Bahaya Bakteri Kebal Ketika Antibiotik Dikonsumsi Serampangan
Bakteri yang kebal terhadap antibiotik bisa berdampak pada makin tidak mempannya obat hingga berujung pada kematian.
Oleh
ADITYA DIVERANTA, INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada risiko bakteri kebal yang tak disadari publik ketika terlalu sering mengonsumsi antibiotik. Ancaman bakteri yang kebal terhadap obat antimikroba itu bisa berdampak pada makin tidak mempannya obat sehingga bisa berujung pada kematian.
Bakteri kebal adalah bagian dari fenomena resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) yang kini menjadi ancaman besar kesehatan global. AMR itu menandakan kondisi ketika berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, tidak lagi mempan diobati dengan obat antimikroba, seperti antibiotik.
Berdasarkan catatan Kompas, isu bakteri yang kebal terhadap antibiotik telah digulirkan setidaknya sejak 2015. Saat itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenalkan istilah ”resistensi antimikroba” untuk menyebut fenomena bakteri yang kebal antibiotik itu.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati menjelaskan, situasi AMR bisa menjadi memburuk karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Arti tidak rasional itu bisa jadi dosisnya berlebihan, tidak tepat indikasi, atau tidak ada indikasi sama sekali.
Dalam studi bertajuk ”Antimicrobial Resistance Situation in Indonesia: A Challenge of Multisector and Global Coordination”, yang dipublikasikan di Journal of Tropical Medicine, 7 Februari 2022, disebutkan, situasi AMR di Indonesia tidak berjalan membaik, malah faktanya memburuk.
Kondisi yang disebutkan ini sejalan dengan data surveilans terhadap 11 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Prevalensi bakteri (E. coli dan K. pneumoniae) yang resisten terhadap antibiotik golongan sefalosporin angkanya tinggi dan terus naik, yakni terpantau 67 persen pada 2022.
Tentu saja (kondisi) itu mengkhawatirkan. Pilihan antibiotik untuk pengobatan menjadi sangat sedikit apabila berbagai golongan telah resisten.
Kondisi yang paling dikhawatirkan dari AMR adalah ketika antibiotik atau bentuk obat lainnya tak lagi manjur ketika terjadi infeksi. Akibatnya, nyawa seseorang yang sedang sakit bisa terancam, sementara pengembangan antibiotik baru butuh waktu lama dan biaya mahal.
Keterangan dari WHO, pengembangan pengobatan antibakteri baru tidak cukup untuk mengatasi peningkatan ancaman resistensi antibiotik. Laporan tahun 2021 menggambarkan jalur klinis dan praklinis antibakteri stagnan dan jauh dari memenuhi kebutuhan global. Sejak tahun 2017, hanya 12 antibiotik yang disetujui, 10 di antaranya termasuk dalam kelas yang sudah memiliki mekanisme resistensi antimikroba (Kompas, 25/3/2024).
Hal itu seperti yang dialami oleh Meirifandrianto (46). Warga Gresik, Jawa Timur, yang akrab disapa Andri ini sempat tak mempan diberi beragam lini golongan antibiotik karena terpapar bakteri kebal di rumah sakit.
Keadaan saat itu turut memperparah pengobatan Andri yang rawat inap dan terpapar Covid-19. Antibiotik jenis Meropenem yang tergolong lini paling atas waktu itu bahkan tidak mempan mengobati infeksi bakteri yang dialami Andri.
Alhasil, kondisi Andri saat itu membutuhkan antibiotik yang didatangkan khusus dari luar negeri. Colistin, antibiotik yang menggunakan skema pengadaan akses khusus, baru bisa mengobati infeksi yang dialami Andri.
Kebiasaan
Sebagian orang juga telah telanjur mengonsumsi antibiotik karena kebiasaan. Steven Timotius Dharma (29) sempat mengonsumsi antibiotik untuk gejala-gejala ringan, seperti batuk, pilek, dan demam.
Belakangan, warga Jakarta ini merasakan antibiotik jenis amoksisilin tak lagi efektif padanya. Pada 2023, dia baru diberi tahu dokter bahwa konsumsi antibiotik yang terlalu sering dan tidak habis bisa menyebabkan efek bakteri kebal.
Sejak dari TK sepertinya, sudah biasa kalau demam, (minum) obat panas terus (antibiotik) amoksisilin. Pernah juga beberapa kali ketika sakit, obat itu tidak lagi saya lanjutkan.
Pendiri Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Purnamawati S Pujiarto, yang giat mengampanyekan isu resistensi antimikroba sejak 2003, menekankan bahwa bakteri kebal bisa mengenai siapa saja. ”Bakteri resisten antimikroba tidak mengenal usia, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Siapa pun pasiennya bisa kena,” ujarnya pada pertengahan Januari 2024.
Apabila kondisi itu berlanjut, keadaan yang disebut sebagai pandemi senyap bisa terjadi. Pandemi itulah yang bisa menyebabkan pengobatan pasien menjadi sulit, sementara obat-obat tidak lagi manjur. Pandemi yang bersembunyi di balik diagnosis penyakit lain dalam senyap.