Kekerasan Berujung Kematian Terulang, STIP Dievaluasi
Dalam 10 tahun terakhir, kasus penganiayaan di STIP terjadi setidaknya dua kali pada Januari 2017 dan April 2014.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penganiayaan di lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran atau STIP kembali terulang hingga mengakibatkan salah seorang siswa meninggal. Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan atau BPSDMP akan mengevaluasi STIP secara internal dan mencabut status taruna terduga pelaku.
Putu Satria Ananta Rastika (19), siswa taruna STIP, tewas diduga akibat dianiaya seniornya dan lebih dari satu orang, Jumat (3/5/2024). Jenazah Satria dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Said Sukanto, Kramatjati, Jakarta Timur, untuk diotopsi. Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setiawan, Sabtu (4/5/2024), menyatakan telah memeriksa puluhan saksi untuk mengungkap kasus ini (Kompas.id, 4/5/2024).
Sebagaimana diketahui, STIP merupakan perguruan tinggi kedinasan di bawah naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kompas telah mencoba menghubungi Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati untuk meminta tanggapan mengenai kasus penganiayaan di STIP. Namun, hingga berita ini ditulis, Adita masih belum memberikan tanggapannya.
”Maaf saya mohon waktu sedang ada meeting,” katanya melalui pesan Whatsapp, Sabtu (4/5/2024).
Kepala Bagian Umum Sekretariat BPSDMP Ariandy Samsul B, dalam keterangan resmi pada Jumat (3/5/2024), mengatakan, pihaknya telah memerintahkan Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut (PPSDMPL) untuk segera ke lokasi dan membentuk tim guna melakukan investigasi internal.
Selanjutnya, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPSDMP akan mengevaluasi kampus secara internal sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi. BPSDMP juga meminta STIP Jakarta segera mengusut kejadian ini dan menyerahkan penanganan kasus kepada Kepolisian Resor Jakarta Utara agar kasus dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
”Untuk terduga pelaku, BPSDMP akan langsung mencopot statusnya sebagai taruna agar tidak mengganggu proses hukum. Sementara itu, manajemen kampus dalam berbagai tingkatan yang terkait diminta bertanggung jawab dan kooperatif terhadap proses penyidikan yang dilaksanakan kepolisian,” katanya.
Selain itu, Plt Kepala BPSDMP menginstruksikan kepada seluruh kampus di lingkungan BPSDMP untuk lebih meningkatkan pengawasan secara ketat terhadap seluruh kegiatan taruna dan pembinaan. Hal ini dilakukan guna mencegah terulangnya kejadian tersebut ke depan sesuai dengan peraturan pola pengasuhan.
Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengatakan, kekerasan berpotensi terjadi karena ada dalam interaksi sosial selalu ada kecenderungan untuk berkelompok guna membangun sentimen tertentu. Sentimen kelompok itu bisa karena perbedaan kelas, angkatan, hobi, asal daerah, dan agama.
Di institusi pendidikan atau kampus yang karakteristiknya cenderung menekankan disiplin fisik, lanjut Edi, potensi kekerasan fisik cenderung lebih besar dibandingkan dengan sekolah dengan karakteristik lainnya. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah perundungan dan kekerasan fisik harus dilakukan, seperti membangun budaya kebersamaan, empati, simpati, serta pemberlakuan sanksi secara tegas.
”Kalau dari versi pemerintah, sudah ada. Misal di kampus, ospek sudah dilarang. Namun, di komunitas tertentu sulit karena memang karakter komunitas tersebut yang cenderung olah fisik. Kalau di kampus non-akademik, seperti STIP dan IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dan sejenisnya memang relatif lebih perlu perhatian karena karakteristiknya berbeda, cenderung ke arah menguatkan disiplin dan latihan fisik,” ujar Edi saat dihubungi dari Jakarta.
Ini kasus yang berulang kali terjadi. Tapi, tidak ada perbaikan sama sekali.
Secara terpisah, Indra Charismiadji, pengamat pendidikan, menyayangkan atas terulangnya kembali kasus penganiayaan di lingkungan STIP. Selama 10 tahun terakhir, terdapat beberapa kasus penganiayaan yang serupa.
Menurut Indra, ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kasus penganiayaan tersebut mengindikasikan, nyawa manusia tidak lagi dihargai. Apalagi, peristiwa itu terjadi di lembaga pendidikan sehingga sistem pendidikan nasional harus dikaji ulang lagi.
”Ini kasus yang berulang kali terjadi. Tapi, tidak ada perbaikan sama sekali,” ujarnya.
Dalam pemberitaan Kompas selama satu dasawarsa terakhir, kasus penganiayaan taruna STIP oleh senior yang berujung kematian bukan pertama kali ini terjadi. Pada Jumat (25/4/2014), Dimas Dikita Handoko (20), siswa tingkat II STIP, tewas setelah dianiaya oleh seniornya di sebuah rumah kos di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Saat itu, Dimas dibawa masuk ke kamar mandi dan terjatuh setelah dianiaya karena dianggap tidak hormat kepada senior. Sempat dibawa ke Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta, Koja, Jakarta Utara, Dimas dinyatakan meninggal lantaran pendarahan di otak akibat dipukul dengan benda tumpul. Sementara itu, enam taruna tingkat I lainnya mengalami luka dan memar di dada, perut, serta wajah.
Kepolisian Resor Jakarta Utara menetapkan tujuh taruna senior tingkat II sebagai tersangka kasus kekerasan terhadap tujuh taruna yunior di suatu pemondokan di Kebon Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Kasus tersebut bermula dari kegiatan yang sebenarnya bertujuan membina para taruna yunior agar lebih disiplin dan hormat kepada senior.
”Para yunior ditatar agar lebih disiplin dan hormat kepada senior. Ujung-ujungnya menjurus penganiayaan dan mengakibatkan kematian,” kata Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Muhammad Iqbal (Kompas, 27/4/2024).
Langkah pertama tentu klarifikasi kasus ini karena bisa jadi (kekerasan) terjadi secara sistemik. Perubahan SOP (prosedur standar operasi), juga langkah selanjutnya, dipastikan dari hasil investigasi.
Tiga tahun berselang, kasus penganiayaan yang berujung pada kematian kembali terulang. Kali ini, penganiayaan tersebut menimpa enam taruna tingkat I di kompleks STIP.
Amirullah Adityas Putra (18) bersama lima temannya dipanggil oleh lima taruna senior tingkat II ke salah satu ruangan Dormitory Ring 4, di kompleks STIP. Kelima senior itu secara bergantian memukuli keenam yuniornya.
Naas, saat salah satu senior hendak memukul, tiba-tiba Amirullah jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri. Hasil otopsi menunjukkan, korban mengalami pendarahan di paru-paru, jantung, dan lambung serta terdapat juga luka di bibir dalam korban.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Utara Komisaris Besar Awal Chaeruddin mengatakan, korban dianiaya oleh seniornya dengan pukulan di bagian perut, dada, dan ulu hati. Kelima korban penganiayaan tersebut merupakan anggota drum band kampus.
”Dari keterangan dokter, korban diketahui mengalami bintik pendarahan di paru-paru, jantung, dan kelenjar perut. Organ dalam korban mati lemas. Pelaku memukul dengan tangan kosong,” kata Awal (Kompas, 12/1/2017).