Perupa senior AD Pirous berpulang di Bandung, Jawa Barat, Selasa malam. Ia adalah sosok guru penuh inspirasi.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·4 menit baca
”Kita semua hadir di sini untuk memberikan penghormatan terakhir, penghargaan, atas darmabakti, dan cinta beliau kepada ITB, negara, bangsa, selama masa hidupnya,” kata Rektor Institut Teknologi Bandung Reini Wirahadikusumah, dalam upacara pelepasan jenazah Abdul Djalil (AD) Pirous (92) di Aula Timur kampus itu, Rabu (17/4/2024) pagi.
AD Pirous meninggal di Rumah Sakit Borromeus, Bandung, Selasa (16/4/2024), sekitar pukul 20.32 WIB. Jenazah didoakan dan dishalatkan di Masjid Salman, kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cibarunai, Sarijadi, Kota Bandung, Rabu siang. Almarhum diantarkan ke peristirahatan terakhir oleh keluarga (istri, anak, menantu, cucu), sesama dosen pengajar, sejumlah seniman, para murid, dan handai tolan.
Lahir pada 11 Maret 1932 di Meulaboh, Aceh, Pirous dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak dimensi: seniman, guru, pejabat akademik, organisator, dan pemikir kebudayaan. Diangkat sebagai dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB sejak tahun 1964, dia lantas menjadi dekan (1984-1991), guru besar sejak 1994, dan guru besar emeritus tahun 2005. Sepulang dari studi Graphic Design and Printmaking di Rochester Institute of Technology, New York, Amerika Serikat (1969-1970), dia merintis program studi desain grafis di ITB.
Sebagai guru, Pirous terus menyemangati para muridnya agar menemukan potensi masing-masing. Pembawaannya yang santun, riang, terbuka, hangat, sekaligus berdisiplin mudah memendarkan energi positif bagi siapa pun yang menemuinya. Berkat pendekatan itu, banyak muridnya berhasil menekuni beragam profesi, mulai dari seniman, dosen, peneliti, kurator, pengelola galeri seni, pejabat, pengusaha, atau jurnalis.
Iwan Meulia Pirous, putra almarhum, mengingat benar ayahnya yang suka menggambarkan guru dengan idiom ”Tukang Kebun”. ”Tukang kebun itu bersahabat dan membuat semua jenis tanaman dapat tumbuh menemukan keindahan sendiri, tanpa paksaan,” katanya dalam sambutan upacara pelepasan almarhum.
Pirous juga mengembangkan konsep pemikiran kesenian melalui penelitian dan tulisan. Skripsinya tahun 1964 diterbitkan menjadi buku, Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan (2022). Begitu pula kumpulan tulisannya tentang seni rupa dan budaya dari tahun 1963 sampai 2003 juga diterbitkan menjadi buku Melukis itu Menulis (2003). Selain itu, profesor antropologi asal Amerika Serikat, Kenneth George, menulis beberapa buku tentang sosok ini. Salah satunya, AD Pirous: Vision, Faith, and a Journey in Indonesian Art (ditulis bersama Mamannoor, 2002).
Almarhum dianugerahi kefasihan berbicara dalam berbagai forum nasional dan internasional. Gagasan yang tajam disertai artikulasi yang jelas membuat komunikasinya gampang diterima berbagai pihak. Dipadu dengan kemampuan organisasi dan manajemen yang rapi, dia berhasil menggelar beberapa program kesenian monumental.
Salah satunya, dia bersama sejumlah tokoh menggelar Festival Istiqlal I (1991) dan II (1995), yang mendorong penelusuran identitas keindonesiaan yang khas di mata global. Program itu diikuti pembukaan Baitul Quran dan Museum Istiqlal di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, tahun 1996. ”Kita ingin menampilkan ekspresi seni budaya di Nusantara yang bernapaskan Islam. Eskpresinya sangat pluralistik, sangat luas, dan khas karena berinteraksi dengan lingkungan lokal,” kata Pirous dalam obrolan Podcast Bentara Budaya di Bandung, 20 April 2023.
Dalam praktik kesenian, Pirous dikenal menjadi lokomotif seni lukis kaligrafi modern. Karyanya memadukan gaya kaligrafi klasik dari Nusantara dengan sentuhan visual abstrak modern berwarna-warni segar. Meski kerap mengangkat teks kaligrafi Arab, lukisannya yang indah memikat berbagai kalangan lintas keyakinan dan agama.
Peneliti Kenneth George tekun menelusuri ekspresi seni rupa yang mencerminkan Islam di Indonesia, salah satunya tecermin dari proses kreatif AD Pirous. Dia menemukan adanya usaha untuk mewujudkan spirit keislaman dalam bentuk kesenian.
”Dalam lukisan kaligrafi, misalnya, penampilan visualnya sudah menarik karena indah. Ini berkaitan dengan keterampilan untuk mengolah unsur-unsur estetika seni rupa. Secara tekstual, lukisan itu juga bermakna karena mengutip teks kaligrafi yang bersumber dari ayat Al Quran atau hadis. Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, itu menjadi pesan yang sangat bernilai,” kata Kenneth dalam wawancara Kompas, 21 Agustus 2011.
Hingga menjelang wafat, Pirous aktif melukis dan berpameran. Saat ini, bahkan dia sedang menampilkan karya-karya grafis cetak saringnya dalam pameran Seni yang Menjangkaudi Serambi Pirous di Bukit Pakar, Bandung. Pergelaran ini sekaligus memperingati 50 tahun kelahiran Decenta (Design Center Association), yang didirikan Pirous bersama beberapa seniman di Bandung.
Dalam sejumlah lukisannya, Pirous kerap mengangkat ungkapan dari tradisi Islam bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling memberi manfaat bagi manusia lain. Tak hanya diangkat menjadi lukisan indah, pesan itu juga berusaha diamalkan seniman ini dalam kehidupan nyata. Semasa hidup, dia memendarkan energi kreatif dan inspirasi positif bagi banyak kalangan, khususnya untuk terus memajukan kebudayaan Indonesia. Komitmen itu dilakoni, terutama sejak menjadi guru di FSRD ITB tahun 1964.
Pirous berkomitmen untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Sampai akhir hayatnya, dia tak berhenti berkarya. ”Berkarya itu wujud rasa syukur atas apa yang diberikan Allah kepada manusia. Tidak ada kata pensiun untuk kerja kesenian. Hanya, sekarang saya harus mau berdamai dengan kekuatan fisik yang berangsur berkurang,” katanya dalam wawancara dengan Kompas, 1 April 2007.