Kesejahteraan Warga Bukan Sekadar Upah Minimum
Penghasilan lebih dari upah minimum di Surabaya, Jawa Timur, belum menjamin kesejahteraan dan kenyamanan hidup warga.
Penghasilan bulanan senilai Upah Minimum Kota Surabaya 2024 yang Rp 4,725 juta dirasa cukup untuk Abdullah (25), pegawai lajang yang sudah tiga tahun bekerja di ibu kota Jawa Timur tersebut.
Namun, penghasilan rata-rata Rp 2,5 juta per bulan ternyata juga disyukuri dan dicukup-cukupkan untuk kehidupan Sumarno (35), yang telah empat tahun terakhir menjadi mitra ojek dalam jaringan (online) sepeda motor.
Dari sana, ukuran kelayakan, kesejahteraan, apalagi kenyamanan hidup sebagai warga Bumi Pahlawan jelas berbeda. Gaji berkali-kali lipat dari upah minimum belum tentu menghadirkan kenyamanan dan kebahagiaan. Namun, upah yang memadai lebih menjamin kesejahteraan menuju kebahagiaan.
Baca juga: Buruh, Penggerak Industri yang Kian Terpinggirkan
”Buat saya, rezeki harus disyukuri dan diatur agar mencukupi kebutuhan sekaligus membantu persiapan masa depan,” ujar Abdullah saat ditemui di sebuah warung makan dekat Pasar Pucang Anom, Surabaya, Sabtu (4/5/2024).
Abdullah, kelahiran Magetan, mengatakan, penghasilan Rp 4,725 juta itu untuk makan-minum Rp 1,5 juta, cicilan sepeda motor dan bensin Rp 1,4 juta, pemondokan sederhana beserta listrik dan air Rp 700.000, menabung Rp 300.000, busana dan kelengkapan pribadi Rp 300.000, rekreasi dan telekomunikasi Rp 300.000, dan kesehatan Rp 200.000.
”Sampai cicilan sepeda motor lunas, lima tahun, saya tidak bisa memikirkan membeli rumah atau tempat tinggal dan menikah,” ujar Abdullah. Jika berkeluarga, ia bertekad kuat mencari pasangan hidup yang juga bekerja. Pasangan yang bekerja akan kuat dalam fondasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama anak-anak.
Kalau lebih dari tiga kali garis kemiskinan, itu sejahtera. Kalau tidak cukup, berarti persoalannya di gaya hidup, tidak cermat mengatur pengeluaran.
Abdullah juga bertekad ingin melanjutkan studi pascasarjana dan atau kursus-kursus yang meningkatkan kompetensi dan keahlian. Dengan kompetensi dan keahlian, Abdullah percaya bisa mendapat pekerjaan berpenghasilan lebih besar, lingkungan kerja yang akomodatif, dan suasana kehidupan yang baik.
Baca juga: Satu Dekade, Tren Kenaikan Upah Minimum Buruh Terus Merosot
Tidak tentu
Sebelum menjadi mitra ojek, Sumarno pernah menjadi buruh dan pegawai kontrak. Ia menikah saat usia 30 tahun dan telah dikaruniai seorang anak perempuan yang kini berusia 3 tahun. Anaknya lahir dalam masa pandemi Covid-19 dan dirinya terkena pemutusan hubungan kerja.
”Istri saya pembantu di beberapa rumah, penghasilannya Rp 1 juta, lumayan bagi kami,” kata Sumarno, warga Wonokromo. Penghasilan total pasangan yang di bawah upah minimum itu diatur sedemikian rupa agar mereka dapat memenuhi kebutuhan, terutama makan-minum, sewa tempat tinggal, pakaian, dan pendidikan-kesehatan.
Sumarno mengatakan, ia mendamba pekerjaan dengan penghasilan rutin yang memadai setidaknya upah minimum demi memperbaiki taraf hidup keluarga. Dengan penghasilan saat ini, mustahil baginya untuk mencicil kepemilikan tempat tinggal berupa rumah susun, apalagi rumah tapak.
Layak
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pernah mengatakan, upah minimum yang telah ditetapkan diyakini dapat secara layak menghidupi seseorang di metropolitan berpopulasi 3 juta jiwa ini. Dalam penghitungan kasar, untuk keluarga dengan dua anak, hidup akan terjamin sejahtera jika suami, istri, atau pasangan berpenghasilan minimal dua kali lipat upah minimum.
”Upah yang layak perlu ditunjang dengan literasi atau pemahaman yang baik tentang manajemen dan gaya hidup sehingga kebutuhan tercukupi dan merasa nyaman,” kata Eri.
Baca juga: Jangan Sekadar Bicara Upah Buruh
Gigih Prihantono, dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga, mengatakan, upah minimum bagi buruh lajang sudah amat layak, bahkan sejahtera, karena berkali lipat dari garis kemiskinan 2023 yang Rp 718.370. Upah minimum 6,57 kali lipat daripada garis kemiskinan atau tingkat terbawah pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk mendapat standar hidup per kapita.
”Kalau lebih dari tiga kali garis kemiskinan, itu sejahtera. Kalau tidak cukup, berarti persoalannya di gaya hidup, tidak cermat mengatur pengeluaran,” kata Gigih.
Untuk keluarga dengan asumsi suami-istri dan dua anak, garis kemiskinan ialah Rp 2,873 juta. Jika suami, istri, atau pasangan berpenghasilan setidaknya dua kali dari garis kemiskinan itu, standar hidup secara ekonomi dapat dikatakan sejahtera.
Gigih melanjutkan, akan sulit mengukur tingkat kelayakan upah yang dapat menjamin seseorang hidup sejahtera dan nyaman di Surabaya. Ukuran sejahtera, bahagia, dan nyaman setiap orang berbeda. Namun, jika dilihat dari garis kemiskinan, seseorang yang berpenghasilan berkali-lipat diartikan seharusnya sejahtera.
Menurut Gigih, dalam konteks kebutuhan pangan, seseorang perlu tercukupi kebutuhan 2.000-2.500 kalori per hari. Jika sekali makan dialokasikan Rp 15.000-Rp 20.000, kebutuhan kalori tersebut dapat terpenuhi dengan tiga kali makan dalam sehari di warung dengan menu sederhana, tetapi komplet bernutrisi; nasi, sayur, lauk, dan buah.
Baca juga: Menimbang Masa Depan Buruh di Antara Bonus atau Beban Demografi
Pengeluaran untuk pangan dapat dihemat dengan belanja dan memasak sendiri. Namun, belanja bahan pangan harus dengan cermat sehingga mendapat yang berkualitas baik, bernutrisi dan bergizi, serta menekan potensi dampak buruk terhadap kesehatan.
”Peran pemerintah adalah memastikan warga tidak terbebani pengeluaran besar untuk pendidikan, kesehatan, transportasi, dan energi (listrik, air, gas) dengan pembebasan biaya atau subsidi,” kata Gigih. Jika pos-pos pengeluaran itu bisa ditekan oleh pemerintah sehingga warga tak terbebani, kehidupan masyarakat lebih terjamin, merasa lebih nyaman. Namun, di Surabaya, belum seluruh masyarakat menjangkau pendidikan gratis, asuransi kesehatan, apalagi transportasi publik memadai.
Ketua Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) Maria Domin Dhamayanti berpendapat, upah minimum belum memenuhi kebutuhan hidup secara wajar atau nyaman. Kenaikan upah minimum belum dapat mengatasi inflasi riil barang dan jasa, terutama pangan, sandang, kesehatan, dan pendidikan yang vital.
”Tidak bisa begitu saja upah yang beberapa kali dari garis kemiskinan diartikan sejahtera,” kata Domin. Untuk upah 2021 senilai Rp 4.300.479 juta dengan garis kemiskinan Rp 611.466. Tahun berikutnya, upah senilai Rp 4.375.479 dengan garis kemiskinan Rp 652.540. Pada 2023, upah senilai Rp 4.525.479 dengan garis kemiskinan Rp 718.370.
Baca juga: UMK Jatim Dinilai Terlalu Rendah oleh Pekerja, Terlalu Tinggi oleh Pengusaha
Domin melanjutkan, mekanisme penetapan upah berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai revisi atas regulasi serupa nomor 36 tahun 2021. Penghitungan kenaikan upah dari tiga variabel, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu menurut Dewan Pengupahan Daerah. Sebelumnya, penghitungan upah berdasarkan survei komponen kebutuhan hidup layak sesuai PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang dinilai belum memadai.
”Penghitungan upah dari kebutuhan hidup layak belum memadai, apalagi dengan penyederhanaan tiga variabel tadi, saya rasa semakin jauh dari kelayakan,” ujar Domin. Situasi ini diperparah dengan penetapan upah tidak selalu dipatuhi perusahaan. Ada saja perusahaan yang mengupah di bawah minimum, yakni dalam kisaran Rp 2,5 juta-Rp 3 juta dengan dalih sudah jauh di atas garis kemiskinan.
”Celakanya, upah yang kurang memadai itu tidak diimbangi dengan literasi yang baik. Banyak, lho, buruh terjerat utang online atau malah judi online karena berpandangan mencari tambahan penghasilan, tetapi dengan cara singkat dan keliru,” kata Domin.