Peristiwa Intoleransi di Gresik Diselesaikan dengan Mediasi
Tindakan intoleransi di Perumahan Cerme Indah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, disebut telah diselesaikan melalui mediasi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Tindakan intoleransi dialami warga yang sedang beribadah di Perumahan Cerme Indah, Desa Betiting, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Gresik telah menggelar mediasi terkait kasus itu.
”Sudah diadakan mediasi sehingga situasi kembali kondusif,” kata Kepala Kepolisian Resor Gresik Ajun Komisaris Besar Adhitya Panji Anom, Jumat (10/5/2024).
Tindakan intoleransi itu dilakukan sepasang suami-istri dan seorang pemuda terhadap jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Benowo, Surabaya, yang sedang menggelar ibadah di salah satu kediaman jemaat di RT 03 RW 11 Perumahan Cerme Indah pada Rabu (8/5/2024) selepas pukul 19.00.
Dalam peristiwa itu, para pelaku meminta penghentian ibadah yang digelar untuk memperingati Kenaikan Yesus Kristus tersebut. Rekaman video peristiwa itu kemudian viral di media sosial.
Menurut Kepala Kepolisian Sektor Cerme Inspektur Satu Andik Asworo, forum komunikasi pimpinan kecamatan telah menggelar pertemuan terkait masalah itu di Balai Desa Betiting pada Kamis (9/5/2024) malam. Pertemuan tersebut turut menghadirkan perwakilan jemaat dan warga yang memprotes kegiatan ibadah itu.
”Persoalannya sudah diselesaikan secara damai, saling memaafkan, dan menghargai,” kata Andik.
Untuk menjaga agar situasi yang kondusif, petugas akan menggelar patroli di wilayah sekitar. Petugas juga menjamin kegiatan ibadah umat beragama dapat dilaksanakan dengan baik.
Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan Aan Anshori menyesalkan peristiwa intoleransi itu. Dia juga menilai penyelesaian dengan mediasi belum cukup untuk mencegah peristiwa intoleransi terjadi lagi pada masa mendatang.
”Penyelesaian dengan mediasi itu lebih seperti pemadam kebakaran yang saya rasa belum sampai tahap pencegahan,” ujar Aan yang juga menjadi Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi.
Oleh karena itu, Aan mendorong tindakan yang lebih mendasar untuk mencegah intoleransi. Tindakan itu antara lain bisa dilakukan melalui tiga upaya, yakni instilling value, transfering knowledge, dan encountering others.
Menurut Aan, instilling value (penanaman nilai) adalah upaya penanaman nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman kepada umat beragama.
Transfering knowledge, kata Aan, adalah upaya berbagi pengetahuan agar umat beragama memiliki pengetahuan terkait pemeluk agama lainnya. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman yang bisa berujung pada intoleransi.
Adapun encountering others adalah pembauran antar-umat beragama dalam berbagai kegiatan. Aan berharap kegiatan bernuansa agama bisa dihadiri umat lintas agama sehingga meningkatkan pemahaman dan penghormatan. Hal itu bisa didorong oleh aparatur pemerintah dari tingkat bawah hingga atas.
”Misalnya, ibadah jemaat GPIB di Cerme Indah itu jika dijamin dengan keberadaan pengurus RT, RW, desa atau kelurahan, serta Babinsa dan Bhabinkamtibmas, akan mencegah potensi persekusi dan meningkatkan pemahaman aparatur terhadap kegiatan umat agama lain,” kata Aan.
Aan mengingatkan, jika aparatur negara membolehkan suatu kegiatan yang memperlihatkan ekspresi suatu agama, hal itu juga harus berlaku bagi umat agama lain.
Penyelesaian dengan mediasi itu lebih seperti pemadam kebakaran.
Oleh karena itu, jika kegiatan agama di rumah warga yang beragama Islam tidak dilarang, kegiatan warga yang beragama lain di rumah pun seharusnya tidak dilarang atau dipersoalkan.
”Menurut saya, inilah esensi kesetaraan. Setiap warga dari semua agama dan keyakinan bebas mengekspresikan keyakinannya sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum,” kata Aan yang merupakan dosen pengajar keberagaman di Universitas Ciputra, Surabaya.