YOGYAKARTA, KOMPAS Sebanyak 274 orang dari Yogyakarta dan sekitarnya mengikuti ruwatan sukerta di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (23/9/2018). Ruwatan itu mengajak peserta ataupun publik menanggalkan segala hal buruk dalam diri dan lahir kembali menjadi pribadi yang menjaga nilai kebaikan. Sugesti disalurkan melalui ritual itu.
Ruwatan sukerta adalah ritual masyarakat Jawa untuk membuang hal buruk dalam diri sukerta. Sukerta adalah seorang anak yang dihinggapi hal buruk karena menerima kutukan dewa. Anak itu diyakini akan dibayangi mara bahaya dalam kehidupannya sehingga perlu melakukan ritual.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, yang tergolong sukerta di antaranya anak tunggal laki-laki atau perempuan, anak perempuan dengan urutan lahir di antara dua anak laki-laki, dan lima bersaudara yang semuanya laki-laki.
”Ritual atau tradisi ini dilakukan agar manusia bisa memperoleh keselamatan dan menghindarkan mereka dari bahaya,” kata dalang Ki Mas Wedono Cermo Sutedjo dalam ritual ruwatan sukerta di Pendopo Agung Tamansiswa, Minggu (23/9/2018).
Ritual diadakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya DI Yogyakarta dalam rangka Purnama Sura. Rentang usia peserta beragam, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Para peserta memulai ritual dengan sungkem kepada kedua orangtua. Mereka meminta maaf dan minta didoakan agar senantiasa dilindungi Tuhan.
Selanjutnya, para peserta berbaris panjang untuk kirab sekali mengelilingi Pendopo Agung Tamansiswa. Laki-laki mengenakan lurik lengkap keris dan jarik, sedangkan perempuan berkebaya dengan rambut disanggul.
Keluhuruan nilai
Ritual dilanjutkan dengan pertunjukan wayang ”Murwakala”. Kisah itu mengajarkan manusia untuk berhati-hati, menahan nafsu, menjaga etika dan kesopanan, serta berperilaku sesuai norma masyarakat.
”Ada nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada para peserta ritual melalui kisah ini. Ada sugesti yang diberikan untuk berbuat demikian melalui ritual ini,” kata Sutedjo.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Sri Hartini menyatakan hal serupa. Harapannya, para peserta memiliki keinginan bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik.
”Mendengar dalang bercerita saja sudah banyak nilai. Setelah mengikuti acara ini, ada keyakinan terhadap diri peserta ketika nanti berperan di mana pun akan selalu berlaku baik,” kata Sri.
Perubahan peserta agar menjadi lebih baik disimbolkan dengan pemotongan rambut peserta dan mengguyur tubuh menggunakan air bercampur kembang setaman. Kain putih yang dikenakan peserta saat potong rambut nantinya dihanyutkan ke sungai oleh dalang.
Ujang Purnomo (22), salah satu peserta, terlihat semringah seusai seluruh rangkaian ritual. ”Saya seperti lahir kembali.
Saya berharap dinaungi kebaikan serta dilindungi dari berbagai macam bahaya. Biar kebaikan itu terus ada, saya akan terus berbuat baik kepada siapa pun. Seperti ada keinginan untuk terus berlaku dan berbuat baik sehabis prosesi ini,” tuturnya. (NCA)