Hadapi Tantangan dengan Kekompakan dan Mental Baja
Kompak dan mental tangguh. Dua faktor itu menjadi kunci bagi tim Indonesia dalam persaingan Piala Thomas dan Uber 2024.
Kejuaraan bulu tangkis beregu Piala Thomas dan Uber memberikan tekanan berbeda dibandingkan kejuaraan individu. Pemain dan seluruh anggota tim dituntut kekompakan dan mentalitas yang kuat dalam menghadapi persaingan ajang tersebut.
Tunggal putri legendaris Indonesia, Susy Susanti, masih ingat jelas bagaimana tangis bahagia pecah pada 20 Mei 1994 malam di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pemain, pelatih, dan ofisial berlinang air mata setelah drama final melawan China selama 4 jam 29 menit berakhir dengan kemenangan Indonesia. Mia Audina menjadi penentu kemenangan dengan skor 3-2.
Mia menjadi pemain paling muda di antara pebulu tangkis putri Indonesia lainnya yang tampil di final. Umurnya baru menginjak 14 tahun. Adapun Susy yang berusia 23 tahun dan merupakan kapten tim menjadi salah satu pemain senior bersama pemain ganda putri, Lili Tampi, yang berusia 24 tahun saat itu.
Kendati termuda, tak ada yang meragukan Mia. Susy mengatakan, anggota tim percaya pada pemilihan pemain dan semua yakin pada kemampuan rekannya. Menurut Susy, kekompakan tim seperti itulah yang penting saat mengikuti kejuaraan beregu.
Baca juga: Menuju Puncak di Paris dari Chengdu
Mia lantas membayar lunas kepercayaan yang diberikan pelatih dan teman-temannya tersebut dengan mengalahkan Zhang Ning, 11-7, 10-12, 11-4. Kemenangan itu membawa Piala Uber kembali ke Indonesia dalam rentang 19 tahun setelah untuk pertama kalinya juara pada 1975. Saat diperkuat Tati Sumirah, Minarni, Imelda Wigoeno, dan pemain lainnya. Saat itu, Indonesia mengalahkan Jepang 5-2 dalam laga final yang juga berlangsung di Istora.
”Kami tidak diperhitungkan waktu itu karena secara kekuatan, kami jomplang dengan China dan Korea Selatan yang diunggulkan. Pemain ranking 10 besar dunia hanya dua orang, sisanya di luar itu. Namun, begitulah bermain sebagai tim. Kekuatan dan kekompakan tim bisa mengubah segala prediksi dan hitung-hitungan di atas kertas,” tutur Susy pada Selasa (23/4/2024).
Baca juga: Tim Indonesia Menuju Piala Thomas dan Uber Dengan Target Juara
Susy menuturkan, dukungan penuh kepada rekan setim juga diberikan saat di antara mereka ada yang menelan kekalahan. Itu yang dilakukan Susy saat tunggal kedua, Yuliani Sentosa, serta ganda kedua, Eliza Nathanael/Zelin Rosiana, kalah. Hasil itu membuat keunggulan Indonesia 2-0 atas China berubah menjadi imbang 2-2. Penentuan gelar juara akhirnya dipastikan pada laga kelima.
Susy ingat bagaimana Yuliani, Eliza, dan Zelin begitu kecewa dan sedih karena tidak bisa menyumbang poin. Susy lantas berkaca pada pengalamannya sendiri di Piala Uber 1990 ketika gagal memberikan kemenangan. Indonesia kalah 0-5 dari China di semifinal dan Susy menjadi salah satu wakil yang tampil.
Pemain yang juga menjuarai Piala Uber 1996 ini mengatakan, rekan setimnya tidak menyalahkan, melainkan menenangkan dan memotivasi untuk berlatih lebih keras lagi.
”Saya bilang ke Yuliani, ‘Tidak apa-apa, Bing (Yubing, panggilan akrab Yuliani). Ayo kita saling dukung lagi karena masih ada yang main selanjutnya’. Jadi, kami duduk bersama, memberikan dukungan, terutama ketika Mia bermain. Kami meyakinkan Mia bahwa dia main bagus. Itu yang membuat kami solid dan kuat. Kami saling mendukung dan akhirnya bisa melewati kesulitan bersama-sama,” ucap Susy.
Baca juga: Membagi Fokus Piala Thomas-Uber Dan Olimpiade
Di samping itu, menurut Susy, kekuatan mental juga berperan penting dalam kejuaraan beregu. Kendati sama-sama butuh mental kuat, tekanan di kejuaraan beregu terasa lebih besar dibandingkan ajang perseorangan. Ini karena hasil setiap wakil menentukan nasib tim, bukan hanya diri sendiri.
Untuk Susy, yang datang ke Piala Uber 1994 sebagai juara tunggal putri All England tiga kali, juara dunia 1993, dan peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, beban pun terasa lebih berat. Apalagi, Susy berperan sebagai pemain jangkar karena menjadi tunggal pertama. Kemenangan Susy penting untuk membuka jalan teman setim sekaligus memotivasi mereka yang mayoritas merupakan yuniornya.
Sebagai pembuka jalan, langkah Susy tak mudah saat melawan Ye Zhaoying di final. Menang pada set pertama dengan 11-4, Susy di atas angin saat set kedua. Namun, setelah memimpin 9-5, Ye menyamakan kedudukan 9-9. Di satu sisi, Susy memiliki trauma karena dikalahkan Ye di Indonesia Terbuka 1993 dan Ye mulai menemukan bentuk permainan.
”Tekanan mental lebih berat sebagai kapten dan salah satu yang diandalkan. Nah, bagaimana mengatasi itu? Tentunya dengan disiplin diri. Saya kembalikan fokus pada saat pertandingan dan tidak terpengaruh dengan situasi apa pun. Saya ingin meringankan beban tim, membuka jalan untuk memberikan satu poin,” tutur Susy yang akhirnya menang 11-4, 12-10.
Pentingnya soliditas tim dan kekuatan mental pemain juga disampaikan Alan Budikusuma, mantan pebulu tangkis putra yang masuk tim Indonesia untuk Piala Thomas sebanyak lima kali pada era 1990-an. Dua faktor itu sangat dirasakan Alan ketika meraih gelar juara Piala Thomas 1996.
Sebagai pemain terakhir yang tampil pada final melawan Denmark, Alan menambah keunggulan Indonesia menjadi 5-0. Saat itu, final tetap harus dimainkan dalam lima partai meski salah satu tim telah memenangi tiga laga.
Kekompakan tim dan mental yang kuat membantunya mengatasi ”trauma” pada Piala Thomas 1992 ketika Alan kalah dari Foo Kok Keong (Malaysia). Dalam final Indonesia melawan Malaysia, Alan tampil pada partai ketiga setelah hasil kedua tim 1-1 dari dua laga sebelumnya. Malaysia unggul lebih dulu melalui kemenangan Rashid Sidek, lalu Indonesia menyamakan skor melalui Gunawan/Eddy Hartono. Alan kalah dengan skor 6-15, 12-15.
Malaysia memastikan kemenangan ketika Cheah Soon Kit/So Beng Kiang mengalahkan Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky pada partai keempat. Kemenangan Malaysia itu tak terpengaruh lagi oleh partai terakhir yang dimainkan meski pemain mereka, Kwang Yoke Meng, kalah dari Joko Suprianto.
”Trauma pasti dirasakan setiap pemain karena kekalahan bukan hal yang diinginkan dan terkadang sangat menyakitkan. Namun, dukungan rekan setim sangat berarti. Saat itu, kami berkumpul dan bersatu, memberikan kepercayaan penuh. Dalam tim, kita harus melepaskan ego pribadi karena kekompakan tim adalah kuncinya,” ucap Alan, suami dari Susy.
Keyakinan diri
Hariyanto Arbi, yang menjadi bagian dari tim Indonesia ketika menjuarai Piala Thomas pada 1994, 1996, 1998, dan 2000, mengatakan, keyakinan dari diri sendiri juga sangat penting untuk membangun mental juara. Pebulu tangkis yang berjulukan ”Smes 100 Watt” itu merasakannya, terutama saat Indonesia menjuarai Piala Thomas 1994.
Hariyanto kalah pada babak penyisihan dan semifinal sehingga tidak sedikit pihak yang meragukannya tampil di final. Namun, pelatih tetap menggunakan strategi yang disusun sejak awal, yaitu memainkannya sebagai tunggal pertama jika berhadapan dengan Rashid Sidek. Keputusan itu diambil setelah Hariyanto bersama pelatih dan psikolog duduk bersama untuk mengevaluasi dua kekalahan sebelumnya.
”Saat ditanya pelatih dan psikolog, saya bilang siap dan yakin bisa menang di final. Selain karena secara statistik saya lebih banyak menang atas Rashid, saya juga sudah tahu apa kesalahan yang membuat saya kalah. Saya siap memperbaikinya. Jadi, sangat penting punya keyakinan kuat dari dalam diri sendiri agar tidak terganggu dengan suara-suara yang meragukan kita,” tuturnya.
Apa yang dikatakan Hariyanto itu serupa dengan prinsip yang dipunyai legenda bulu tangkis lainnya, Christian Hadinata. Christian selalu menyebut bahwa setiap pemain tetap harus punya ego meski bertanding dalam ajang beregu.
”Ego ini artinya setiap pemain harus punya tekad kuat bahwa mereka harus menjadi bagian dari wakil yang menang, apa pun hasil keseluruhan tim nantinya. Saat bermain di Piala Thomas, saya selalu menerapkan prinsip itu. Indonesia menang atau kalah, saya harus menjadi bagian yang menyumbangkan kemenangan,” ujar Christian, yang menjuarai Piala Thomas pada 1973, 1976, 1979, dan 1984.
Dari pengalaman para nama besar bulu tangkis Indonesia di level dunia itulah tergambar bahwa solidnya kerja sama setiap anggota tim, kekompakan, dan mental baja menghadapi tekanan menjadi faktor fundamental untuk bersaing dalam kejuaraan beregu. Faktor-faktor itu bisa berpengaruh besar bagi Indonesia dalam memanfaatkan peluang untuk juara di Piala Thomas dan Uber 2024.