Akhir Kebijakan Stabilisasi Harga?
Sepanjang 2023, kredibilitas kebijakan stabilisasi harga pangan seakan berada di titik nadir.
Fenomena makin liarnya harga beras sebagai pangan pokok menyisakan pertanyaan serius tentang efektivitas desain dan kredibilitas kebijakan stabilisasi harga yang diadopsi Indonesia selama lebih dari setengah abad.
Sepanjang 2023, kredibilitas kebijakan stabilisasi harga pangan seakan berada di titik nadir. Terlalu tragis jika generasi sekarang jadi saksi sejarah babak akhir kebijakan stabilisasi yang pernah menjadi andalan ekonomi pangan.
Kebijakan stabilisasi harga dibangun menggunakan basis fakta empiris dan urgensi intervensi negara untuk mengendalikan ketersediaan dan harga pangan pokok. Indonesia telah mengadopsi kebijakan stabilisasi harga sejak tahun 1960-an ketika negara memerlukan suatu lembaga logistik, yang kemudian diberi nama Badan Urusan Logistik (Bulog).
Pada awal 1970-an, Indonesia menggunakan konsep kebijakan ”sabuk harga” (price-band policy), yang bertujuan untuk mengendalikan fluktuasi harga pangan sesuai batas atas dan batas bawah dari ”sabuk harga”.
Sejak 1980-an, pemerintah secara konsisten menerapkan kebijakan harga dasar gabah untuk melindungi petani produsen dari kejatuhan harga pada musim panen.
Harga dasar (floor price) gabah ditetapkan di atas harga keseimbangan pasar sehingga petani tidak harus menjual gabah rendah kepada tengkulak.
Terlalu tragis jika generasi sekarang jadi saksi sejarah babak akhir kebijakan stabilisasi yang pernah menjadi andalan ekonomi pangan.
Pemerintah membeli kelebihan suplai gabah itu sebagai cadangan beras pemerintah (CBP), lalu menyimpannya di gudang-gudang Bulog yang tersebar di seluruh Indonesia. CBP ini digunakan untuk melakukan operasi pasar guna menurunkan harga, terutama pada musim paceklik di luar musim panen.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menetapkan harga atap beras untuk melindungi konsumen beras dari eskalasi harga yang tidak terkendali, terutama pada musim paceklik.
Harga atap (ceiling price) ditetapkan di bawah harga keseimbangan pasar. Harga atap menjadi basis utama pengambilan kebijakan operasi pasar dan intervensi pemerintah, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Tahun Baru.
Kebijakan harga dasar dan harga atap ditetapkan melalui instruksi presiden (inpres), sekaligus menjadi arahan presiden kepada pembantunya dan pemimpin daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Kebijakan ”sabuk harga” tersebut juga memberikan kepastian ekspektasi keuntungan yang diterima penggilingan padi dan perdagangan beras.
Disparitas harga gabah dan harga beras serta margin keuntungan pada industri beras seakan telah ”ditakar” pemerintah sehingga spekulasi pasar beras tidak terlalu marak. Ekonomi beras bergerak ke arah yang sangat positif, petani merasa terlindungi, insentif peningkatan produksi dan produktivitas terbangun secara sistematis.
Pada 1984, Indonesia mencapai swasembada beras, memperoleh penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan menjadi role model dalam proses transformasi dari negara importir beras menjadi mandiri dan berdikari.
Bergesernya dimensi stabilisasi harga
Pertama, keberhasilan stabilisasi harga pada masa lalu tidak dapat dilepaskan dari sofistikasi lembaga parastatal Bulog.
Bulog cukup berpengalaman dalam menerapkan (enforce) kebijakan ”sabuk harga” itu di hulu dan di hilir. Bulog membeli gabah petani, bermitra dengan pedagang dan penggilingan skala kecil dan menengah, mengelola stok beras, termasuk mengambil keputusan impor beras dan melakukan operasi pasar.
Sejak 2003, Bulog berubah menjadi badan usaha milik negara (BUMN), menjadi operator kebijakan dan bukan pengambil kebijakan strategis.
Beberapa kewenangan strategis Bulog yang pernah melekat dengan kebijakan stabilisasi ikut hilang, bersamaan dengan erosi kelembagaan yang terjadi. Selain persoalan governansi dalam Bulog, persepsi masyarakat tentang dimensi politik dan politisasi kebijakan stabilisasi membuat persoalan menjadi lebih kompleks.
Selain persoalan governansi dalam Bulog, persepsi masyarakat tentang dimensi politik dan politisasi kebijakan stabilisasi membuat persoalan menjadi lebih kompleks.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) pernah diharapkan menjadi alternatif lembaga parastatal dan menjadi pengampu kebijakan stabilisasi harga.
Pada Maret 2023, Bapanas mengeluarkan dua kebijakan penting melalui Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras dan Perbadan No 7/2023 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras.
HPP gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp 5.000/kilogram (kg) dan harga gabah kering giling (GKG) ditetapkan Rp 6.200/kg, sedangkan HET beras medium ditetapkan pada rentang Rp 10.900-Rp 11.500/kg dan HET beras premium Rp 13.900-Rp 14.400/kg, tergantung wilayahnya.
Akan tetapi, Bapanas tidak memiliki luxury dan kapasitas untuk menjaga stabilisasi harga gabah dan beras. Selama satu tahun terakhir, harga GKP telah naik Rp 1.320/kg (24,48 persen) dan harga GKG naik Rp 1.800/kg (31,24 persen) atau masing-masing sekitar 31 persen dan 23 persen di atas HPP.
Harga rata-rata beras naik Rp 2.200/kg (11,83 persen) atau 25,8 persen di atas HET. Artinya, kebijakan stabilisasi harga yang baru tak mampu melindungi petani padi dan tak juga melindungi konsumen beras, dengan magnitudo berbeda.
Kedua, kebijakan stabilisasi harga pernah terbukti efektif karena didukung penuh oleh strategi atau visi pemihakan dan perlindungan petani serta peningkatan produksi dan produktivitas melalui aplikasi teknologi dan inovasi pertanian.
Buruh tani memanen padi di Desa Karanglayung, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (13/10/2023).
Politik pertanian menjadi andalan terdepan dalam pembangunan ekonomi bangsa, bahkan penguatan fondasi pertanian menjadi prasyarat bagi pembangunan daya saing bangsa. Pada waktu pertumbuhan ekonomi makro mencapai 7 persen, sektor pertanian tumbuh setidaknya 5 persen dan menjadi basis pembangunan ekonomi dan penguatan sektor industri jasa menuju negara maju dan modern.
Kini, instrumen kebijakan stabilisasi harga seakan terpisah dari kebijakan produksi. Strategi perluasan areal tanam baru (PATB) tidak terkoneksi dengan strategi pengamanan harga beli gabah petani.
Strategi perlindungan petani padi dan konsumen beras melalui HPP dan HET seakan tidak terlalu peduli dengan kelangsungan hidup penggilingan padi, salah satu simpul penting dalam rantai nilai beras.
Eskalasi harga gabah dan harga beras selama dekade terakhir membuat sekitar 60.000 penggilingan padi atau sepertiga dari total 180.000 penggilingan padi terancam bangkrut dan tutup karena tak memperoleh bahan baku gabah.
Jangankan berpikir efisiensi dan peningkatan rendemen beras, penggilingan padi skala kecil (dan menengah) masih harus berjuang bertahan hidup (survival) dan beroperasi reguler.
Ketiga, kebijakan stabilisasi harga dilihat sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam pembangunan pertanian dan ekonomi pangan. Instrumen kebijakan lain dilaksanakan serentak dan terintegrasi, bahkan dalam suatu rentang kendali yang dipantau secara berkala oleh kepala negara dalam rapat kabinet. Misalnya, kebijakan subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi bunga kredit, bahkan subsidi harga atau operasi pasar murni (OPM) yang kemudian berubah menjadi kebijakan beras untuk keluarga miskin (raskin) atau beras untuk keluarga prasejahtera (rastra).
Strategi perlindungan petani padi dan konsumen beras melalui HPP dan HET seakan tidak terlalu peduli dengan kelangsungan hidup penggilingan padi, salah satu simpul penting dalam rantai nilai beras.
Walaupun di masa lalu pangsa beras yang dikelola Bulog hanya 7-8 persen dari total volume beras, kemampuan untuk mengendalikan lonjakan permintaan beras dari kelompok prasejahtera ini telah berkontribusi pada stabilisasi harga beras.
Demikian pula, walaupun pangsa biaya pupuk hanya 10-12 persen dari total biaya produksi padi, ketersediaan pupuk subsidi tepat waktu pada saat persiapan lahan dan pada masa pembentukan malai gabah telah mampu berkontribusi pada stabilisasi proses produksi padi di hulu usaha tani.
Kini, beberapa kebijakan subsidi pangan dan pertanian tersebut telah diganti menjadi bantuan langsung. Misalnya, kebijakan raskin sejak 2017 berubah menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).
BNPT memberikan keleluasaan bagi keluarga penerima manfaat (KPM) untuk membeli beras dengan kualitas yang lebih baik, terutama di warung, kedai, atau toko ritel modern yang ditunjuk.
Tentu saja, mereka membeli beras dengan harga yang berlaku di pasar, yang mungkin saja lebih tinggi daripada HET yang ditetapkan pemerintah.
Di samping itu, pemerintah saat ini sedang menyiapkan desain perubahan kebijakan pupuk bersubsidi menjadi bantuan langsung pupuk kepada petani (BPNT), dengan proyek percontohan di Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan Provinsi Kalimantan Selatan.
Pergeseran desain kebijakan subsidi dan bantuan pemerintah untuk gabah di hulu dan beras di hilir tentu saja memengaruhi kinerja kebijakan stabilisasi harga saat ini.
Perubahan kebijakan
Kebijakan stabilisasi harga dengan desain lama terbukti tidak efektif menstabilkan harga gabah dan harga beras karena dimensi prasyarat atau instrumen pendukung efektivitas kebijakan tersebut telah berubah.
Tiga contoh dimensi penting telah dibahas, yaitu lembaga parastatal, strategi pemihakan petani, dan transisi subsidi menjadi bantuan langsung.
Berikut perubahan kebijakan menuju masa depan ekonomi pangan yang mencerahkan.
Pertama, dalam jangka pendek, Perum Bulog sebagai salah satu operator kebijakan stabilisasi perlu terus fokus pada penguatan strategi bisnis, perbaikan efisiensi dan penguatan daya saing, bahkan persiapan khusus menjadi state-trading enterprise yang mampu berkiprah di ekonomi pangan global.
Bapanas perlu lebih intensif berdialog dengan Kementan, khususnya dalam sinergi peningkatan ketersediaan pangan pokok, termasuk peningkatan produktivitas padi di hulu, bukan sekadar urusan impor beras.
Kedua, Bulog perlu berupaya lebih dekat lagi dengan petani padi atau secara sinergis berkolaborasi bisnis dengan swasta besar dalam pendampingan dan pemberdayaan petani.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga perlu lebih spartan dan intensif, out of the box, dalam pemberdayaan petani ini, sekaligus memanfaatkan momentum kenaikan harga gabah, agar petani mampu menghasilkan gabah berkualitas premium yang berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan dan kesejahteraan.
Implementasi kebijakan stabilisasi harga seharusnya mampu memberi sinyal positif dalam peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas padi di lapangan.
Ini dimulai dari tingkat hulu, penggunaan varietas padi unggul, teknik pemupukan, pengairan, penanggulangan hama penyakit terpadu (PHT), panen dan penanganan pascapanen, hingga distribusi pemasaran. Implementasi kebijakan stabilisasi harga seharusnya mampu memberi sinyal positif dalam peningkatan produksi, produktivitas, dan kualitas padi di lapangan.
Ketiga, dalam jangka menengah panjang, perubahan kebijakan subsidi pupuk dan subsidi beras perlu terus dilakukan.
Penajaman sasaran kriteria penerima bantuan langsung perlu dimutakhirkan secara berkala, memanfaatkan ketersediaan data detail lengkap hasil Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dikelola Bappenas. Data hasil Regsosek ini cukup kompatibel untuk diintegrasikan atau dipadankan dengan seri data lain yang berbasis registrasi penduduk atau nomor induk kependudukan (NIK).
Governansi kebijakan bantuan langsung akan berkontribusi pada kepastian ketersediaan pangan pokok dan kinerja stabilisasi harga secara umum.
Baca juga: Kelas Bawah Tanggung Kenaikan Harga Beras Terbesar
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Senior Indef; Ketua Umum Perhepi