Cita-cita Merdeka Belajar Anak Papua yang Tak Kunjung Tergapai
Solusi menyeluruh terus dinanti agar anak Papua bisa merdeka belajar tanpa terpengaruh konflik yang terus terjadi.
Konflik panjang di Papua turut berdampak pada banyak aspek, termasuk pendidikan. Saat dunia pendidikan wilayah lain di Tanah Air terus bergerak dengan semangat kurikulum Merdeka Belajar, hal tersebut sulit terwujud di Papua.
Kebebasan menjalankan aktivitas pembelajaran dalam kurikulum Merdeka Belajar tampak hanya jadi angan bagi anak-anak di banyak wilayah di Papua. Bahkan, mereka yang tinggal di daerah rawan konflik belum sepenuhnya bebas atau merdeka untuk sekadar menerima pengajaran dari tenaga pendidik.
Konflik tanpa kesudahan sejak puluhan tahun lalu antara aparat dan kelompok yang dilabeli Organisasi Papua Merdeka (OPM) membuat berbagai aspek dasar dan pendukung pendidikan di Papua ikut terkorbankan.
Apalagi, belakangan eskalasi konflik kembali meningkat karena OPM menyerang pusat-pusat kegiatan masyarakat, kantor pemerintahan, serta fasilitas pendidikan. Pada 1 Mei 2024, yang berdekatan dengan Hari Pendidikan Nasional, OPM membakar SD Inpres di Kampung Pogapa, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.
Aksi kontak tembak selama hampir sepekan di kawasan itu membuat aparat TNI dan Polri dari Satgas Damai Cartenz dan Komando Operasi (Koops) Habema menambah jumlah personel. Situasi yang semakin mencekam membuat seorang guru pendatang asal Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, meninggalkan Pogapa.
Baca juga: Fasilitas Pendidikan Jadi Sasaran Teror, OPM Bakar Sekolah di Intan Jaya
”Guru yang mengajar di sekolah yang dibakar keluar dari sana (Pogapa) dan kembali ke kampung halamannya. Dia dievakuasi saat penjemputan jenazah korban penembakan,” ujar Kepala Satgas Humas Damai Cartenz Ajun Komisaris Besar Bayu Suseno, Senin (6/5/2024).
Adapun dalam keterangannya, OPM beralasan membakar sekolah tersebut karena bangunan itu dianggap sebagai markas TNI-Polri. Mereka juga menunjukkan ketidaksukaan kepada militer Indonesia yang menjadi pengajar di sekolah tersebut.
Baca juga: KKB Bakar Fasilitas 17 Sekolah di Papua dalam Tiga Tahun Terakhir
Dalam catatan Kompas, aksi OPM yang membakar fasilitas sekolah terjadi di sejumlah daerah, seperti Intan Jaya, Puncak, dan Pegunungan Bintang. Dalam kurun tahun 2021-2024, OPM tercatat membakar setidaknya 18 sekolah, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA, di tiga kabupaten ini.
Aksi tersebut tentu berdampak besar pada dunia pendidikan di Papua. Akademisi Universitas Papua, Agus Sumule, mengungkapkan, berbagai persoalan yang terjadi itu jelas menghambat pendidikan di Papua. Anak-anak Papua semakin kehilangan kesempatan belajar. Masalah kekurangan tenaga pengajar pun kian parah.
Oleh karena itu, tak mengherankan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua jauh tertinggal. Pada 2022, misalnya, IPM Papua sebesar 61,39 persen, berada di bawah rata-rata nasional sebesar 73,77 persen. Angka tersebut bahkan seakan lebih rendah dengan IPM di kawasan barat Indonesia belasan tahun lalu. Pada 2012, misalnya, IPM Jawa Barat mencapai 67,32 persen.
Agus memaparkan, dokumen Neraca Pendidikan Daerah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga menunjukkan masalah serius dalam dunia pendidikan di daerah otonom baru (DOB) di Papua. Masalah itu antara lain terkait banyaknya anak tidak sekolah dan kekurangan guru.
Baca juga: Anak Putus Sekolah di Papua Mencapai 314.606 Jiwa
Papua Tengah tercatat sebagai daerah dengan jumlah anak tidak sekolah terbanyak dibandingkan dengan tiga DOB lainnya, yakni 95.380 orang. Jumlah anak tidak sekolah di Papua Pegunungan mencapai 95.022 orang, Papua Selatan sebanyak 92.988 orang, dan Papua Barat Daya sebanyak 31.216 orang.
Sementara itu, Papua Pegunungan tercatat mengalami kekurangan 4.272 guru, Papua Tengah kekurangan 3.331 guru, Papua Selatan kekurangan 3.167 guru, dan Papua Barat Daya masih membutuhkan 2.798 guru.
“Masalah ketersediaan tenaga pengajar ini sebenarnya kebutuhan yang sangat dasar, tetapi hingga saat ini masih sulit dipenuhi. Masalah ini terus menanti penyelesaian secara menyeluruh,” tutur Agus yang juga merupakan peneliti demografi Papua.
Ketidakhadiran guru
Kompleksitas masalah pendidikan di Papua pun turut menjadi perhatian Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) sejak awal 2000-an. Anggota staf spesialis pendidikan Unicef Perwakilan Papua, Pria Santri Beringin, mengungkapkan, kompleksitas masalah di Papua membuat ketidakhadiran guru di sekolah menjadi tinggi. Akibatnya, proses belajar mengajar banyak yang tidak berjalan.
Santri menyebut, tenaga pengajar menjadi kebutuhan yang sangat krusial bagi pendidikan anak di Papua. Berdasarkan riset Unicef pada Juli 2022 hingga Januari 2023, terjadi ketidakhadiran guru dalam jangka waktu yang lama di sejumlah wilayah Papua. Beberapa sekolah melaporkan guru tidak hadir sama sekali dalam enam bulan, bahkan hingga tiga tahun.
“Penyebabnya beragam, mulai dari masalah transportasi, cuaca buruk, tempat tinggal, kenyamanan guru, hingga alasan konflik,” tutur Santri.
Baca juga: Hari Otonomi Khusus Papua, Jalan Panjang Mencapai Sejahtera
Namun, menurut Santri, masalah ini tidak boleh membuat anak-anak di Papua kehilangan hak untuk mendapat pendidikan. Itulah kenapa, di beberapa daerah yang terkena dampak konflik, Unicef menyelenggarakan pendidikan dengan skema pembelajaran masa darurat.
Santri mencontohkan, konflik berkepanjangan di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, membuat masyarakat mengungsi di Kabupaten Jayawijaya, ibu kota Papua Pegunungan. Di kamp pengungsian, tim Unicef beserta relawan hadir untuk mengajar anak-anak.
“Namun, ketika ada konflik, mereka akan mengungsi di kabupaten lain sehingga memunculkan kendala administrasi ketika akan ujian terkait dapodik (data pokok pendidikan). Dengan begitu, pemerintah kedua daerah perlu koordinasi untuk dapodik ini,” ujarnya.
Meski menghadapi beragam masalah, anak-anak di pedalaman Papua sebenarnya menunjukkan antusiasme tinggi untuk mengenyam pendidikan. Hal ini antara lain diutarakan seorang guru di pedalaman Papua, Refol Malimpu (34).
Pria asal Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, ini sejak 2013 mengabdikan diri di salah satu SD di Kampung Mamit, Distrik Kembu, Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan.
Refol menceritakan, banyak anak didiknya yang datang dari kampung-kampung di sekitar Distrik Kembu. Bahkan, mereka harus berjalan kaki berhari-hari dan harus menginap di rumah kerabat yang berada di dekat sekolah.
“Anak di sini sangat antusias. Mereka sangat senang ketika ada guru sehingga mereka bisa belajar,” ucap Refol. Oleh karena itu, dia berharap hak pendidikan anak Papua bisa selalu diperhatikan kendati berbagai masalah terus datang.
Pendidikan lewat gereja
Agus Sumule menyatakan, dengan berbagai masalah itu, perlu solusi menyeluruh untuk memajukan pendidikan di Papua. Ia menyebut, Universitas Papua telah menyusun sejumlah rencana penyelesaian masalah itu kepada Majelis Rakyat Papua (MRP).
Menurut Agus, MRP sebagai lembaga yang mewakili berbagai elemen, yakni adat, agama, dan perempuan, diharapkan bisa mencari solusi bersama pemerintah. Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengintensifkan penyelenggaraan pendidikan oleh institusi gereja.
”Penyelenggaraan pendidikan oleh gereja harus kembali digalakkan. Dulu, pendidikan tersebut berjalan efektif. Sekarang tinggal kemauan pemerintah memastikan regulasi agar ini berjalan maksimal. Perlu diingat, semua pihak yang tengah berkonflik saat ini masih menghormati gereja,” ujarnya.
Anak di sini sangat antusias. Mereka sangat senang ketika ada guru sehingga mereka bisa belajar.
Hal itu juga sempat menjadi perhatian Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat mengunjungi dan berkantor di Papua pada Oktober 2023. Saat itu, dia menekankan peran besar para pemimpin agama di Papua untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan di Papua.
”Dalam rangka menjadikan Papua yang lebih sejahtera dan lebih maju, peran para pemimpin, pimpinan gereja, para pendeta itu menjadi kunci atau sekarang kata orang game changer,” ujar Wapres Amin mengawali dialog dengan pimpinan gereja di Jayapura, Papua, Rabu (11/10/2023).
Baca juga: Wapres: Pimpinan Agama di Papua Ambil Peran ”Game Changer”
Saat itu, pemuka agama juga memberikan sejumlah rekomendasi, salah satunya tentang peningkatan jumlah guru SD dan pendidikan anak usia dini di Papua. Pihak gereja pun berharap diberikan kepercayaan bisa menyelenggarakan pendidikan keguruan demi menghasilkan guru yang berkomitmen.
Komitmen penyelesaian masalah secara menyeluruh menjadi krusial. Dengan begitu, anak Papua setidaknya bisa tetap merdeka untuk belajar tidak terpengaruh konflik dari mereka yang menginginkan kemerdekaan.