Saat Kata ”Bukan” dan ”Tidak” Pun Menjadi Soal
Sepintas lalu kata ”tidak” dan ”bukan” dianggap sama penggunaannya, padahal tidak demikian.
Dalam dunia tulis-menulis, ada banyak kaidah bahasa Indonesia yang perlu diketahui sehingga naskah atau tulisan yang dihasilkan pun layak dibaca. Kesalahan kaidah terkadang tak ”terlihat” kasatmata karena adanya nuansa atau perbedaan yang sangat halus atau tipis.
Membaca judul tulisan ini, bagi sebagian orang, mungkin terasa mengada-ada. Apa benar kata bukan dan tidak itu bisa menyebabkan persoalan dalam bahasa Indonesia?
Untuk seseorang yang sudah menyandang atribusi sebagai penulis, hal ihwal kaidah mungkin sudah tidak menjadi masalah. Apalagi jika si penulis memiliki latar belakang pengetahuan kebahasaan yang mumpuni.
Akan tetapi, terkadang persoalan sering timbul saat penulis tidak selalu menyadari bahwa sebenarnya kalimat yang dibuat mengandung taksa atau ambigu hanya karena salah penempatan kata. Kata bukan dan tidak, yang penggunaannya sering dipertukarkan secara tidak tepat, misalnya, dapat dijadikan contoh.
Baca juga: ”Suka” Tidak Sama dengan ”Sering”
Umumnya keluputan perhatian atas ketaksaan terjadi, pertama, karena nuansa yang ada—seperti yang dituliskan di awal. Kemudian, kedua, karena kebiasaan yang terus berulang sehingga kalimat yang ditulis terasa tak ada masalah, padahal sesungguhnya bermasalah.
Baca juga: Hindari Penggunaan ”Setelah Sebelumnya” dalam Kalimat
Kelas kata
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi VI daring, kata bukan berkelas adverbia, yang memberi keterangan pada kata yang diikutinya. Bukan bermakna ’berlainan dengan sebenarnya; sebenarnya tidak (dipakai untuk menyangkal)’. Contoh: engkau sudah dewasa, -- anak-anak lagi.
Kata bukan dalam contoh tersebut memberikan keterangan pada kata anak-anak yang berkelas nomina (kata benda).
Lalu, bagaimana dengan kata tidak yang memiliki kelas kata yang sama dengan bukan, yang sama-sama adverbia?
KBBI mencatat, makna kata tidak sebagai adverbia adalah ’partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan, dan sebagainya; tiada’. Contoh: tempat kerjanya -- jauh dari rumahnya; apa yang dikatakannya itu -- benar; yang -- diadakan.
Makna kata tidak sebagai adverbia adalah ’partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan, penyangkalan, dan sebagainya; tiada’.
Dari contoh yang terdapat dalam KBBI tersebut, kata tidak memberikan keterangan pada kata jauh dan benar yang berkelas adjektiva (kata sifat) dan diadakan yang berkelas verba (kata kerja).
Jadi, makna yang disajikan KBBI jelas memberi penegasan bahwa kata bukan selalu diikuti dengan nomina, sedangkan kata tidak diikuti dengan adjektiva atau verba. Bukan nomina.
Baca juga: Perbedaan ”Sekali-kali” dan ”Sekali-sekali (Sesekali)”
Mari kita lihat contoh kalimat yang menggunakan kata bukan pada sejumlah tulisan yang terbit di media daring.
1. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa pemerintah hanya membatasi impor barang elektronik, bukan melarang.
2. Bukan Sukses yang Tertunda: Keberhasilan Hanyalah Milik Mereka yang Mau Mencoba dan Berusaha
3. Kamu bukan lemah, hanya saja kamu sedang lelah.
Contoh kalimat tersebut, jika merujuk pada contoh di KBBI, jelas keliru. Ketiga contoh itu bisa diperbaiki dengan mengubah kata yang diikuti kata bukan menjadi nomina atau mengganti kata bukan dengan kata tidak.
1. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menegaskan bahwa pemerintah hanya membatasi impor barang elektronik, tidak melarang.
2. Bukan Kesuksesan yang Tertunda: Keberhasilan Hanyalah Milik Mereka yang Mau Mencoba dan Berusaha
3. Kamu tidak lemah, hanya saja kamu sedang lelah.
Biar makin paten, editor KBBI sudah saatnya menambahkan kelas kata paten sebagai kata sifat.
Perhatikan juga beberapa contoh kalimat berikut, yang mengandung kata tidak, yang juga ditemukan di media daring.
1. Sejak tiga bulan lalu, saya tidak perokok lagi.
2. Kalian di rumah saja? Tidak patenlah. Seperti kami dong, ke Danau Toba!
Pada contoh (1), kata perokok berkelas nomina. Sebaiknya, kata perokok diubah menjadi verba sehingga kalimatnya menjadi: Sejak tiga bulan lalu, saya tidak merokok lagi.
Sementara pada kalimat (2)—yang sangat populer di Sumatera Utara—kata paten berkelas nomina, tetapi warga setempat menggunakan kata paten sebagai kata sifat yang kira-kira artinya ’hebat’, ’berkelas’. Padahal, dalam KBBI, arti paten adalah ’hak yang diberikan pemerintah kepada seseorang atas suatu penemuan untuk digunakan sendiri dan melindunginya dari peniruan (pembajakan)’.
Barangkali, biar makin paten, editor KBBI sudah saatnya menambahkan kelas kata paten sebagai kata sifat.
Baca juga: Carut-marut yang Karut-marut
Keajekan lain
Selain sering tertukarnya penggunaan kata bukan yang mesti diikuti nomina dan tidak diikuti adjektiva atau verba, kita juga perlu mengingat bahwa baik kata bukan maupun kata tidak memiliki keajekan lain.
Dalam penggunaannya dalam kalimat, kata bukan lazim berpasangan dengan kata melainkan, sedangkan kata tidak berpasangan dengan tetapi.
1. Saya tidak melarang, tetapi hanya mengimbau.
2. Itu bukan anaknya, melainkan adiknya.
3. ”Bukan fisik restoran Indonesia dulu yang berdiri, melainkan produk (makanan) Indonesia dikenal semakin luas,” katanya.
4. Potensi sagu tidak hanya besar dari keberagaman cara pengolahan dan hidangan, tetapi juga dari segi jumlah.
Baca juga: Pasangan Idiomatis Tak Terpisahkan ”antara… dan…”
Ada banyak contoh lain yang bisa kita temukan dalam berbagai naskah, baik yang penulisannya benar maupun yang keliru.
Bagaimanapun, setelah membaca tulisan ini, paling tidak kita semua diharapkan punya kepekaan dan kepedulian terhadap kaidah bahasa kita.
Apolonius Lase, Penyelaras Bahasa Kompas