Nestapa Petani Cabai di Kupang, Tiga Tahun Diserang Hama Misterius
Hama tanaman yang menyerupai kutu loncat itu menyerang tanaman cabai di Kelurahan Fatukoa dan Naioni, Kota Kupang, NTT.
Para petani cabai di Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, resah. Sejak tiga tahun terakhir, cabai yang dibudidayakan selalu terserang jenis hama yang sulit terpantau jenis dan bentuknya. Hama mirip kutu loncat itu merugikan petani ratusan juta rupiah.
Akibat serangan hama itu, daun cabai menjadi coklat kemerahan. Daun yang rusak itu mengakibatkan buah terus gugur sebelum masa panen. Kerugian petani pun tak terhindarkan.
Petani terintegrasi, DanielAluman (55), duduk memperhatikan tanaman cabai yang sedang terserang hama di kebun seluas 2 hektar yang dikelolanya di Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Senin (6/5/2024). Perasaan kecewa dan sedih menyelimuti petani yang sudah 42 tahun menggeluti bidang pertanian ini.
”Hama ini saya sebut ajaib karena, setiap kali disemprot pestisida, 2-3 hari kemudian muncul lagi. Begitu terus. Jenis hama ini mirip kutu loncat, hanya bisa dilihat pada pukul 07.00Wita, kemudian terpantau lagi pada pukul 17.00 Wita. Mereka muncul hanya saat udara sejuk. Ketika terik menyengat, mereka menghilang entah ke mana,” tutur Aluman.
Gejala serangan hama yang terlihat ialah daun menjadi coklat kemerahan. Jika tidak segera disemprot, daun akan berguguran, kemudian diikuti buah. Karena itu, setiap pekan, 2-3 kali disemprot dengan pestisida. Penyemprotan pun hanya dilakukan pada pagi dan sore hari, di saat binatang itu muncul.
Baca juga: Daniel Aluman, Kisah Sukses Petani Terintegrasi di Kota Kupang
Akan tetapi, penyemprotan tidak membuat hama mati atau hilang selamanya. Selama 3-4 hari muncul kembali. Entah apakah hama itu melarikan diri kemudian datang lagi atau yang muncul lagi itu anak-anaknya. Saat hinggap bergerombolan di tanaman, bentuk hama itu baru kelihatan.
Dampak dari hama tersebut ialah produksi cabai yang menurun drastis. Sebelumnya, satu bedeng dengan panjang 25 meter dan lebar 50 sentimeter bisa dipanen 15 kilogram dan panen sampai 20 kali, kini hanya 3 kilogram atau sekali panen.
Beberapa anggota penyuluh pertanian dari Pemkot Kupang datang menyaksikan hama itu, tetapi mereka juga tidak paham.
Aluman memiliki 2 hektar lahan cabai, jenis cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit. Dalam setahun, ia bisa tiga kali tanam, dengan masa tanam masing-masing tiga bulan. Akibat serangan hama itu, kerugian yang dialaminya setiap musim tanam sampai ratusan juta rupiah.
”Saya perkirakan Rp 250 juta ada per musim tanam,” katanya.
Ia mengaku, selama 42 tahun menjadi petani, baru tiga tahun terakhir mendapatkan jenis hama seperti itu. Beberapa anggota penyuluh pertanian dari Pemkot Kupangdatang menyaksikan hama itu, tetapi mereka juga tidak paham. Petugas mengusulkan penyemprotan dengan pestisida yang sudah biasa dipakai.
Hama jenis ini hanya menyerang tanaman cabai. Tanaman tomat dan lainnya masih aman. Khusus cabai, setiap pekan ia harus menyemprotkan pestisida 3-4 kali dengan pestisida. Proses penyemprotan pun harus perlahan, dengan sistem aliran air yang halus. Jika tidak, daun-daun cabai dan buah yang masih kecil akan berguguran.
Baca juga: Mimpi Mahasiswa Kupang Saat Magang di Lahan Petani Sukses
Harga pestisida Rp 80.000 per 100 cc untuk 56 liter air dan Rp 200.000 untuk 350 cc bisa untuk 400 liter air semprot. Selain itu, perhatian terhadap tanaman cabe pun ekstra waktu dan tenaga. Ia harus memperkerjakan warga sekitar untuk menyemprot cabai, setelah mereka dilatih secara khusus tata cara penyemprotan.
Biaya yang harus ditanggung petani itu tak sepadan dengan penghasilan mereka dari hasil panen yang rusak karena hama.
Cabai besar dan cabai keriting dijual ke pedagang masing-masing Rp 25.000 per kg. Pedagang menjual dengan harga Rp 50.000 per kg. Cabai rawit dijual Rp 55.000 per kg, sedangkan pedagang ke konsumen Rp 80.000 per kg.
”Petani hanya cukup kembali modal dan untung sedikit saja. Biar terjual, lalu petani rencanakan tanam jenis tanaman lain lagi,” kata Aluman.
Joni Tamael (38), petani hortikultura di Kelurahan Naioni, kelurahan tetangga Fatukoa, mengatakan, sejak dua tahun terakhir tidak lagi menanam cabai setelah setahun gagal panen. Serangan hama cabai sangat sulit diberantas.
Tanaman lain tidak diserang hama tersebut. Ia menilai jenis hama itu bukan kutu loncat, yang bisa merusak semua jenis tanaman.
”Kutu loncat kalau disemprot dengan pestisida dia bisa hilang selamanya, tetapi jenis hama ini tidak mau pergi atau mati. Sudah dilaporkan kepada petugas penyuluh pertanian yang datang. Saat itu ada tiga orang, satu perempuan dan dua laki-laki. Saya tidak tahu, entah dari Pemkot Kupang atau provinsi,” kata Tamael.
Baca juga: Budidaya Tanaman Hortikultura, Andalan Petani Kupang
Ayup Suni (44), petani lahan kering di Kelurahan Naioni, Kota Kupang, mengatakan, tanaman cabai miliknya pun diserang hama serupa. Namun, dirinya tidak mempersoalkan itu. Cabai rawit yang ditanam itu sekadar untuk makan setiap hari bagi anggota keluarga. Proses menanam cabai itu pun tidak serumit yang dilakukan petani pembudidaya hortikultura.
Ia mengaku hanya menaruh bibit cabai rawit di lahan kering begitu saja, saat musim hujan. Ia tidak melakukan pembibitan. Ayup Suni juga tidak fokus menanam cabai karena tidak disukai anak-anak dan anggota keluarga lain di dalam keluarga.
”Buang begitu saja, tanah yang memproses menumbuhkan sampai berbuah,” katanya.
Anggota staf Dinas Pertanian NTT, Sulistiowaty, mengatakan, belum ada laporan soal serangan hama cabai dari setiap kabupaten/kota di NTT termasuk Pemkot Kupang. Bisa saja petani atau pihak kelurahan belum melapor ke dinas pertanian setempat.
Selama ini, petugas penyuluh pertanian lapangan terus melakukan kunjungan dan pendampingan terhadap setiap kelompok tani.
”Kunjungan petugas penyuluh lapangan ke kelompok tani, bukan ke petani perorangan. Bisa saja perorangan jika petani itu dinilai sukses dan membangun kerja sama dengan dinas pertanian setempat. Namun, yang jelas, petugas terus melakukan pemantauan lapangan. Jika ada kasus serangan hama tanaman, segera ditindaklanjuti,” katanya.
Baca juga: Semangat Petani NTT Tenggelam di Batas Tetesan Air Hujan