Di Kota Besi, Seorang Ayah Tega Memerkosa Dua Anak Kandungnya
Kekerasan seksual di Kalimantan Tengah terjadi di lingkup keluarga. Seorang bapak tega memerkosa dua anak kandungnya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Seorang bapak di Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, tega memerkosa kedua anak kandungnya berkali-kali. Pelaku kini ditangkap dan ditahan di Kepolisian Sektor Kota Besi, sedangkan korban yang masih di bawah umur diberi pendampingan psikologis.
Kepala Kepolisian Sektor Kota Besi Inspektur Satu (Iptu) Rochman Hakim menjelaskan, pelaku SG (45) ditangkap setelah dilaporkan mantan istrinya. Ia kini ditahan dan masih dalam proses pemeriksaan.
Saat diperiksa, lanjut Rochman, pelaku mengaku memerkosa kedua anaknya sejak Januari hingga awal April 2024. Pelaku mengaku tidak mengancam kedua anaknya.
”Tak ada ancaman atau paksaan, tetapi memang ada bujuk rayu ajakan saja,” ujar Rochman saat dihubungi dari Palangka Raya, Jumat (19/4/2024).
Dalam konteks ini harus dipahami bahwa tanpa ancaman bukan berarti melakukan sukarela dan dengan senang hati. Ada relasi kuasa dalam sosok ayah sebagai pemegang kuasa dan anak yang dikuasai. Anak tidak berdaya, tidak berani, atau tidak mampu menolak perintah ayahnya, bahkan untuk sesuatu hal yang jelas menyakitinya atau diketahui melanggar norma ataupun hukum berlaku.
Rochman menjelaskan, pelaku awalnya tinggal bersama istri dan kedua anaknya, SC (16) dan LS (19). Pelaku dan istrinya, TN (32), kemudian bercerai dan tinggal terpisah sejak 2010. TN kemudian menikah lagi dan tinggal di Buntok, Kabupaten Barito Selatan.
Setelah bercerai, kata Rochman, kedua anaknya sempat dititipkan di rumah kerabat, tetapi akhirnya kembali ke rumah mereka bersama ayahnya di Desa Palangan, Kecamatan Kota Besi. Di rumah itu, mereka tidur di kamar yang sama dan satu tempat tidur karena memang hanya ada satu kamar.
Rochman menambahkan, suatu malam pada awal Januari 2024, LS melihat pelaku memerkosa adiknya, SC. Kejadian itu dilakukan berkali-kali hingga akhirnya pelaku merayu LS. Mereka tak bisa menolak karena perintah bapaknya.
”LS kemudian tinggal bersama ibunya, sedangkan adiknya, SC, masih tetap tinggal bersama pelaku. Di saat LS berada di Buntok, baru LS cerita ke ibunya soal kelakuan bapak kandung mereka itu,” kata Rochman.
Buntok, tempat tinggal ibu kandung korban bersama suaminya yang baru, berjarak sangat jauh dari desa mereka di Kota Besi. Untuk menuju ke Buntok, korban harus melewati Kota Palangka Raya dan menempuh perjalanan darat 7-8 jam dengan jarak lebih kurang 400 kilometer.
”Setelah mendapatkan informasi itu, ibu kandung korban melaporkan pelaku ke polsek dan langsung kami tindak. Saat ini pelaku masih ditahan dan diperiksa,” ujarnya.
Pelaku ditangkap pada Rabu (17/4/2024) lalu. Aparat menyita sejumlah barang bukti, seperti kasur, selimut, pakaian dalam pelaku dan korban, baju daster, dan beberapa helai kain. Akibat perbuatan tersebut, pelaku akan dikenai Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun kurungan penjara.
Pendampingan
Tak hanya penindakan hukum, Rochman menambahkan, pihaknya juga melakukan pendampingan dalam upaya menghilangkan trauma yang dialami para korban. Kedua korban kini dalam penanganan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak dari Polres Kotawaringin Timur.
”Pendampingan psikologis,” ujarnya.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalimantan Tengah Irene Lambung mengungkapkan, kekerasan seksual di Kalteng banyak terjadi di dalam lingkup keluarga. Hal itu sangat disayangkan karena seharusnya sosok bapak merupakan pelindung mereka, tetapi berbalik menjadi predator.
Menurut Irene, kasus tersebut menandakan betapa Kalteng memerlukan sosialisasi dan pendidikan reproduksi untuk mencegah kejadian berulang seperti ini. ”Masyarakat, dalam hal ini tetangga dan semua yang ada di lingkungan, harus lebih peduli dan peka terhadap persoalan seperti ini,” kata Irene.
Irene menjelaskan, jika lingkungan korban bisa membaca tanda-tanda kejanggalan dari korban, maka peristiwa itu bisa dicegah agar tidak berlarut-larut.
”Perempuan punya otoritas atas tubuhnya. Ketika itu terjadi di luar kemauannya, apalagi dipaksa, maka itu merupakan bentuk kekerasan seksual. Tentunya dia tidak pernah nyaman atas apa yang bukan kehendaknya,” katanya.
Ia juga mengingatkan, Kalteng saat ini sudah mengimplementasikan Sistem Pelayanan Pidana Terpadu Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan (SPPTPKTP) yang memastikan hak konstitusional korban dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak-hak itu antara lain hak pemulihan psikologis, hak untuk didampingi selama proses hukum berjalan, dan hak mendapatkan perlindungan dari perundungan.
”Jika melihat korban masih di bawah umur, maka perlu monitoring hak-hak itu selama proses hukum berjalan,” kata Irene.