Impunitas Israel, Kiprah Iran, Ketelantaran Palestina
Iran memberi tahu AS bahwa serangan akan dilakukan secara terbatas dan tak dimaksudkan untuk perang skala besar.
Serangan Iran ke area Israel menggunakan ratusan drone, rudal balistik, dan rudal jelajah merupakan aksi historis.
Untuk pertama kali sejak hubungan permusuhan Iran-Israel pasca-Revolusi Islam Iran 1979, Teheran mengambil jalan konfrontasi militer langsung vis a vis Israel.
Sebelumnya, telah lebih dari 200 kali Israel menyerang aset militer Iran dan Hezbollah di Suriah—sejak Musim Semi Arab (Arab Spring) meletus di negara itu pada 2011—tanpa ada konsekuensi balasan dari Iran. Teheran memang tidak ingin berperang dengan Israel, sekutu AS dan Barat, dan merupakan adidaya di kawasan.
Kehadiran militer Iran dan Hezbollah di Suriah bertujuan membantu rezim Presiden Bashar al-Assad melawan pemberontakan bersenjata. Israel mencurigai kehadiran militer Iran dan Hezbollah juga bertujuan mengepung Israel dan sebagai akses logistik Iran ke Lebanon, sarang Hezbollah yang pada 2006 terlibat perang besar dengan Israel.
Baca juga : Mungkinkah Serangan Iran Picu Perang Dunia?
Tak heran, begitu pecah perang Hamas-Israel, Israel melancarkan beberapa kali serangan ke aset militer Iran dan Hezbollah di Suriah karena, dalam rangka membantu Hamas di Gaza, Hezbollah (proksi Iran) membuka front di Lebanon selatan untuk menyedot kekuatan militer Israel ke utara.
Serangan Iran adalah keterpaksaan politik setelah secara kurang ajar Israel menyerang konsulatnya di Damaskus, menewaskan tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dua minggu sebelumnya.
Menurut Piagam PBB Artikel 51, konsulat sebuah negara dilarang menjadi sasaran serangan militer. Kalau itu terjadi, negara pemilik obyek itu berhak membela diri. Sesuai Piagam PBB, konsulat merupakan teritorial negara pemiliknya. Maka, serangan Iran ke wilayah Israel valid secara hukum.
Impunitas Israel
Konflik terbuka Iran-Israel tak bisa dilepaskan dari perang Gaza. Serangan dadakan Hamas ke Israel, 7 Oktober, yang menewaskan 1.139 warga Yahudi dan menawan lebih dari 200 warga asing dan Israel di Gaza membuat Israel tak punya pilihan lain kecuali menyerang balik.
Tak seperti perang-perang Hamas-Israel sebelumnya, kali ini Israel bertekad membasmi Hamas hingga ke akar-akarnya dan membebaskan lebih dari 100 sandera tersisa. Ternyata dua tujuan perang itu sulit dicapai meskipun perang telah menginjak tujuh bulan.
Sementara itu, tekanan komunitas global agar perang segera dihentikan semakin membesar. Memang apa yang dilakukan militer Israel terhadap warga sipil Palestina sungguh mengerikan. Israel menghancurkan lebih dari 60 persen rumah penduduk, semua infrastruktur sipil vital Gaza. Israel juga menghentikan pasokan listrik, obat-obatan, dan air bersih.
Sejauh ini, warga Palestina yang tewas hampir 34.000 orang, mayoritas anak-anak dan perempuan, serta 80 persen dari 2,3 juta populasi Gaza mengungsi. Lebih dari itu, Israel membatasi pasokan pangan untuk menjadikan kelaparan sebagai strategi perang.
Sejak 2014, proses perdamaian terhenti karena Israel tak berminat lagi untuk berunding.
Akibatnya, Israel kehilangan dukungan sekutu. Hampir setiap hari publik global turun ke jalan memprotes dukungan negara mereka terhadap brutalitas Israel. Dalam merespons aduan Afrika Selatan (Afsel) bahwa Israel telah melakukan genosida, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan Israel segera menghentikan apa yang dituduhkan Afsel. Pelapor Ahli PBB Francesca Albanese, setelah melakukan penyelidikan di Israel dan Gaza, juga menyatakan Israel telah melakukan tiga dari lima ciri tindakan genosida.
Meski demikian, teror Israel tak berhenti. Sekutu baru berteriak saat tujuh warganya yang bekerja di LSM World Central Kitchen (WCK) berbasis di AS dibunuh Israel secara sengaja. Dus, kecaman mereka bersifat politis, bukan kemanusiaan. Toh yang dialami warga Palestina jauh lebih mengerikan.
Orang-orang yang ditangkap di Rumah Sakit al-Shifa, misalnya, diperlakukan secara tidak senonoh. Perempuan ditelanjangi oleh tentara pria zionis dengan meraba tubuh vital mereka. Albanese mengatakan, sebagian perempuan diperkosa.
Israel tidak menganggap semua hal keji yang dilakukan pada Palestina melanggar HAM dan hukum humaniter karena menganggap mereka setengah binatang sebagaimana dinyatakan para petinggi Israel, termasuk Presiden Isaac Herzog.
Segera setelah peristiwa pembunuhan staf WCK, AS meloloskan resolusi DK PBB yang menuntut perang segera dihentikan. Namun, lagi-lagi Israel tak menggubris dan AS diam saja. Berbeda dengan China, AS menganggap resolusi itu tak mengikat. Impunitas Israel yang diberikan AS dan sekutu Barat inilah yang membuat genosida tetap dijalankan Israel.
Politik kekuasaan Netanyahu
Selain dilindungi Presiden AS Joe Biden yang mengaku dirinya seorang zionis, menurut hasil jajak pendapat terbaru, lebih dari 80 persen warga Israel mendukung perang. Namun, popularitas PM Benjamin Netanyahu di dalam negeri anjlok drastis. Publik Israel menganggap ia tak becus mengurus negara. Kelalaian dialah yang menyebabkan Hamas berhasil menerobos wilayah Israel.
Lalu, setelah lebih dari enam bulan berperang, para sandera belum juga berhasil dibebaskan. Sebelumnya, Netanyahu menjadi sasaran kritik publik karena merombak lembaga yudikatif yang melemahkan demokrasi. Netanyahu melemahkan pengadilan tinggi karena menuduh dirinya terlibat korupsi.
Hal-hal di atas telah meningkatkan tuntutan publik agar Netanyahu mengundurkan diri dan pemilu dini dilaksanakan secepatnya. Netanyahu menolak karena karier politiknya akan berakhir dan besar kemungkinan ia dipenjarakan.
Di pihak lain, AS dan sekutu Barat menolak rencana Netanyahu menyerbu Rafah, kota paling selatan Gaza yang kini dihuni lebih dari satu juta pengungsi Palestina. Serangan Israel akan lebih banyak meminta korban warga Palestina yang tak akan ditoleransi komunitas global. Netanyahu berdalih Rafah tempat berlindung terakhir Hamas sehingga menyerbu kota itu adalah keniscayaan demi mencapai tujuan perang Israel.
Tak seperti perang-perang Hamas-Israel sebelumnya, kali ini Israel bertekad membasmi Hamas hingga ke akar-akarnya dan membebaskan lebih dari 100 sandera tersisa.
Namun, karena protes global atas genosida dan tekanan publik Israel terkait ketakmampuannya memimpin negara, Netanyahu melirik Iran. Kebetulan publik Israel, sesuai hasil jajak pendapat, mendukung perang melawan Iran dan Hezbollah yang dianggap biang kerok permasalahan Israel saat ini.
Sebagaimana diketahui, selama perang dengan Hamas, proksi-proksi Iran di Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, dan Houthi (Yaman) turut ambil bagian dalam membantu Hamas. Kecuali Hezbollah, bantuan proksi-proksi lain tidak signifikan, terutama karena koalisi pimpinan AS dapat meredam serangan Houthi ke kapal-kapal kargo di Laut Merah.
Palestina telantar
Dengan menyerang konsulat Iran, yang tentu saja merupakan provokasi, Netanyahu berharap Iran akan membalas. Jika demikian, perhatian dunia terhadap brutalitas Israel di Gaza akan teralihkan ke konflik terbuka Iran-Israel. Dan, ia bisa bertahan sebagai pemimpin karena publik Israel akan bersatu melawan musuh bersama.
Tujuan provokasi itu memang berhasil. Iran tak punya alternatif lain kecuali membalas demi menjaga martabat dan reputasinya di dalam negeri dan kredibilitasnya sebagai kekuatan militer yang mumpuni di kawasan. Dalam konteks ini, Iran relatif berhasil. Memang sebagian besar serangannya tak mencapai sasaran karena dihadang pertahanan udara berlapis Israel, dibantu AS, Inggris, Perancis, dan Jordania.
Namun, hal itu sudah diperhitungkan Iran. Bahkan, Iran memberi tahu AS bahwa serangan akan dilakukan secara terbatas dan tak dimaksudkan untuk perang skala besar dengan Israel. Tujuannya agar AS tak ikut menari di atas gendang Netanyahu. Berhasilnya beberapa rudal Iran menghantam pangkalan-pangkalan militer Israel sudah cukup memadai sebagai pembalasan terhadap serangan Israel ke konsulatnya.
Pesan lain yang ingin disampaikan kepada audiensnya dan Israel: Iran memiliki kekuatan deterrence. Hal itu diperkuat pernyataan Biden kepada Netanyahu, AS tak akan ikut serta dalam serangan balasan terhadap Iran. Memang Iran dapat credit point dalam hal ini. Upaya deeskalasi oleh AS bertujuan menghindari perang dengan Iran yang membahayakan kepentingan AS di kawasan.
Bahkan, dapat menimbulkan krisis ekonomi global seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia. Inflasi akan terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia, dan nilai tukar dollar AS akan meningkat sehingga menguras devisa negara dan memicu arus kas ke AS.
Hal ini akan memantik krisis politik di negara berkembang yang belum pulih akibat pandemi Covid-19 dan perang Ukraina. Lebih dari itu, AS akan kehilangan fokus pada perang Ukraina dan China yang makin asertif di Laut China Selatan.
Dus, upaya AS memitigasi perang besar di Timur Tengah—yang bisa menjalar ke banyak negara—membuat Netanyahu dalam posisi sulit. Menyerang langsung ke wilayah Iran tanpa dukungan AS akan berbahaya bagi Israel. Namun, bisa saja Netanyahu tetap membalas serangan Iran entah dengan cara apa demi menjaga postur militer Israel dan mempertahankan kekuasaannya.
Baca juga : Indonesia dan China Dukung Palestina di PBB
Kalau tidak, tekanan publik Israel agar ia mengundurkan diri akan kian besar. Dus, ia beranggapan hanya perang yang bisa menyelamatkannya. Juga, mustahil AS dan sekutu Barat tak membantunya jika diserang Iran. Memang Biden akan kalah menghadapi Trump jika ia tak mengabaikan eksistensi Israel.
Jika demikian, mungkin isu Palestina akan telantar. Dunia akan melupakan penderitaan mereka. Beberapa waktu lalu, DK PBB bersidang untuk menerima permohonan Palestina jadi anggota penuh PBB. Sayangnya, AS mengancam akan menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan upaya itu.
AS beralasan, perdamaian Israel-Palestina harus melalui perundingan langsung keduanya. Padahal, Israel menolak negara Palestina merdeka. Dahulu, berdasarkan Kesepakatan Oslo 1993, perundingan langsung keduanya tak membuahkan hasil karena Israel mendikte syarat-syaratnya yang menolak berdirinya negara Palestina.
Sejak 2014, proses perdamaian terhenti karena Israel tak berminat lagi untuk berunding. Dan AS tak menggunakan pengaruhnya untuk memaksa Israel menerima perdamaian yang adil. Memang pada akhirnya kepentingan imperialisme dan hegemoni Barat yang jadi pertimbangan utama. Nilai-nilai demokrasi, HAM, kebebasan, dan penentuan nasib sendiri hanyalah retorika kosong.
Hal ini dapat dilihat secara telanjang di Gaza. Nilai-nilai itu selalu saja didefinisikan secara manipulatif sesuai kepentingan mereka. Demi pemilu di AS pada November mendatang, Biden akan permisif terhadap semua aksi Israel, yang paling biadab sekalipun, demi menjamin dukungan lobi Yahudi.
Namun, dengan politik kekuasaan seperti ini dan dukungan pada Israel tanpa batas, Biden sesungguhnya memberi keleluasaan kepada Israel untuk terus mengganyang Palestina atau menghantam Iran, tak peduli dampak global yang mungkin dihasilkannya.
Smith AlhadarPenasihat The Indonesian Society for Middle East Studies