Kenaikan Tarif Transjakarta Masih Dikaji dengan Melibatkan Masyarakat
Kenaikan tarif Transjakarta masih dikaji secara matang agar mendapat formulasi yang pas.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mengkaji rencana kenaikan tarif Transjakarta. Salah satunya dengan menyerap suara pengguna ataupun masyarakat, serta masukan tentang pelayanannya.
Setahun yang lalu lewat akun resmi sosial medianya, Transjakarta mengumumkan adanya usulan penyesuaian tarif dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) menjadi Rp 4.000 dan Rp 5.000 pada waktu sibuk (pukul 07.01-10.00 WIB dan pukul 16.01-21.00 WIB). Adapun saat ini tarif Transjakarta masih Rp 3.500 untuk semua rute sejak tahun 2007.
Pengumuman usulan kenaikan tarif disertai survei daring melalui pemindaian kode respons cepat atau QR code yang tertera atau tautan dalam pengumuman tersebut. Survei untuk mengetahui respons masyarakat ini berlangsung pada 10-13 April 2023.
Baca juga: Dua Dekade Transjakarta Merajut Integrasi Antarmoda
Ketua DTKJ Haris Muhammadun, Jumat (19/4/2024), mengatakan, usulan penyesuaian tarif Transjakarta untuk menjaga keberlangsungan pelayanan angkutan ini berdasarkan surat direksi pada 5 Juni 2020 dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada 21 Juli 2020. Keduanya mengusulkan kenaikan tarif layanan Transjakarta bersubsidi.
Dalam surat balasan pada 23 Desember 2020, DTKJ memahami belum adanya tinjauan dan penyesuaian tarif Transjakarta. Akan tetapi, penyesuaian tarif dapat dilakukan paling cepat tahun 2021 dengan memperhatikan situasi pandemi Covid-19 dan kondisi masyarakat.
Tiga tahun berselang, DTKJ bersurat kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada 27 Maret 2023. Isinya, penyesuaian tarif dapat dilakukan setelah pandemi Covid-19.
”Penyesuaian tarif juga mesti diawali dengan sosialisasi yang baik. Masukan masyarakat tentang pelayanan Transjakarta juga penting,” katanya.
Kenaikan tarif mempertimbangkan ability to pay atau kemampuan untuk membayar dan willingness to pay atau kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya dalam survei PT Jaklingko Indonesia dan konsultan KPMG tahun 2021.
Hasil survei tersebut, antara lain, rata-rata dari 3.073 responden kelompok pendapatan rendah Rp 0 sampai Rp 3 juta mampu dan bersedia membayar Rp 5.175 untuk layanan urban dan Rp 11.425 untuk layanan suburban dengan rerata waktu tempuh 20,7 menit dan 45,7 menit.
Survei
Selain bersurat kepada Pj Gubernur, DTKJ juga melakukan survei terkait evaluasi tarif Transjakarta 2023. Ada 1.204 responden dalam survei itu.
Hasilnya, sebanyak 41,1 persen responden berpenghasilan kurang dari Rp 3,5 juta, 32,5 persen Rp 3,5 juta sampai Rp 7 juta, 15 persen Rp 7 juta sampai Rp 13 juta, dan sisanya lebih dari Rp 13 juta. Mereka mengeluarkan ongkos transportasi publik mulai dari 67,4 persen kurang dari Rp 500.000, 19,3 persen Rp 500.000 sampai Rp 1 juta, 7,1 persen tidak menggunakan transportasi umum, dan sisanya lebih dari Rp 1 juta.
Lebih lanjut dalam survei tersebut, pengeluaran per bulan untuk transportasi lainnya (BBM, parkir, taksi, dan ojek) sebanyak 48,2 persen kurang dari Rp 500.000, 25,6 persen Rp 500.000 sampai Rp 1 juta, 16,4 persen tidak menggunakan kendaraan pribadi, dan sisanya lebih dari Rp 1 juta.
Baca juga: Transjakarta Tambah 200 Bus Listrik pada 2024
Khusus biaya pengeluaran naik Transjakarta dalam sehari mencapai 58,2 persen Rp 3.500 sampai Rp 7.000, 23,8 persen Rp 7.000 sampai Rp 10.000, 8,8 persen lebih dari Rp 10.000, dan sisanya 9,1 persen kurang dari Rp 3.500.
Selanjutnya, responden diberikan pilihan naik Transjakarta dengan waktu tempuh 30 menit, tarif Rp 5.000, dan waktu tunggu 5 menit. Hasilnya, sebanyak 46,14 persen memilih BRT, 36,60 persen KRL, 9,80 persen MRT Jakarta, 6,71 persen sepeda motor, dan 0,74 persen mobil.
Sama halnya dengan pilihan naik mikrotrans dengan waktu tempuh 40 menit, tarif Rp 1.000, dan waktu tunggu 10 menit. Sebanyak 27,52 persen memilih mikrolet, 62,87 persen mikrolet ber-AC, dan 9,61 persen sepeda motor.
Sementara untuk integrasi antarmoda Jaklingko dengan waktu tempuh 60 menit, tarif Rp 10.000, dan waktu tunggu 10 menit, tercatat 51,88 persen memilih Transjakarta, 45,10 persen sepeda motor, dan 3,02 persen mobil.
Adapun tawaran serupa bagi pengguna BRT dengan tarif integrasi selama 3 jam menghasilkan 85,26 persen memilih layanan integrasi, 11,49 persen sepeda motor, dan 3,24 persen mobil.
Dalam survei, responden turut memberikan aspirasi dan masukan untuk Transjakarta. Paling banyak, 44 persen menginginkan peningkatan atau perbaikan layanan Transjakarta, mikrotrans, Jaklingko, dan BRT terintegrasi. Selebihnya 29 persen sarana, 13 persen prasarana, dan masing-masing 7 persen terkait teknologi informasi dan SDM.
Responden turut menjawab kesanggupan membayar tarif untuk satu perjalanan Transjakarta. Mereka dengan penghasilan lebih dari Rp 3,5 juta sanggup membayar Rp 7.916, Rp 3,5 juta sampai Rp 7 juta sanggup Rp 9.178, Rp 7 juta sampai Rp 13 juta sanggup Rp 21.073, Rp 13 juta sampai Rp 20 juta sanggup Rp 43.488, dan lebih dari Rp 20 juta sanggup Rp 74.085.
Untuk tarif Jaklingko terintegrasi, pertanyaan serupa direspons dengan kesanggupan membayar berturut-turut Rp 8.082, Rp 10.255, Rp 19.488, Rp 49.616, dan Rp 79.187.
DTKJ juga memperhitungkan marginal efek dan elastisitas. Setiap kenaikan tarif Rp 1.000 akan berdampak pada turunnya 1,87 persen penumpang Transjakarta dan kenaikan tarif 10 persen mengurangi 0,76 persen pengguna BRT Transjakarta.
Kemudian, kenaikan tarif Rp 1.000 mikrolet ber-AC membuat penumpang turun 0,7 persen dan kenaikan 10 persen mengurangi 0,08 persen pengguna. Begitu pun kenaikan Rp 1.000 integrasi Jaklingko akan menurunkan 3,64 persen pengguna dan kenaikan 10 persen BRT Transjakarta berdampak pada turun 5,88 persen penumpang.
Baca juga: Ribuan Pemudik Tiba Dini Hari, Bus Transjakarta Disiapkan
Saat ini, Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga tengah mengkaji usulan kenaikan tarif Transjakarta ini. Usulan juga akan dibahas bersama DPRD DKI Jakarta.
”Sudah ada usulan kenaikan atau penyesuaian tarif. Kami masih terus mengkaji dan akan ada penyesuaian,” kata Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.
Perlu penyesuaian
Adapun Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Rani Mauliani menilai perlu adanya penyesuaian kenaikan tarif dengan peningkatan pelayanan bagi masyarakat. Terlebih, Transjakarta merupakan salah satu transportasi yang banyak digunakan masyarakat.
”Bila nanti ada kenaikan, diharapkan masih tetap terjangkau oleh masyarakat,” katanya.
Begitu pula dikatakan warga Jakarta Pusat, Devi Febiola (25). Ia setuju jika ada kenaikan tarif Transjakarta asalkan ada perbaikan fasilitas.
Tidak hanya fasilitas bus, tetapi juga harus memperbaiki halte-halte yang kurang terawat. Bahkan, fasilitas toilet halte pun jangan sampai ketinggalan.
”Tidak hanya fasilitas bus, tetapi juga harus memperbaiki halte-halte yang kurang terawat. Bahkan, fasilitas toilet halte pun jangan sampai ketinggalan. Saya pernah ke satu halte, tapi toiletnya tidak berfungsi, alhasil harus menahan buang air besar,” katanya.
Warga Jakarta Barat, Muhammad Firmansyah (28), juga tidak keberatan dengan kenaikan tarif Transjakarta. Namun, menurut dia, kenaikan tarif sebaiknya tidak sampai dua kali lipat.
”Kenaikan tarif paling tidak 20-30 persen saja. Jangan sampai dua kali lipat harga sekarang. Sebab, rakyat menengah ke bawah pasti akan merasa terbebani. Apalagi, jika hanya menggunakan Transjakarta dengan jarak terdekat,” ujarnya.
Sejak tahun 2017, warga Jakarta Pusat, Rita Agustina (34), memilih Transjakarta sebagai moda transportasi utama. Sebab, selain aksesnya mudah, tarifnya juga murah. Namun, Rita masih kerap melihat beberapa halte dengan lantai kotor.
Menurut dia, tidak hanya layanan dan perluasan rute yang perlu ditingkatkan, tetapi kebersihan juga harus diutamakan sebelum adanya kenaikan tarif.
Selain itu, antara frekuensi dan jumlah bus, dinilai Rita, sering kali tidak memenuhi harapan penumpang. Banyak penumpang yang berjubel menunggu di halte karena kedatangan bus yang lama.