Seperti Yudas, Pilatus, Petrus, kita bersedia mengkhianati, cuci tangan, atau menyangkal kebenaran.
Oleh
SONNY ELI ZALUCHU
·4 menit baca
Umat Nasrani sebentar lagi merayakan Jumat Agung dan Paskah. Ini kesempatan merenung untuk melihat sejauh mana spiritualitas merayakan kematian Yesus di kayu salib 2000 tahun silam. Injil Sinoptik mencatat bahwa terdapat tiga tokoh, yaitu Yudas, Pilatus, dan Petrus yang berperan sebagai tokoh penting dalam setting narasi perjalanan Yesus menuju Golgota.
Ketiga tokoh itu telah lama mati, tetapi tidak lantas peran mereka hilang dalam ingatan sejarah. Mengapa? Karakter yang pernah mereka tampilkan tidak pernah mati, dan hidup melalui karakter manusia dalam linieritas sejarah. Di titik ini kita berkesimpulan bahwa perilaku dan tindakan pengkhianatan, cuci tangan, serta penyangkalan, tetap hidup melalui orang-orang yang mengulang perilaku serupa.
Dimulai dari Yudas yang bersekongkol dengan para ahli Taurat dan tokoh agama Yahudi di Yerusalem. Para tokoh agama ini tidak suka dan selalu mencari cara untuk bertindak terhadap Yesus. Alasannya mudah ditebak. Para elite agama di Yerusalem sangat tidak menyukai Yesus karena dianggap menyampaikan pengajaran yang bertentangan dengan hukum Musa.
Alih-alih membuka diri dengan pemahaman baru, mereka sibuk mencari celah kesalahan Yesus. Terlebih, hegemoni mereka sebagai tokoh sentral agama Yahudi terancam di ruang publik. Orang banyak memilih mengikuti Yesus karena pengajaran-Nya mencerahkan, tidak "nakutin" dan disertai tanda-tanda ajaib.
Takut melawan massa yang pro Yesus membuat para tokoh agama ini berpikir keras mencari pengkhianat. Di mana-mana kita mengerti bahwa pengkhianat harus "dari dan orang dalam". Gayung bersambut. Salah seorang murid Yesus, Yudas Iskariot, bersedia menjual gurunya. Bayarannya lumayan, 30 keping perak. Aroma korup di dalam diri Yudas memang sudah kelihatan sejak ia suka menilap uang para murid dalam posisinya sebagai bendahara.
Tokoh berikutnya adalah Pilatus, salah satu pusat kekuasaan domestik di Yerusalem. Pilatus adalah representasi kekuasaan Romawi yang menjajah Palestina dan mampu menggerakkan pasukan. Keputusannya adalah hukum, dan pengaruhnya besar.
Ketika Yesus dibawa dengan tuduhan mengangkat diri sebagai Raja orang Yahudi, Pilatus didesak untuk menghukum-Nya. Para tokoh agama Yahudi mencoba cuci tangan dan membawa persekongkolan ini ke dalam front politik melawan Romawi.
Pilatus tahu siasat itu. Persoalannya, Pilatus tahu orang-orang Yahudi ini susah diatur dan selalu memberontak kepada Roma. Sekalipun kecil, wilayah ini selalu bergejolak dengan masalah pemberontakan, dan pembayaran pajak. Para pejabat politik di provinsi Yudea seperti duduk di "kursi panas." Salah bertindak, jabatan taruhannya.
Sebetulnya, Yudas, Pilatus, dan Petrus adalah personifikasi dari apa yang ada di dalam diri mereka, dan mungkin terdapat juga di dalam diri kita.
Pilatus berada di dalam situasi pelik. Sebagai pemimpin hukum dan politik, nuraninya sadar bahwa ada ketidakberesan dan tahu persis bahwa sebuah konspirasi besar sedang terang benderang di hadapannya. Membebaskan Yesus akan membuatnya kehilangan kontrol terhadap orang Yahudi, yang pasti memicu demonstrasi dan pemberontakan baru. Roma pasti tidak menyukai hal ini.
Demi menyelamatkan diri di muka Romawi dan para pemuka Yahudi, Pilatus memilih mematikan nuraninya. Secara demonstratif, Pilatus mencuci tangan di depan publik, sebagai simbol bahwa dia melepaskan diri dari kasus itu. Pilatus mengembalikan kasus itu kepada para pemimpin Yahudi dan mengatakan itu bukan urusannya. Dia membiarkan orang-orang Yahudi itu mengadili "rajanya." Dia mau tangannya bersih.
Bagaimana dengan Petrus? Pemuda Galilea ini dikenal sebagai murid yang selalu 'nempel' ke mana Yesus pergi. Dia menjadi lingkar utama murid Yesus dan saksi nyata kehidupan pelayanan Yesus. Maka, hampir semua orang mengenalinya. Keterlibatannya sudah menjadi pengetahuan publik. Apalagi wajahnya sebagai orang Galilea sangat khas dan caranya berpakaian membuktikan bahwa dia tidak berasal dari Yerusalem.
Prototipe orang Utara melekat di dalam diri Petrus. Maka ketika mengikuti persidangan Yesus di Rumah Imam Besar Kayafas, beberapa orang mengenalinya dan melakukan konfirmasi. Namun Petrus mengelak dan menyangkal. Dengan cerdas dia menggunakan diksi 'eneni mihem'. Ini kalimat abu-abu yang sangat netral karena berarti, aku mengenal dia sebagaimana kamu mengenalnya. Tidak ada orang di Yerusalem yang tidak tahu siapa Yesus.
Ini adalah usaha Petrus untuk meyakinkan orang-orang di halaman rumah Kayafas bahwa dirinya hanyalah bagian orang 'kepo' terhadap persidangan itu. Petrus menyangkal kebenaran bahwa ia sebetulnya orang yang terasosiasi sangat dekat dengan Yesus.
Personifikasi
Sebetulnya, Yudas, Pilatus, dan Petrus adalah personifikasi dari apa yang ada di dalam diri mereka, dan mungkin terdapat juga di dalam diri kita, karakter pengkhianatan, cuci tangan, dan penyangkalan. Semua bermuara pada yang namanya kepentingan diri sendiri, bahwa siapa pun dia, tanpa memandang asal usul, pangkat, dan status, bahkan hubungan dekat, bersedia mengkhianati, memilih cuci tangan, atau menyangkal kebenaran, ketika kepentingannya menjadi taruhan.
Sebagaimana mereka, dalam karakter ini, kita menjadi bagian yang menyebabkan orang lain akan tersalibkan. Orang lain itu adalah mereka-mereka yang dianggap berhadapan dengan kepentingan kita sendiri. Prinsipnya dengan mudah dibaca, daripada menjadi korban lebih baik mengorbankan orang lain.
Inilah hukum rimba kekuasaan di mana setiap orang terpacu membela kepentingannya dengan cara apa pun, sekalipun menggunakan jalan yang jahat dan mengorbankan orang lain. Tanpa sadar, dalam level yang berbeda, karakter ini mungkin telah kita praktikkan melalui perkataan dan perbuatan.
Coba dibayangkan, seandainya kita adalah korban dari orang-orang seperti Yudas, Pilatus, dan Petrus sehingga harus kehilangan sesuatu, waktu mungkin tak akan mampu memupus dendam dan sakit hati. Namun, di dalam peristiwa Paskah, Yesus adalah teladan terbaik dalam spiritualitas kita perihal kasih dan pengampunan. Spiritualitas yang bertumpu pada salib mengacu pada penderitaan dan pengorbanan di satu sisi, dan pada kasih dan pengampunan di sisi lainnya.
Kita diingatkan bahwa setiap perbuatan menuai karmanya. Yudas akhirnya mati gantung diri. Pilatus tidak berkuasa seumur hidup, dan Petrus mati disalibkan terbalik. Perbuatan setiap orang mendapat ganjaran sesuai karakter dan peran sosialnya.
Oleh sebab itu, pilihan ada di tangan kita untuk direnungkan. Mau menjadi seperti Yudas, Pilatus, Petrus, atau meneladani Yesus yang berseru dalam kesakitannya, "Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang telah mereka perbuat." Mari kita refleksikan itu di dalam peziarahan sosial, politik maupun pelayanan kita di masa pra-paskah ini. Selamat paskah.
Sonny Eli Zaluchu, Guru Besar Teologi di STT Baptis Indonesia Semarang