. Baik yang bekerja maupun yang melakukan usaha tersebut,” jelasnya.
Kalau dari sisi keberadaan mereka di sini, ya, legal. Baik yang bekerja maupun yang melakukan usaha tersebut,
Santo melanjutkan, WNI di Kamboja bekerja secara perseorangan atau menjadi pekerja lewat mekanisme yang nonprosedural bila dilihat dari perspektif regulasi Indonesia. Ini karena Kamboja belum secara resmi termasuk dalam daftar negara penempatan pekerja migran Indonesia (PMI). Dengan sendirinya, mekanisme penempatan PMI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia tidak berlaku.
Namun, bagi KBRI, pelayanan terhadap WNI yang bekerja secara perseorangan atau nonprosedural itu tetap harus dilakukan. ”Mereka sudah berada di sini dan warga negara Indonesia siapa pun itu, mau bekerja di bidang apa pun, ketika mereka butuh dukungan, pelindungan, ya, kita akan berikan,” tambahnya.
Mereka sudah berada di sini dan warga negara Indonesia siapa pun itu, mau bekerja di bidang apa pun, ketika mereka butuh dukungan, pelindungan, ya, kita akan berikan
Berdasarkan data Kementerian Imigrasi Kamboja, tahun ini saja ada 73.000 visa izin tinggal yang dikeluarkan bagi WNI. Kemudian, dari Kementerian Tenaga Kerja Kamboja didapat informasi ada 58.000 izin kerja yang dikeluarkan Kerajaan Kamboja untuk WNI.
Situasi di atas memunculkan ketidakpastian. Di satu sisi, Kamboja belum secara resmi menjadi negara penempatan PMI. Namun, ada puluhan ribu pekerja Indonesia di sana. Mereka kini waswas dan khawatir tak boleh menyeberang atau dituduh melanggar undang-undang.
Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Asia dan Afrika BP2MI Lasro Simbolon saat dihubungi Rabu (13/12/2023) siang, memahami dilema ini. Karena itu, dia dalam waktu dekat akan berkomunikasi dengan lembaga pemerintahan lain untuk membahas hal ini. Targetnya adalah tercipta skema kerja sama formal Indonesia-Kamboja dalam konteks penempatan pekerja migran.
"Kami berharap, PMI harus berangkat secara resmi dan prosedural menurut hukum Indonesia sekaligus legal dari perspektif hukum negara penempatan. Sebab pengalaman selama ini menunjukkan, korban eksploitasi dan penipuan sebagian besar adalah karena penempatannya tidak prosedural dari perspektif kita maupun negara tempat mereka bekerja," jelasnya.