Adi Reza dan Annisa Wibi, Inovasi Kulit dari Serat Jamur yang Mendunia
Mycotech Lab, perusahaan rintisan di Bandung, mengolah jamur dan limbah pertanian menjadi bahan ramah lingkungan.
Perusahaan rintisan yang dibangun Adi Reza Nugroho, Annisa Wibi Ismarlanti, dan kawan-kawan di Bandung, Jawa Barat, sejak 2015 berfokus menciptakan dampak sosial yang positif. Dengan sentuhan teknologi inovatif, mereka mengolah jamur dan limbah pertanian menjadi lembaran kulit dan bahan furnitur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Adi Reza Nugroho dan Annisa Wibi Ismarlanti adalah dua di antara lima co-founder perusahaan rintisan (start up) dengan nama Mycotech Lab (MYCL). Perusahaan ini berhasil mendapat dana hibah sebesar 250.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 2,9 miliar pada Konferensi Filantropi Asia atau Philanthropy Asia Summit (PAS) 2024 di Singapura, 15-17 April.
Ditemui di sela-sela acara PAS 2024 di Expo Sands & Convention Centre, Marina Bay Sands, Singapura, Selasa (16/4/2024), Adi dan Annisa tampak semringah. Sehari sebelumnya, MYCL diumumkan sebagai salah satu peserta dalam kelompok pertama program mentoring amplifier (penguat). Program ini diselenggarakan the Centre for Impact Investing and Practices (CIIP) dan Philanthropy Asia Alliance (PAA), yang merupakan entitas ekosistem Temasek Trust, Singapura.
Adi, selaku Chief Executive Officer (CEO) MYCL, menuturkan, perusahaan mereka mengikuti program mentoring amplifier setelah dapat masukan dari salah satu investor. Mereka kemudian membuat pengajuan dan mengikuti proses seleksi ketat.
”Kami beruntung sudah direkomendasikan untuk ikut dan akhirnya bisa lolos,” ujarnya.
Untuk mendapatkan dana hibah dan program mentoring dari para ahli, MYCL harus bersaing dengan hampir 140 pengajuan perusahaan rintisan dari 35 negara. Pada akhirnya, hanya lima start up yang terpilih. Dua di antaranya dari Indonesia, sedangkan tiga lainnya berbasis di Amerika Serikat, Hong Kong, dan Filipina.
Menurut Annisa, MYCL adalah sebuah wirausaha sosial yang berfokus menciptakan dampak sosial yang positif. MYCL mencoba menyelamatkan Bumi dengan menawarkan alternatif berkelanjutan melalui penggunaan serat jamur, yang disebut miselium, sebagai pengganti kulit hewani. Mereka memanfaatkan limbah jamur tiram, yang selama ini kerap dibakar karena tidak terpakai.
Baca juga: Saat Manusia Mulai Kalah dengan Sosok Virtual
Dengan sistem pengolahan yang mirip dengan tempe, MYCL mengikat miselium dengan limbah pertanian, seperti bonggol jagung dan serbuk kayu, lalu menumbuhkannya menjadi bahan yang disebut mylea atau mycelium leather (kulit miselium). Bahan kulit ini tahan api, tahan air, dan fleksibel, bahkan dapat diubah menjadi berbagai produk mode.
”Permukaan kulit miselium ini ada yang halus dan ada yang agak kasar. Kualitasnya mirip dengan kulit konvensional karena bisa untuk bahan sepatu, sandal, tas, jok mobil, dan lain-lain,” kata Chief Operating Officer (COO) MYCL itu.
Selain kulit miselium, MYCL juga memproduksi mycelium composite (komposit miselium). Komposit ini tidak memakai lem dan tergolong ringan, tetapi tetap kuat sehingga bisa digunakan untuk bahan furnitur, misalnya kursi.
”Kursi dari mycelium composite yang beratnya hanya 3 kilogram bisa menahan beban hingga 800 kilogram,” ujar Annisa.
Melalui riset
Adi mengatakan, pengembangan produk melalui teknologi miselium dimulai tahun 2015 ketika MYCL berdiri. Ia bersama Annisa dan tiga rekan lainnya, yaitu Robby Zidna Ilman, Ronaldiaz Hartantyo, dan M Arkha Bentangan, mengawali MYCL dari usaha ”Growbox” pada 2013. Growbox merupakan bisnis media tanam yang mengedukasi konsumennya untuk menumbuhkan jamurnya sendiri.
”Setahun setelah menjalankan usaha Growbox, kami mencoba riset mendalam terhadap jamur karena melihat media tanam jamur yang lama-kelamaan mengeras. Kami mencoba membuat kulit, dan itu ternyata tervalidasi, lalu terus disempurnakan,” ungkapnya.
Dalam riset pengembangan produk dari miselium, MYCL berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Institut Teknologi Bandung, dan Future Cities Laboratory Singapura, yang berkolaborasi dengan Institut Teknologi Konfederasi Zurich (ETH Zurich) Swiss.
Meskipun Indonesia kaya akan pertanian, hanya 1 persen limbah pertanian yang diubah menjadi kompos. Melalui program amplifier, kami ingin mengatasi "lembah kematian" dan meningkatkan dampak usaha kami.
Menurut Annisa, riset pengembangan produk mereka tidak langsung berhasil. Setelah beberapa kali gagal, mereka akhirnya bisa menghasilkan kulit miselium pada 2018. Produk kulit ini kemudian mulai dikomersialisasi pada 2020 dan diterima dengan baik oleh pasar domestik dan internasional.
Terhitung sejak 2020, sebut Adi, konsumen aktif produk MYCL sudah lebih dari 500 orang. Sekitar 30 persen di antaranya adalah konsumen yang balik lagi atau pelanggan tetap.
”Konsumen kami berasal dari 48 negara. Tiga terbesar dari Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat,” ujarnya.
Di pasar domestik, MYCL juga telah bekerja sama dengan beberapa jenama fashion di Bandung. Mereka menghasilkan berbagai macam produk mode, mulai dari sepatu, sandal, dompet, tali jam tangan, hingga tas. Sejak 2021, produk MYCL juga tampil di Paris Fashion Week.
Baca juga: Yusy Marie, Literasi Hijau untuk Anak Kalteng
”Sepanjang tahun 2023, kami mengirim 2.000 square feet (kaki persegi) mylea kepada pelanggan. Kalau semua bahan kulit itu dijadikan sepatu, kira-kira setara 600 pasang sepatu,” kata Adi.
Ia melanjutkan, omzet mereka pada 2023 berkisar 150.000-180.000 dollar AS. Omzet itu tergolong masih kecil karena kapasitas produksinya juga terbatas. Kapasitas produksi MYCL baru sekitar 10.000 square feet per tahun dengan melibatkan sekitar 60 pekerja.
”Ini masih kecil karena industri sepatu untuk sekali order bisa 1 juta square feet,” ucap Adi.
Jual teknologi
Menurut Adi, MYCL sudah berbentuk perseroan terbatas dengan nama PT Miko Bahtera Nusantara. Produk perusahaan bioteknologi bersertifikat B Corp ini juga sudah dipatenkan. Produknya kini juga diproduksi di Jepang oleh MYCL Jepang, yang mendapat lisensi teknologi dari MYCL Indonesia.
”Produk MYCL kini sudah diproduksi di Jepang dengan lisensi teknologi dari kami. Jadi, Indonesia ke depan bukan cuma jualan komoditas, tetapi juga jualan teknologi,” kata Adi.
Annisa menyebutkan, tujuan utama mereka saat merintis MYCL sederhana saja, yakni ingin membuat dampak yang berarti bagi dunia dengan memanfaatkan potensi limbah pertanian di Indonesia, yang sebagian besar belum dimanfaatkan.
”Meskipun Indonesia kaya akan pertanian, hanya 1 persen limbah pertanian yang diubah menjadi kompos. Melalui program amplifier, kami ingin mengatasi ’lembah kematian’ dan meningkatkan dampak usaha kami,” katanya.
Dengan adanya dana hibah dalam jumlah yang cukup besar dari program amplifier, Adi dan Annisa bertekad mengembangkan bisnis serta produk MYCL. ”Fokus utamanya lebih untuk pengembangan bisnis atau komersialisasi. Ini karena potensinya memang sangat besar,” ujar Adi.
Baca juga: Akhmad Arifin, Sosok di Balik Gerakan Sedekah Oksigen di Kalsel
Adi Reza Nugroho
Lahir : Malang, 17 Maret 1989
Pendidikan : S-1 Arsitektur Institut Teknologi Bandung (lulus 2012)
Pekerjaan : Co-Founder & Chief Executive Officer (CEO) Mycotech Lab (MYCL)
Annisa Wibi Ismarlanti
Lahir : Bandung, 15 Maret 1989
Pendidikan :
- S-1 Ekonomi Universitas Padjadjaran (2008-2012)
- Program Kursus Singkat di Universitas Flinders, Australia (2018)
Pekerjaan : Co-Founder & Chief Operating Officer (COO) Mycotech Lab (MYCL)