”Manusia Silver” dan Pengemis Bersalin Rupa Merambah di Kota Pontianak
Pengemis bersalin ragam rupa penuhi persimpangan Kota Pontianak, Kalbar. Butuh penanganan terpadu untuk mengentaskannya.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pengemis beragam rupa kian marak menyebar di sejumlah kota, termasuk di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Ada yang berpakaian compang-camping hingga bergaya ”manusia silver”. Tak sedikit yang mengemis buat semata urusan perut, tetapi ada juga yang mengemis demi nyabu.
Kehadiran pengemis di sejumlah lampu merah di Kota Pontianak sudah ada sepuluh tahun terakhir. Biasanya berpakaian lusuh, apa adanya.
Baru belakangan muncul manusia silver. Mereka mewarnai tubuh dengan cat berwarna perak, lalu memasang gaya di persimpangan jalan, biasanya persis di sekitar lampu merah. Mereka lalu meminta uang kepada pengendara yang melintas.
Selain itu, ada sejumlah jenis lainnya pengemis bersalin rupa. Saat hujan, ada sekelompok orang membawa botol mineral berisi air yang berbusa mirip air sabun. Mereka menyemprotkan air di dalam botol ke kaca kendaraan warga yang berhenti di lampu merah, lalu seolah membersihkan kaca. Selanjutnya, mereka minta uang sebagai tanda jasa.
Pengemis mucul di sejumlah lampu merah, salah satunya di lokasi yang kerap disebut masyarakat Kota Pontianak dengan nama Simpang Garuda, yaitu perempatan Jalan Tanjungpura dan Imam Bonjol. Selain itu, di daerah Kecamatan Pontianak Timur. Sementara manusia silver kerap muncul di lampu merah di Pontianak Utara.
Pengamat sosial dari Elpagar (lembaga yang bergerak di bidang pemulihan ruang hidup masyarakat dan fokus pada ruang sosial masyarakat), Furbertus Ipur, Senin (6/5/2024), menilai, dari perspektif perkembangan kota, Pontianak mulai bergerak ke arah metropolitan. Hal itu diikuti dengan segala risikonya.
Pemerintah di Kalbar harus mengantisipasi hal itu. Dalam kondisi kota bertumbuh dalam segala hal, mestinya pemerintah harus bisa merespons pertumbuhan penduduk dan situasi-situasi akibat perkembangan kota.
Kehadiran pengemis dan manusia silver itu tidak hanya dilihat sebagai orang yang meminta-minta. Namun, perlu dipandang pula, seberapa hadir negara memberi lapangan kerja sehingga masalah-masalah sosial itu tidak muncul. Mengatasinya tidak hanya dirazia. Di sisi lain, bantuan sosial selama ini hanya bersifat karitatif, yaitu orang memerlukan makan, diberi beras. Orang memerlukan minyak, diberi minyak murah.
”Namun belum kelihatan bahwa program-program berorientasi pemberdayaan yang sering disebut memberi pancing,” tuturnya.
Ke depan, jika hal itu dibiarkan, akan menjadi masalah besar bagi Kota Pontianak. Apalagi, Ibu Kota Nusantara (IKN) ada di Kalimantan. Dampaknya akan ke kota-kota di Kalimantan yang juga membawa lonjakan jumlah penduduk. Risiko ke depan juga harus diantisipasi.
”Skenario pemerintah lokal mengantisipasi lonjakan penduduk ke depan belum kelihatan dan belum disampaikan,” kata Ipur.
Berdasarkan data Kota Pontianak dalam Angka 2023, jumlah penduduk Pontianak terus bertambah dalam kurun waktu 2018-2022. Pada 2018 jumlah penduduknya 637.723 jiwa. Kemudian, pada 2019 meningkat menjadi 646.661 jiwa dan pada 2020 meningkat lagi menjadi 658.685 jiwa. Lalu pada 2021 sebanyak 663.713 jiwa dan pada 2022 mencapai 669.795 jiwa.
Penjabat Wali Kota Pontianak Ani Sofian, saat ditemui, menuturkan, pengemis dan manusia silver tersebut ada yang penduduk Kota Pontianak dan ada pula dari luar kota. Petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) berupaya merazia. Namun, setelah dirazia, pengemis dan manusia silver itu muncul lagi.
”Ini perlu kesadaran bersama. Jika hanya dibebankan kepada satpol PP, agak lama menuntaskannya. Saya ingin ada partisipasi masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis agar mereka jera meminta-minta,” kata Ani.
Saat ditanya, apakah pengemis dan juga manusia silver itu termasuk penerima bantuan sosial dan kemiskinan dari pemerintah atau tidak, Ani mengatakan, hal itu yang belum disinkronkan. ”Mudah-mudahan mereka termasuk yang harus diberikan bantuan,” kata Ani.
Namun, banyak juga yang sudah menerima bantuan, tetapi masih mengemis di lampu merah. Sebab, bantuan tidak untuk setiap hari diberikan, sedangkan mereka memerlukan kebutuhan setiap hari.
Para pengemis itu ada dari keluarga tidak mampu. Namun, ada pula yang sengaja berprofesi sebagai pengemis. Pernah juga suatu ketika saat dirazia, para pengemis kedapatan memiliki banyak uang.
”Ada juga yang ditangkap ternyata pengguna sabu sehingga ditangani Dinas Sosial Kota Pontianak. Untuk merehabilitasi juga tidak mudah,” ujarnya lagi.
Upaya yang dilakukan terhadap banyaknya pengemis dan manusia silver di lampu merah adalah razia rutin dan ditampung di dinas sosial. Namun, kemampuan Pemerintah Kota Pontianak, kata Ani, juga terbatas sehingga diperlukan partisipasi masyarakat bersama-sama menanggulangi pengemis dengan tidak memberi uang kepada pengemis.