Di Balik Rekor 49 Laga Tak Terkalahkan Leverkusen
Di balik rekor tidak terkalahkan Leverkusen, terdapat kisah kepingan terakhir dalam tim dan ”plot twist” Xabi Alonso.
LEVERKUSEN, JUMAT — Kekalahan benar-benar tidak ada dalam kamus Bayer Leverkusen. Tim asuhan Xabi Alonso itu memecahkan rekor tidak terkalahkan dalam sejarah klub Eropa setelah kembali menciptakan ”malam ajaib” versus AS Roma. Hasil tersebut sekaligus mengantar mereka ke final Liga Europa.
Tuan rumah Leverkusen sempat tertinggal 0-2 akibat sepasang gol penalti gelandang Roma Leandro Paredes dalam laga kedua semifinal di Stadion BayArena, Jumat (10/5/2024) dini hari WIB. Skor tidak berubah sampai sekitar delapan menit menjelang waktu normal berakhir. Agregat saat itu masih seimbang 2-2.
Saya pikir hasil ini menunjukkan betapa hebatnya tim ini, fakta bahwa kami mampu bangkit setelah tertinggal.
Tiba-tiba, Leverkusen unggul agregat lagi lewat gol bunuh diri absurd bek lawan Gianluca Mancini dari skema bola mati. Mereka hanya perlu mempertahankan skor untuk lolos. Saat satu kaki sudah berada di final, mereka menyempurnakan hasil dengan gol pemain pengganti Josip Stanisic pada pengujung injury time.
Baca juga: Dari ”Neverkusen” ke ”Meisterkusen”, Bayer Leverkusen Juara Liga Jerman
Leverkusen pun menahan Roma 2-2 dan unggul agregat 4-2. Dengan hasil itu, Florian Wirtz dan rekan-rekan sudah menjalani 49 laga tanpa kekalahan di seluruh kompetisi musim ini. Jumlah tersebut memecahkan rekor milik tim asal Portugal, Benfica, yang sudah bertahan selama 59 tahun.
”Saya pikir hasil ini menunjukkan betapa hebatnya tim ini, fakta bahwa kami mampu bangkit setelah tertinggal. Kami tidak terlalu peduli jika kalah (satu gol) asalkan tetap lolos. Kami begitu ingin masuk final. Tetapi, jelas cara seperti ini (tidak kalah) lebih menyenangkan,” kata Stanisic yang masuk pada menit ke-90.
Kisah heroik Leverkusen terkesan berbau keberuntungan. Namun, sebenarnya, mereka pantas mendapatkan hasil itu. Bahkan, mereka semestinya bisa menang besar dengan dominasi atas Roma hampir sepanjang laga. Tim asuhan Alonso justru kurang beruntung karena kiper Roma Mile Svilar tampil spektakuler.
Baca juga: Komitmen Xabi Alonso dan Jaminan Trofi Bayer Leverkusen
Leverkusen menghasilkan 32 tembakan, hampir tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan tim tamu (11). Sebanyak 12 tembakan diselamatkan oleh Svilar. Kualitas peluang mereka bernilai 3,33 xG (expected goals). Adapun Roma unggul dua gol lebih dulu berkat penalti yang seperti jatuh dari langit.
Mentalitas skuad Leverkusen kembali menjadi sorotan. Mereka selalu identik dengan gol-gol pada menit akhir sepanjang musim ini. Menurut Statman Dave, Leverkusen sudah mencetak 17 gol pada menit ke-90 atau lebih. Tidak ada tim lain di lima liga terbaik Eropa yang melampaui catatan tersebut.
Gol-gol pada pengujung laga tersebut juga selalu tercipta dalam lima laga terakhir Leverkusen yang berakhir imbang. Pada tiga pertandingan di antara itu, versus Roma, VFB Stuttgart, dan Dortmund, mereka mampu menghindar dari kekalahan seusai injury time berlangsung lima menit lebih.
Tren kebangkitan itu yang membuat Paredes belum bisa tenang dengan hanya unggul dua gol. ”Laga ada di tangan kami, lalu tiba-tiba terjadi gol bunuh diri. Kami terpaksa bermain terbuka, yang tidak boleh dilakukan melawan mereka. Maaf, kami ingin memberikan hadiah ke final untuk para pendukung, tetapi justru pulang dengan tangan kosong,” ucapnya.
Penampilan sempurna Xhaka
Penampil terbaik dari laga kedua semifinal adalah gelandang Granit Xhaka. Dia memainkan peran sentral di dua sisi lapangan, saat bertahan dan serangan. Dia juga selalu ada, termasuk berada di barisan depan saat rekan-rekannya terlibat perseteruan dengan tim lawan. Xhaka bagai pemimpin tanpa ban kapten.
Baca juga: Satu Laga Lagi Kutukan ”Neverkusen” Berakhir
Pemain 31 tahun itu bersinar di separuh lapangan Roma. Menurut Opta, Xhaka menciptakan 10 peluang dari permainan terbuka untuk rekan-rekannya. Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak dalam laga Liga Europa sejak Februari 2010.
Salah satu dari umpannya berujung asis untuk gol penyeimbang Stanisic. Xhaka memperlihatkan, satu pemain yang tepat bisa mengubah tim sedemikian rupa, tidak mesti mahal. Dia didatangkan Leverkusen dari Arsenal pada musim panas lalu dengan harga hanya 15 juta euro. Siapa sangka, pemain tim nasional Swiss itu ternyata menjadi keping terakhir dalam sistem permainan Alonso.
Xhaka merupakan pemain dengan menit terbanyak (3.877) di Leverkusen musim ini. Dia bermain dalam 46 dari total 49 laga. Sang gelandang selalu menjadi tulang punggung tim di tiga kompetisi, Liga Jerman, Piala Jerman, dan Liga Europa. Adapun Leverkusen berpotensi besar meraih treble winners pada akhir musim.
Baca juga: Bayern Dilibas Dortmund, Thomas Tuchel: Selamat Leverkusen
Di sisi lain, kehadiran Xhaka sekaligus menjadi ironi untuk Roma. Sang pemain hampir bergabung ke tim asal ibu kota Italia tersebut pada musim panas 2021. Pelatih Roma ketika itu, Jose Mourinho, berupaya merekrutnya. Xhaka juga ingin pindah, tetapi memilih bertahan di Arsenal setelah diskusi dengan Manajer Mikel Arteta.
Xhaka mengatakan, perjuangan belum selesai. Leverkusen sudah dinanti tim Italia lain, Atalanta, dalam partai puncak yang akan berlangsung di Stadion Dublin Arena, Irlandia, pada 23 Mei. ”Pastinya kami akan datang ke final untuk menang. Atalanta merupakan tim yang sangat baik dalam taktik, tetapi kami siap memberi segalanya,” tuturnya.
”Plot twist” Alonso
Laga final nanti sekaligus menandai perubahan kisah Leverkusen. Seperti diketahui, Alonso pernah diisukan akan kembali ke Liverpool, bekas timnya saat masih bermain, untuk menjadi suksesor Manajer Juergen Klopp. Ketika itu, Liverpool dan Leverkusen masih berpotensi saling bertemu di partai puncak.
Skema final ideal tersebut mulai dibicarakan banyak orang. Laga itu bisa menjadi panggung seremonial untuk penyerahan tongkat estafet dari Klopp ke Alonso. Sementara itu, Alonso juga bisa mempersembahkan akhir perpisahan manis untuk Leverkusen walaupun harus pergi pada musim depan.
Baca juga: Xabi Alonso, Faktor ”X” Bayer Leverkusen untuk Akhiri Dominasi Bayern Muenchen
Asa nostalgia Alonso dengan Liverpool pupus di tengah jalan. Pelatih 42 tahun itu memutuskan bertahan di Leverkusen pada musim depan. Lalu, Liverpool juga takluk dari Atalanta di perempat final. Atalanta yang tidak diunggulkan saat menantang Liverpool justru mampu melaju hingga partai puncak.
Namun, Alonso menciptakan skema yang lebih ideal untuk diri sendiri dan tim. Setelah memastikan bertahan, dia mengantar Leverkusen juara Liga Jerman untuk pertama kali dan memecahkan rekor tidak terkalahkan. Misinya saat ini adalah meraih tiga gelar sekaligus, tanpa satu kekalahan pun.
”Kami sangat senang bisa masuk final. Kami akan bermain di dua final sekaligus (pada pengujung musim). Saya bisa melihat dari mata para pemain, mereka menginginkan sesuatu yang lebih. Kami masih berpotensi meraih tiga gelar juara. Anak-anak pantas memenangi semua gelar itu,” ujar Alonso. (AP/REUTERS)