Pertumbuhan Industri Pengolahan Nikel di Sultra Melambat di Tengah Hilirisasi
Peranan industri pengolahan di Sulawesi Tenggara cenderung menurun. Situasi ini perlu diwaspadai di tengah hilirisasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Hingga triwulan pertama 2024, lapangan usaha industri pengolahan di Sulawesi Tenggara memegang pertumbuhan tertinggi, hingga 21,72 persen. Namun, angka industri yang berbasis nikel ini justru turun jika dibandingkan periode sebelumnya. Situasi ini patut diwaspadai karena berdampak besar terhadap ekonomi wilayah, juga nasional, di tengah upaya hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, ekonomi provinsi ini pada triwulan pertama 2024 terhadap triwulan I-2023 mengalami pertumbuhan sebesar 5,78 persen. Dari sisi produksi, lapangan usaha industri pengolahan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 21,72 persen.
Kepala BPS Sultra Agnes Widiastuti menerangkan, lapangan usaha industri pengolahan ini tumbuh bersama sektor pertanian, pertambangan, hingga industri pengolahan tumbuh positif di Sultra. Namun, di antara berbagai lapangan usaha tersebut, industri pengolahan tumbuh paling tinggi.
”Secara kategori sumber pertumbuhan PDRB berdasarkan lapangan usaha, industri pengolahan juga memegang peranan tertinggi, yaitu 1,88 persen. Selebihnya lalu diikuti administrasi pemerintahan 0,82 persen, dan pertambangan juga perdagangan yang masing-masing 0,72 persen,” kata Agnes di Kendari, Senin (6/5/2024).
Meski begitu, dari data yang sama, pertumbuhan industri pengolahan justru turun jika dibandingkan secara triwulanan. Pada triwulan IV-2023, lapangan usaha industri pengolahan mencapai 28,25 persen. Pada triwulan I-2023, angkanya 25,60 persen.
Industri pengolahan di Sultra saat ini mencakup pengolahan nikel menjadi tahap pertama. Perusahaan yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel di Sultra adalah Virtue Dragon Nickel Industry, dan Obsidian Stainless Steel, di Morosi, Konawe. Satu perusahaan lain merupakan milik negara, yaitu PT Antam di Kolaka. Meski begitu, produksi PT Antam tergolong kecil jika dibandingkan dua perusahaan yang berada di wilayah Morosi, Konawe, tersebut.
Saat ini, tiga perusahaan tersebut rutin mengolah nickelore menjadi nickel pig iron (NPI), dan ferro nickel, juga baja tahan karat. Belum ada perusahaan yang menghasilkan nikel sulfat, apalagi hingga prekursor dan katoda.
Sejumlah perusahaan dan kawasan industri saat ini masih dalam tahap pembangunan dan perencanaan. Beberapa di antaranya berencana mengolah nikel di tahap lanjutan.
Dihubungi terpisah, Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Halu Oleo Syamsir Nur menjabarkan, meski tumbuh di setiap triwulan, persentase industri pengolahan justru turun jika dibandingkan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi akibat dua faktor, yaitu gejolak harga nikel di tingkat dunia dan berkurangnya permintaan, serta perusahaan yang tidak menggenjot produksi dengan alasan tertentu.
”Jika dibandingkan periode sama tahun 2023, angka penurunannya cukup besar, yaitu hampir 5 persen. Ini menurut saya patut diwaspadai. Apalagi jika melihat volume ekspor yang naik, tetapi peranannya turun seperti saat ini,” kata Syamsir.
Situasi ini, ia melanjutkan, akan berdampak panjang pada upaya hilirisasi nikel yang digaungkan pemerintah. Sebab, hal ini menyiratkan pengendalian harga produk hilirisasi sangat bergantung ke pihak luar. Akibatnya, meski produksi tinggi, nilai yang tersebar tidak akan tinggi.
Terlebih lagi, ekonomi Sultra sangat bergantung pada industri pengolahan dan produk ekspornya. Dua sektor ini memiliki ikutan aktivitas pada sektor ekonomi lain, mulai dari transportasi, logistik, konsumsi, hingga perumahan dan perhotelan.
”Sekarang kita bicara stok (nikel) yang masih ada. Bagaimana ke depannya jika ada penggunaan energi alternatif yang lebih masif untuk kendaraan listrik atau lebih parahnya cadangan nikel kita habis?” ujarnya.
Situasi akan menjadi berbeda jika produk hilirisasi nikel Sultra berada di tingkat menengah atau akhir. Tujuan ekspor pun tidak hanya bergantung pada satu negara tujuan, yaitu China.
Menurut dia, tidak ada jalan lain untuk menguatkan ekonomi selain berjalan pada dua sisi. Sisi pertama, mempercepat hilirisasi hingga tingkat akhir dan bukan pertama seperti saat ini. Hal ini dipercaya bisa mengurangi ketergantungan terhadap satu negara dan berimbas pada investasi di sektor turunan.
”Yang terpenting adalah menguatkan ekonomi utama Sultra, yaitu pertanian, perkebunan, dan kelautan. Itu adalah sektor utama yang juga harus diperhatikan dan menjadi fokus hilirisasi,” kata Syamsir.