Mutilasi Ciamis hingga Bunuh Diri Jakarta, Kecemasan yang Memicu Kematian
Masalah ekonomi memicu kecemasan dan tindakan nekat berbahaya. Buktinya beberapa kasus kematian yang terjadi.
Artikel ini mengandung konten kekerasan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan kekerasan Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.
Beberapa kasus kematian luar biasa dalam beberapa bulan terakhir dipicu kecemasan akibat masalah ekonomi. Kisah mirisnya tersebar, mulai dari mutilasi di pelosok Ciamis hingga bunuh diri di pinggiran Jakarta. Kini, saat ekonomi negeri ini masih diuji, letupan kecil bisa berdampak besar bagi mereka yang tidak kuat lagi menghadapinya.
Terlilit utang ratusan juta diduga membuat TBD (51) stres berat hingga berujung kasus pembunuhan disertai mutilasi pada istrinya, Y (42), Jumat (3/5/2024), di Dusun Sindang Jaya, Desa Cisontrol, Kecamatan Rancah, Ciamis, Jawa Barat. Terjadi sekitar 280 kilometer dari Jakarta, kejadian ini menggegerkan seisi negeri.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Ciamis Ajun Komisaris Joko Prihatin menyebut, TBD tengah dililit masalah keuangan. Usaha jual-beli kambingnya anjlok. Padahal, dia berutang hingga Rp 100 juta di bank.
”Empat hari sebelum membunuh istrinya, pelaku membenturkan kepalanya ke dinding sehingga mendapatkan sembilan jahitan. TBD kini masih menjalani pemeriksaan untuk mengungkap kondisi kejiwaan pelaku,” ujar Joko.
Beban hidup juga diduga membuat pasangan suami istri EA (50) dan AEL (52) nekat membawa kedua anaknya, JWA (13) dan JL (15), pada kematian. Semuanya disebut bunuh diri setelah terjun dari lantai 21, Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024).
Dari hasil pemeriksaan polisi, usaha kapal ikan milik EA bangkrut saat pandemi. Kondisi ini membuat perekonomian keluarga tidak stabil.
Bukan hanya TBD serta EA dan AEL yang melampiaskan kecemasannya pada orang terdekat. Simak ulah AA (29) yang nekat membunuh kekasih gelapnya, RM (50), di Bandung, Jabar, Rabu (24/4/2024).
Pemicunya adalah uang Rp 43 juta. Uang itu akan digunakan untuk biaya resepsi pernikahan pelaku.
Setelah membunuh, pelaku memasukkan jenazah korban ke dalam koper. Jenazah korban lantas dibuang begitu saja di Cikarang, Bekasi.
Pemicu awal
Kriminolog dari Universitas Islam Bandung, Profesor Nandang Sambas, berpendapat, masalah ekonomi bagi sebagian orang dampaknya terasa sangat berat dan sulit ditanggung.
Hal itu tidak jarang berujung memicu rasa frustrasi dan tindakan nekat yang memakan korban jiwa. Korbannya bisa diri sendiri atau orang lain di sekitarnya.
”Masalah kian pelik saat kemampuan komunikasinya dengan lingkungan di sekitarnya tidak ideal,” katanya.
Meski begitu, ekonomi bukan faktor tunggal. Ada peluang, bahkan ajakan dari orang lain, yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang, termasuk melakukan kejahatan.
Baca juga: Nasib Pelaku Mutilasi Istri di Ciamis, Antara Bebas dan Dipidana
”Kejahatan itu multifaktor dan ekonomi biasanya menjadi pemicu awal. Dia memang mendasari, tetapi ada faktor lain yang menjadi akumulasi. Salah satunya ingin cepat memperoleh material ekonomi atau menyerah menanggung beban berat,” ujarnya di Bandung, Kamis (9/5/2024).
Kejahatan akibat kondisi ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat, lanjut Nandang, adalah hal kompleks karena menimbulkan dampak sosial. Tidak hanya penegakan hukum yang konsisten, tetapi juga butuh perbaikan faktor ekonomi, sosial, hingga politik.
”Kenyataannya, semakin banyak orang dipenjara saat ini, tetapi kejahatan masih ada. Itu (penegakan hukum) sama saja memadamkan asap dari api yang terbakar. Awal dari kejahatan itu yang perlu dihentikan, dalam hal ini perbaikan ekonomi, sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi,” ujarnya.
Ke depan, di tengah kondisi ekonomi yang masih belum bergairah, lanjut Nandang, seluruh pihak sebaiknya waspada. Apalagi, kecemasan dan kejahatan cenderung sulit dikendalikan di tengah-tengah kondisi ekonomi yang rawan.
”PHK (pemutusan hubungan kerja) yang terjadi bisa saja menambah potensi kecemasan dan kejahatan. Orang yang biasanya mendapatkan gaji tiba-tiba mendadak kehilangan penghasilan,” ujarnya.
Salah satu masalah PHK ini belakangan terjadi di Jabar. Pabrik sepatu legendaris Bata tutup sehingga membuat ratusan pekerja kehilangan pekerjaan. Kadin Jabar menyebut masalah serupa rawan mengancam banyak pabrik lain.
Ketua Umum Kadin Jabar Cucu Sutara menyatakan, kondisi ini merupakan dampak dari berbagai permasalahan yang timbul di tingkat nasional hingga global. Dia menyebut, mulai dari pandemi Covid-19 hingga pecahnya perang di sejumlah kawasan.
”Penutupan pabrik sepatu Bata di Purwakarta menunjukkan kondisi ekonomi tidak baik-baik saja. Dampaknya bisa merembet ke berbagai hal,” ujarnya di sela Musyawarah Dewan Pengurus Daerah Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (DPD GPEI), Kota Bandung, Rabu (8/5/2024).
Baca juga: Manajemen Bata: Penutupan Pabrik Sudah Melalui Kajian Mendalam
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat GPEI Benny Soetrisno menyatakan, tingkat kecemasan hidup hingga kriminalitas suatu negara berkaitan dengan jumlah pengangguran. Relasi ini kerap membuat investor berpikir ulang jika ingin menanamkan modal.
Benny berujar, tingkat pengangguran di Indonesia masih belum dianggap aman bagi para investor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang per Februari 2024 atau setara 4,82 persen dari total 149,38 juta angkatan kerja.
”Kalau seseorang sudah punya penghasilan dari keringat sendiri, dia pasti tidak akan mengganggu orang lain. Jadi, saya melihat ada relasi antara tingkat pengangguran dan kriminalitas. Kalau saya investor, saya akan cari unemployment rates paling rendah. Indonesia itu masih belum aman. Jadi, memang harus menjadi perhatian bersama,” katanya.
Daya beli
Tidak hanya lapangan kerja yang kian sulit, daya beli masyarakat juga belum bergairah. Menurut dosen Ekonomi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Setia Mulyawan, daya beli masyarakat Indonesia saat ini masih belum tumbuh signifikan.
BPS mencatat, konsumsi masyarakat sepanjang Januari-Maret 2024 hanya tumbuh 4,91 persen. Angka ini masih di bawah laju pertumbuhan ekonomi pada level 5 persen atau dikatakan normal. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang melambat pascapandemi Covid-19 (Kompas, 8/5/2024).
”Dugaan saya, pemulihan ekonomi pascapandemi memang panjang, apalagi akhir-akhir ini terjadi berbagai hal yang berdampak ke ekonomi dan kenaikan harga. Perubahan iklim berdampak pada rantai pasok kebutuhan dalam negeri sehingga ada kebutuhan impor. Belum lagi kondisi secara global,” kata Setia.
Jadi, lemahnya daya beli ini bisa menjadi alarm yang perlu diwaspadai.
Kondisi ini, lanjutnya, bakal ditentukan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan. Jika kondisi ini berlarut-larut, penyakit sosial yang merupakan implikasi dari persoalan-persoalan ekonomi bisa terus merebak. Beragam hal menghebohkan dipicu kecemasan pelakunya bisa terus terjadi.
”Daya beli masyarakat itu meningkat seiring pendapatan mendorong permintaan. Jadi, saat pendapatan ini distimulasi, konsumsi masyarakat akan naik sehingga perputaran ekonomi akan meningkat. Jadi, lemahnya daya beli ini bisa menjadi alarm yang perlu diwaspadai,” ujarnya.
Permasalahan ekonomi yang berat rentan berdampak pada tingkat kecemasan yang memicu kriminalitas membuat nyawa-nyawa tak berdosa melayang. Tidak semua orang di negeri ini kuat menerima beratnya hidup di era yang tidak mudah ini.
Baca juga: Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Tunggak Utang Usaha Ratusan Juta