Ini semacam validasi, bahwa bukan tidak mungkin revolusi bermula dari panggung musik rock.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Tentu saja terutama disebabkan alasan romantik ketika pertengahan Maret lalu di awal bulan puasa saya ke Singapuranonton konser Rod Stewart di Sands Ballroom di kawasan Marina Bay. Tergugah kembali rasanya saat Rod Stewart yang kini berusia 79 tahun (lahir di London, 10 Januari 1945) menyanyikan lagu ”Maggie May”, ”Da Ya Think I’m Sexy?”, ”Sailing”, dan lain-lain yang mewarnai pertumbuhan saya.
”Maggie May”, sebagaimana ”Mrs. Robinson” oleh Simon & Garfunkel kala itu yang menceritakan percintaan remaja ingusan dengan perempuan lebih tua adalah ekspresi kebangkitan kesadaran seksual diiringi spirit pemberontakan sosial dan kultural.
Ah, boleh jadi sejatinya itu semua tidak nyata, hanya gosip, cuma lamunan remaja, sama seperti tatkala John Lennon berkata bahwa kami cuma pemimpi, a dreamer, yang ingin mengubah dunia: You say you want a revolution/Well, you know/We all want to change the world.
Hanya saja, seiring perjalanan waktu kalau saya gagas ulang tentang spirit musik rock jangan-jangan kita terlampau meremehkannya kalau menganggap semua tadi sebagai sekadar romantisisme masa remaja.
Jadi ingat salah satu esai Salman Rushdie dalam buku Step Across the Line (Vintage, 2003) mengenai musik rock tatkala dia mewawancarai Vaclav Havel. Menjawab Rushdie akan kekagumannya pada pemusik Lou Reed dengan Velvet Underground-nya, pemimpin Ceko tersebut menukas, saat komunisme menguasai Ceko menganggap rock sebagai revolusi bakal ditertawakan, dianggap dagelan.
Nyatanya kemudian sejarah mencatat, tahun 1989 rezim komunis Ceko (waktu itu Cekoslovakia) tumbang oleh ”revolusi musim semi” yang diberi label Velvet Revolution. Ini semacam validasi, bahwa bukan tidak mungkin revolusi bermula dari panggung musik rock.
Konser-konser pemusik internasional di Singapura dibanjiri penonton dari Indonesia. Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo atau akrab dipanggil Tommy menuliskan gejala tersebut dengan judul ”Swift-nomics” (Kompas, 13 Maret 2024). Semasa menjadi Pemimpin Redaksi Kompas ia jadi komandan produksi konser besar ”Megalitikum Kuantum” dalam rangka HUT Kompas tahun 2005.
Saya mampir mengunjunginya di Singapura dan kami ngobrol panjang. Seperti diketahui banyak orang, tadinya Kedutaan Besar Republik Indonesia berada di kawasan ramai Orchard Road, sekarang menjadi Wisma Atria. Sejak pertengahan 1980-an kedutaan pindah ke Chatsworth Road, menempati tanah sangat luas, menjadi kantor kedutaan paling besar di Singapura dibandingkan kedutaan-kedutaan negara lain.
Sebagai dubes ia melakukan banyak perbaikan atas layanan publik maupun terhadap gedung kedutaan itu sendiri yang sejak tahun 1980-an tidak banyak diutak-atik.
Menurut sejumlah teman di Singapura, Kedutaan Indonesia kini keren. Ada yang bilang, ruang tunggu yang dulu seperti terminal bus dengan bangku-bangku panjang sekarang—seperti saya lihat sendiri—bak lounge kantor bank internasional.
Masih pada bulan yang sama, saya ke Eropa dan sempat sowan Dubes RI untuk Vatikan, Trias Kuncahyono. Sama seperti Tommy, Trias adalah veteran koran Kompas. Malam itu saya menunggunya di depan Spanish Steps yang pernah menjadi lokasi shooting film lawas Roman Holiday (saya menyukai Vespa gara-gara film ini).
Roma adalah kota dengan kunjungan turis terbanyak sedunia. Manusia berjubel di semua sudut kota dengan copet mengintai di mana-mana. Hanya karena hak istimewa Dubes Trias saya bisa masuk Basilika Santo Petrus lewat pintu samping di depan tempat tinggal Paus tanpa perlu antre bersama ribuan turis.
Dari pengetahuan Trias yang luas mengenai sejarah dan teologia Katolik kami ngobrolngalor-ngidul dari semangat renaisans sampai modernisme yang melahirkan Roma dan banyak kota di Eropa yang senantiasa menggetarkan perasaan saya.
Trias menyebut Roma dibangun dari reruntuhan demi reruntuhan. Ia mengutip teman kami, Romo Gregorius Budi Subanar: Roma lahir dari sungai sejarah.
Dibawanya saya jalan-jalan ke kota kecil Orvieto. Di situ terdapat gereja terindah di Eropa produk renaisans. Kami sama-sama berdoa di depan altar yang indah luar biasa.
Rasanya lengkap perjalanan pada bulan suci tersebut. Menemukan kembali suasana masa lalu, obrolan ketika kami sama-sama jadi wartawan di Palmerah. Kini dua anak buah Pak Jakob Oetama jadi duta bangsa. Saya tetap orang jalanan.
Di Singapura, seperti pemikiran Tommy, ”no business without show business”. Di Vatikan, bagi Trias tidak ada hari tanpa misa.
Mengunjungi keduanya seperti ulang alik perjalanan dunia-akhirat.